"Ya. Kan sudah habis jam kerja." Aku tersenyum mendekatinya.
"Lama juga Mbak, cutinya kemarin." Aku menerima uluran tangannya.
"Ikut berduka cita Mbak."
"Terima kasih." Aku  tersenyum menerima rasa simpatinya.
"Mari Mbak, duduk dulu. Saya buatkan kopi
ya?" Dia mengangkat kursi, diletakkan di luar pos satpam.
"Tidak usah, aku nggak minum kopi." Aku menghargainya yang telah mempersilakan aku duduk. Tak ada salahnya  bersantai sejenak menemaninya ngobrol setelah seharian tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
"Mas, anak kecil yang dulu ngutang roti, gimana kabarnya, apa sudah bayar?" Aku kembali teringat bayangan pemulung kecil itu.
"Nggak Mbak, kan dia bawa rotinya, jadi aku kejar, kulaporkan ke Polisi."
"Apa? dilaporkan ke Polisi?" Aku terkejut.
"Ya, kan mencuri namanya, dia masuk tahanan." Dengan entengnya si Satpam bercerita.
Hati terasa tidak nyaman. Kesedihan menyergap hidupku kembali. Aku menyesal tidak dapat membantunya waktu itu. Â Anak sekecil itu dituduh mencuri, lalu di tahan. Tragis sekali nasibnya.
Tubuhku ambruk di kasur tanpa terbasuh air. Dada yang sesak, air mata yang membanjir membuat kepalaku sangat sakit ditambah tanganku yang meremas-remas rambut dan menariknya untuk mengurangi rasa sakit tetapi tambah sakit.
"Mami, Caca minta hadiah ya, besok kan ulang tahun." Malaikatku menggelayut manja mengalungkan tangannya ke leherku.