Mohon tunggu...
Tirta Maulana
Tirta Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa jurusan Teknik Sipil di Universitas Islam Riau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cagar Budaya dan Bangunan Ikonik sebagai Saksi Bisu Perjalanan Peradaban Bangsa

19 Juni 2024   09:05 Diperbarui: 19 Juni 2024   09:11 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cagar Budaya.(Sumber: Merdeka.com)

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tak terhingga. Ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban bangsa ini. Setiap daerah memiliki keunikan dan kekhasan budayanya masing-masing, yang tercermin dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah cagar budaya dan bangunan ikonik. 

Cagar budaya dan bangunan ikonik merupakan warisan tak ternilai yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Keberadaannya tidak hanya sekadar menjadi objek estetika yang memanjakan mata, tetapi juga menyimpan nilai-nilai sejarah, budaya, dan filosofi yang mendalam. Setiap detail arsitektur, ornamen, dan simbolisme yang terukir pada cagar budaya dan bangunan ikonik mengandung makna yang sarat akan kearifan lokal dan identitas bangsa.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi yang pesat, keberadaan cagar budaya dan bangunan ikonik seringkali terabaikan. Banyak di antara mereka yang dibiarkan terbengkalai, rusak, bahkan hancur akibat kurangnya perhatian dan upaya pelestarian. 

Padahal, cagar budaya dan bangunan ikonik merupakan jembatan penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Mereka adalah saksi bisu yang mampu bercerita tentang perjalanan peradaban bangsa, tentang kejayaan, perjuangan, dan kebijaksanaan leluhur kita.

Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya dan bangunan ikonik yang ada di Indonesia. Pelestarian ini bukan hanya sekadar upaya untuk mempertahankan bentuk fisiknya, tetapi juga untuk menjaga nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. 

Dengan melestarikan cagar budaya dan bangunan ikonik, kita tidak hanya menghormati warisan budaya bangsa, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang dapat merasakan keagungan dan kebanggaan yang sama terhadap identitas dan jati diri bangsa Indonesia.

Definisi Cagar Budaya

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, terminologi "cagar budaya" mengacu pada warisan budaya yang dapat berupa benda, kawasan, struktur, bangunan, atau situs, baik yang berada di daratan maupun di bawah air. Cagar budaya ini memiliki nilai yang sangat penting dalam konteks sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan, sehingga keberadaannya perlu dijaga dan dilestarikan dengan baik.

Untuk memastikan perlindungan dan pemeliharaan yang memadai terhadap cagar budaya, diperlukan proses penetapan yang jelas. Ginanjar A dalam (Salsabila et al., 2023) mengemukakan bahwa terdapat beberapa kategori yang digunakan untuk menetapkan suatu objek sebagai cagar budaya. Kategori-kategori tersebut meliputi usia minimal 50 tahun, nilai sejarah yang terkandung, aspek sosial budaya yang melekat, kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, serta keunikan arsitekturnya.

Jenis Cagar Budaya

Cagar budaya dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Benda Cagar Budaya

Benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya, yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

2. Bangunan Cagar Budaya

Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Contohnya adalah keraton, gereja, gua, dan lain sebagainya.

3. Struktur Cagar Budaya

Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana, untuk menampung kebutuhan manusia.

4. Situs Cagar Budaya

Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

5. Kawasan Cagar Budaya

Kawasan cagar budaya meliputi satu ruang geografis dan di dalamnya ada dua atau lebih situs cagar budaya yang berdekatan, dengan catatan menunjukkan ciri tata ruang yang khas. Contohnya adalah Kompleks Percandian Muaro Jambi dan Kompleks Percandian Prambanan.

Golongan Cagar Budaya

Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, cagar budaya kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan. Salah satunya adalah Cagar Budaya Golongan A, yang mencakup objek-objek dengan usia lebih dari 50 tahun dan memenuhi setidaknya tiga dari empat kriteria yang telah disebutkan sebelumnya. Golongan ini dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi dan signifikan, sehingga upaya pelestarian dan perlindungannya menjadi prioritas utama.

Selain Golongan A, terdapat juga golongan-golongan lain yang ditetapkan berdasarkan kombinasi kriteria yang berbeda. Klasifikasi ini membantu dalam menentukan tingkat prioritas dan strategi pelestarian yang tepat untuk setiap cagar budaya. Dengan adanya sistem kategorisasi yang jelas, diharapkan upaya menjaga dan melestarikan warisan budaya dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.

Bangunan cagar budaya golongan B adalah bangunan yang dapat dilakukan pemugaran dengan cara restorasi atau rehabilitasi. Bagian bangunan yang tidak boleh diubah adalah badan utama, struktur utama, atau tampak mukanya. 

Perubahan susunan ruang dalam, perubahan bagian belakang, dan penggantian elemen-elemen yang rusak diperkenankan, asal tidak melanggar peraturan pembangunan dan tidak merusak keserasian lingkungan. 

Bangunan cagar budaya golongan C adalah bangunan-bangunan yang sudah banyak berubah atau bangunan-bangunan yang kurang serasi dengan pola tampak di sekitarnya. Bisa juga bangunan-bangunan yang karena kondisinya sukar dipertahankan sebagai golongan pemugaran B.

Keberadaan cagar budaya merupakan aset berharga bagi bangsa Indonesia. Warisan ini tidak hanya menjadi simbol identitas dan kebanggaan nasional, tetapi juga menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran bagi generasi mendatang. 

Oleh karena itu, upaya pelestarian cagar budaya harus terus didukung oleh berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun para ahli di bidang terkait. Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya Indonesia akan tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.

Definisi Bangunan Ikonik

Bangunan ikonik adalah struktur arsitektural yang memiliki desain unik, khas, dan mudah dikenali, sehingga menjadi simbol atau ikon yang mewakili suatu tempat, kota, atau bahkan negara. 

Keunikan desain bangunan ikonik terletak pada bentuk, struktur, atau ornamen yang tidak konvensional dan berbeda dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Hal ini menjadikan bangunan ikonik sebagai daya tarik visual yang menonjol dan menarik perhatian masyarakat luas.

Lebih dari sekadar keindahan arsitekturalnya, bangunan ikonik juga memiliki peran penting dalam membentuk identitas suatu tempat. Keunikan dan kemegahan desainnya menjadikan bangunan ikonik sebagai lambang yang mudah dikenali dan melekat dalam benak masyarakat. Ketika menyebut nama suatu kota atau negara, bangunan ikonik seringkali muncul sebagai gambaran yang paling representatif dan ikonik. 

Sebut saja Menara Eiffel yang identik dengan Kota Paris, Taj Mahal yang menjadi kebanggaan India, atau Candi Borobudur yang melambangkan kejayaan peradaban Buddha di Indonesia. Keberadaan bangunan-bangunan ikonik ini tidak hanya memperkaya estetika perkotaan, tetapi juga menjadi sumber kebanggaan dan jati diri bagi masyarakat setempat.

Pelestarian Cagar Budaya   

Cagar budaya, sebagai warisan tak ternilai dari para leluhur, menghadapi ancaman kerusakan dan bahkan kepunahan seiring berjalannya waktu. Kerentanan ini menuntut adanya upaya pelestarian yang serius dan berkelanjutan. Mengingat usia cagar budaya yang seringkali telah mencapai puluhan bahkan ratusan tahun, proses pelapukan menjadi musuh utama yang mengintai. Tanpa perawatan yang tepat, benda-benda bersejarah ini lambat laun akan kehilangan keindahan dan nilai pentingnya. 

Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya telah menetapkan kriteria usia minimal 50 tahun bagi suatu objek untuk dapat diusulkan sebagai cagar budaya. Ketentuan ini menggarisbawahi fakta bahwa cagar budaya, baik berupa benda, bangunan, maupun situs, rentan terhadap kerusakan akibat dimakan usia. Semakin tua usia suatu cagar budaya, semakin tinggi pula risiko kerusakan yang dihadapinya.

Namun, ancaman terhadap kelestarian cagar budaya tidak hanya datang dari faktor usia. Modernisasi kota yang pesat seringkali menjadi bumerang bagi keberadaan bangunan-bangunan bersejarah. Demi memenuhi tuntutan pembangunan dan estetika modern, tak jarang cagar budaya harus rela dibongkar dan digantikan dengan struktur-struktur baru yang dianggap lebih sesuai dengan perkembangan zaman. 

Hilangnya eksistensi cagar budaya akibat pembangunan kota menjadi ironi tersendiri, mengingat nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya justru menjadi korban dari kemajuan peradaban (Harjiyatni & Raharja, 2011). Meskipun pemerintah telah mengatur perlindungan cagar budaya melalui perangkat hukum, realita di lapangan menunjukkan bahwa implementasi dan penegakan aturan tersebut masih jauh dari harapan. 

Lemahnya perlindungan hukum terhadap cagar budaya tercermin dari masih maraknya kasus-kasus pembongkaran dan alih fungsi bangunan bersejarah. Hal ini mengindikasikan perlunya penguatan komitmen dan sinergi dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya, dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya bangsa.

Pelestarian cagar budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga menjadi kewajiban moral bagi setiap individu. Kesadaran akan pentingnya menjaga warisan leluhur perlu ditanamkan sejak dini melalui edukasi dan sosialisasi yang intensif. 

Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam upaya pelestarian, mulai dari proses identifikasi, pendataan, hingga perawatan berkala. Dengan partisipasi dan dukungan dari berbagai elemen, ancaman kerusakan dan kepunahan cagar budaya dapat diminimalisir. 

Selain itu, diperlukan pula terobosan-terobosan inovatif dalam mengintegrasikan cagar budaya dengan pembangunan kota yang berkelanjutan. 

Alih-alih menghancurkan bangunan bersejarah, perlu diupayakan adaptasi dan revitalisasi yang memungkinkan cagar budaya tetap lestari tanpa mengorbankan kemajuan peradaban. Kolaborasi antara para ahli di bidang sejarah, arkeologi, arsitektur, dan perencanaan kota menjadi kunci dalam menemukan solusi yang mengakomodasi kepentingan pelestarian dan pembangunan secara seimbang.

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, upaya pelestarian cagar budaya menemukan harapan baru melalui digitalisasi. Metode ini menawarkan pendekatan yang lebih modern dan efektif dalam menjaga kelestarian warisan budaya bangsa. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital, benda-benda cagar budaya yang rentan terhadap kerusakan dapat disimpan dan didokumentasikan secara lebih aman dan terpercaya. Digitalisasi cagar budaya melibatkan proses konversi data fisik menjadi format digital yang dapat disimpan dalam sistem computer (Danuri, 2019). 

Melalui proses ini, informasi mengenai cagar budaya, seperti bentuk, ukuran, warna, hingga sejarah dan nilai budayanya, dapat direkam dengan presisi yang tinggi. Hal ini memungkinkan pelestarian cagar budaya tidak hanya terbatas pada benda fisiknya saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek penting lainnya yang terkait dengan nilai dan maknanya. 

Dibandingkan dengan metode manual, digitalisasi menawarkan keunggulan dalam hal efisiensi dan efektivitas perlindungan cagar budaya. Data digital dapat disimpan dalam server yang aman dan direplikasi dengan mudah, sehingga risiko kehilangan atau kerusakan data dapat diminimalisir. Selain itu, data digital juga lebih mudah diakses dan disebarluaskan, memungkinkan masyarakat luas untuk mengenal dan mempelajari cagar budaya tanpa harus berhadapan langsung dengan benda fisiknya yang rapuh.

Proses digitalisasi cagar budaya melahirkan konsep baru yang dikenal sebagai warisan digital. UNESCO mendefinisikan warisan digital sebagai materi berbasis komputer yang memiliki nilai abadi dan perlu dilestarikan untuk kepentingan generasi mendatang (UNESCO, 2003). 

Warisan digital ini terdiri dari data-data cagar budaya yang telah dikonversi ke dalam format digital dan disimpan dalam sistem penyimpanan elektronik. Seiring dengan semakin meluasnya penggunaan teknologi digital di berbagai aspek kehidupan, warisan digital diprediksi akan semakin penting dan meluas di masa depan. 

Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya individu, organisasi, dan komunitas yang memanfaatkan teknologi digital untuk mendokumentasikan dan mengekspresikan hal-hal yang dianggap bernilai untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang.

Di era revolusi industri 4.0 yang didominasi oleh teknologi digital, pengelolaan cagar budaya juga perlu beradaptasi dengan memanfaatkan digitalisasi. Langkah ini bertujuan untuk memudahkan dan mengoptimalkan manajemen aset budaya agar sejalan dengan karakteristik era digital yang mengedepankan kepraktisan. Digitalisasi cagar budaya memberikan banyak manfaat bagi para praktisi di bidang ini.

Dengan adanya data-data digital, proses pelestarian, kajian, dan komunikasi terkait cagar budaya menjadi lebih efisien dan efektif. Digitalisasi memungkinkan informasi mengenai cagar budaya tersedia dalam format digital yang dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, tanpa terbatas ruang dan waktu. Dalam revolusi industri 4.0, digitalisasi cagar budaya termasuk dalam ranah big data (Revianur, 2020). 

Big data merujuk pada kumpulan data yang sangat besar dan kompleks, yang dapat diolah dan dianalisis untuk menghasilkan wawasan dan informasi yang berharga. Dengan digitalisasi, data-data mengenai cagar budaya dapat dikumpulkan, disimpan, dan dikelola secara digital, sehingga mempermudah proses pengolahan dan analisis data tersebut.

Ketersediaan data-data cagar budaya dalam bentuk digital yang dapat diakses secara luas juga berpotensi meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya (Kalay, 2008). Masyarakat dapat dengan mudah menjelajahi, mempelajari, dan mengapresiasi cagar budaya melalui platform digital, tanpa harus selalu mengunjungi lokasi fisiknya. 

Hal ini dapat memperluas jangkauan dan dampak dari upaya pelestarian cagar budaya, serta menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama dalam menjaga warisan budaya bangsa. Namun demikian, digitalisasi cagar budaya juga perlu memperhatikan aspek-aspek penting seperti keamanan data, standarisasi format, dan keberlanjutan akses jangka panjang. 

Diperlukan strategi yang komprehensif dan kolaborasi antara berbagai pihak, seperti lembaga budaya, ahli teknologi informasi, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa data-data digital cagar budaya dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, serta terjaga kelestariannya untuk generasi mendatang.

Cagar budaya dan bangunan ikonik merupakan saksi bisu perjalanan peradaban bangsa yang tak ternilai harganya. Keberadaan mereka tidak hanya memperkaya estetika visual, tetapi juga menyimpan nilai sejarah, budaya, dan filosofi yang mendalam. Setiap detail arsitektur, ornamen, dan simbol yang terukir pada cagar budaya dan bangunan ikonik menceritakan kisah tentang kejayaan, perjuangan, dan kebijaksanaan leluhur kita. 

Mereka adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta menjadi sumber inspirasi bagi generasi demi generasi. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi yang pesat, cagar budaya dan bangunan ikonik menghadapi ancaman kerusakan, kehilangan, dan bahkan kepunahan (Wibowo, 2014). 

Tanpa upaya pelestarian yang serius dan berkelanjutan, warisan budaya yang tak ternilai ini dapat hilang untuk selamanya. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya dan bangunan ikonik yang ada di Indonesia. Pelestarian cagar budaya dan bangunan ikonik membutuhkan sinergi dan kolaborasi dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya. 

Pemerintah perlu memperkuat kebijakan dan penegakan hukum untuk melindungi warisan budaya, serta menyediakan sumber daya yang memadai untuk upaya pelestarian. Masyarakat harus diedukasi dan dilibatkan secara aktif dalam menjaga dan merawat cagar budaya di lingkungan mereka. 

Sementara itu, para ahli di berbagai bidang, seperti sejarah, arkeologi, arsitektur, dan teknologi, perlu bekerja sama dalam mengembangkan pendekatan inovatif untuk pelestarian yang efektif dan berkelanjutan.

Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga dan menghargai cagar budaya dan bangunan ikonik yang diwariskan oleh leluhur kita. Kita harus menanamkan kesadaran dan kecintaan terhadap warisan budaya sejak dini, serta aktif terlibat dalam upaya pelestariannya. 

Dengan menjaga kelestarian cagar budaya dan bangunan ikonik, kita tidak hanya menghormati jasa dan perjuangan para pendahulu, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang dapat merasakan kebanggaan dan kekayaan budaya yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun