"Benarkah besok ulang tahun Caca? Mami lupa." Kupeluk putri kecilku dengan erat, kuciumi pucuk kepalanya.
"Ih Mami jahat. Kenapa sampai lupa? Caca minta hadiah kue coklat yang banyak. Biar bisa bagi-bagi untuk teman-teman."
Caca balas memelukku erat.
Bunyi pukulan yang keras di tiang listrik membangunkanku. Ya Allah, aku bermimpi. Masih terasa pelukan hangat anakku. Ada kehangatan mengaliri hatiku. Meski hanya mimpi yang terasa nyata, ternyata aku telah bertemu anakku. Â
Pagi ini aku bersemangat menuju tempat kerja. Aku akan meminta ijin kerja setengah hari untuk menemui pemulung kecil di tahanan. Akan kubawakan roti coklat sesuai pesanan Caca dalam mimpi.
Jam istirahat aku berangkat menuju kantor polisi tempat pemulung kecil ditahan sambil menenteng kotak roti.
"Namanya Neila Bu. Sudah tidak ditahan. Waktu itu ibunya menggantikan dia, karena yang menyuruh mencuri roti itu ibunya. Tetapi tidak lama, karena jatuh sakit dan meninggal." Penjelasan yang menusuk jantungku.
Air mata tak bisa kubendung. Tak punya malu aku menangis di depan Pak Polisi.
Pak Polisi menyodorkan tisu, aku mengambilnya beberapa kali untuk menghapus air mata yang membanjir tak mau berhenti.
"Kalau boleh minta alamat Neila, Pak." Aku bertekad untuk mencari pemulung kecil yang ternyata bernama Neila.
Dengan dibantu teman Neila, aku menemukannya sedang meringkuk di tanah beralaskan tikar yang compang camping. Tubuh ringkihnya menggigil dan panas.
"Neila." Kupanggil namanya sambil kuelus pundaknya, tak ada jawaban.
Kuangkat Neila kepangkuanku, kudekap erat. Ya Allah jangan kau utus malaikat mengambil Neila. Dia pengganti malaikat kecilku. Biarkan aku memilikinya.