KKN sangat menginspirasi. Desa dengan prestasi nasional. Kreativitas dan semangat para warganya dalam memperjuangkan kehidupan layak dicontoh. Letaknya di seputar  kaki Gunung Kawi kabupaten Malang. Di sana kekompakan keluargaku di uji, karena aku melaksanakan KKN sambil bawa suami dan bayi.Masih mahasiswa sudah punya bayi, trus KKN lagi. Apa tidak menyusahkan orang tua? Apa tidak merepotkan teman-temannya? Alhamdulillah. Jangan salah, bayiku yang masih berusia 14 bulan kubawa justru agar aku bisa tetap mengasuh dan menyusuinya.
Jika tidak ada tantangan di Kompasiana, bisa jadi kisah nyata ini hanya mengendap di  relung jiwa seiring berlalunya masa. Desa tempatkuSebelumnya aku telah menyelesaikan Program Diploma 3. Saat melanjutkan S-1 jodohku tiba, setelah sempat bertekad tidak pacaran hingga kuliahku selesai. Begitu bertemu calon pasangan yang tepat,  aku dan dia  memutuskan untuk menikah karena sama-sama sadar dalam Islam tidak ada pacaran.
Bukan karena wajah manisnya semata, kupilih jenis brondong seperti dia dari banyak lainnya yang lebih matang dan mapan di antaranya karena budi pekertinya yang baik dan sederhana. Meskipun dia sendiri belum lulus kuliah.
Terbukti, setelah kami memutuskan langsung menikah justru kami sudah lepas dari subsidi orang tua. Baik terkait biaya hidup, tempat tinggal maupun pendidikan. Termasuk si bayi ini. Mulai dari kehamilan, persalinan, biaya medis jika sakit hingga popoknya semua dibiayai suami. Berkah dari pernikahan.
Jangan ditanya kerja keras kami berdua. Setelah menikah aku tetap memberi kursus pada anak sekolah sesuai dengan bidang studi yang kutempuh, sambil melayani katering untuk anak-anak  kos juga. Suami mengambil pekerjaan paruh waktu mulai dari serabutan di bengkel las hingga asisten dosen. Suatu ketika ada info lowongan pekerjaan di proyek dengan gaji yang lumayan dari dosennya. Suamikupun mengambil peluang itu walau harus cuti dari studinya. Begitulah besar komitmen dan tanggung jawabnya.
Begitu pengumuman KKN sudah keluar berikut kelompok peserta serta lokasi desa tujuan, aku dan suami segera berunding. Bertepatan datangnya warning dari kampus agar suami segera menyelesaikan kuliahnya agar tidak DO (drop out). Kami sepakat suami meninggalkan proyek untuk mengerjakan skripsinya yang lama tertunda. Aku dan bayiku berangkat berdua ke tempat KKN. Namun sebelum itu tentu saja kami mempersiapkan dulu segala sesuatunya di sana.
Dua Minggu menjelang hari h kami ketika pergi ke tempat KKN di pelosok desa. Sangat jauh dari kontrakan  kami di sekitar kampus suami. Kami menemui orang yang berdasarkan info dari pembina lapangan, memang akan menjadi induk semang kami di sana. Ternyata beliau sekeluarga termasuk tokoh di desa itu. Beliau bersaudara tinggal layaknya di sebuah kompleks perumahan keluarga yang besar, panjang dan bergandengan. Tak heran banyak kampus merekomendasikannya sebagai tempat tinggal rombongan peserta KKN.
Kami menyampaikan hajat kami untuk menyewa sebuah kamar khusus untukku dan bayiku. Juga meminta dicarikan seorang pengasuh bayi yang akan membantuku selama menunaikan tugas KKN. Disodorkan ibu yang punya beberapa anak usia sekolah dasar. Semua kesepakatan kami bahas di awal, termasuk harga sewa dan upah pengasuh. Suamiku membayarnya lunas hingga kewajiban masa KKN selesai. Kamipun kembali ke kota dengan perasaan lega.
Pada hari pemberangkatan KKN ternyata bayiku sakit yang lumayan  mengkhawatirkan. Radang tenggorokan dan pilek hingga membiru ketika batuk. Terpaksa saya izin untuk menyusul rombongan saja, menunggu si kecil sembuh. Alhamdulillah ketua kelompok dan pengurus mengizinkan. Saya baru tiba di tempat KKN dua hari kemudian.
Hal mengejutkan terjadi. Saya diantarkan ke sebuah kamar kecil di sudut rumah besar itu, Â sama sekali berbeda dari kamar semula yang kami sepakati. Udara di kamar itu sangat pengap, dengan debu di sana-sini. Perabotannya yang kuno membuat bulu kuduk berdiri. Perasaanku mulai terasa tidak enak. Alhamdulillah kehadiran buah hatiku cukup menghibur. Pada malam hari aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, dikejutkan oleh lengkingan bayiku. Kuraba popoknya dia tidak pipis. Kulihat bentol-bentol merah di wajahnya. Memang cukup banyak nyamuk, sih. Tapi aku sangat terkejut, melihat beberapa ekor kutu busuk gendut merayapi kaki dan lengan bayiku.
Teganya pemilik rumah memperlakukan kami seperti itu. Aku hanya bisa menangis sedih sambil menenangkan bayiku. Masih curiga,  kusingkapkan bantal dan alas  tidur bayiku. Pemandangan menjijikkan terlihat. Ternyata satu  dua ekor kutu busuk itu hanya bagian dari puluhan lainnya, yang rupanya sudah lama bersarang di kasur dan kamar itu. Jadilah malam itu aku benar-benar perang melawan mereka. Aku musnahkan satu persatu atau bersamaan dengan tindasan jari-jariku yang kulapisi plastik. Darah merah segera memenuhi plastik itu. Aroma khasnya memenuhi udara.
Kesedihanku terobati dengan pemandangan dan suasana desa. Untuk transportasi utama desa ini sudah memiliki jalanan beraspal. Setiap pekarangan depan rumah penduduk hingga tepian jalan raya ditanami dengan aneka ragam tanaman herbal dari jenis rerumputan, pepohonan maupun bunga-bungaan. Senang sekali melihatnya. Rupanya desa ini pernah menjadi pemenang kedua secara nasional desa dengan pemberdayaan keluarga dari sektor TOGA (tanaman obat keluarga).
Hal ini selaras dengan predikat desa ini sebagai sentra jamu gendong. Sebab ratusan penduduknya terutama perempuan berprofesi sebagai penjual jamu gendong yang menjual dagangannya hingga ke kota-kota. Ciri khas jamu gendong dari daerah ini adalah nikmat, sedap dan higienis karena selalu dipantau oleh dinas kesehatan. Pemerintah desa dan warga setempat menjadikan jamu sebagai produk unggulan desa ini.
Seperti bebek dihalau ke air. Senang sekali. Itulah perasaanku mendapati realita ini. Sejak kecil aku dan keluargaku sangat menyukai jamu tradisional seperti beras kencur, kunir asem serta kunci suruh. Ibundaku almarhum pernah mengajariku membuat jejamuan ini. Sekalian aku belajar lebih banyak dari penduduk desa ini. Tanam-tanaman herbal yang dulu hanya bisa aku pelajari dari buku referensi, sekarang bisa dengan mudah ku temui secara nyata.
Serunya kalau sedang mandi dan mencuci pakaian. Kebanyakan peserta KKN membaur bersama masyarakat memanfaatkan fasilitas MCK (mandi-cuci-kakus) yang dibuat oleh pemerintah. Letaknya tak jauh dari tempat kost kami, terletak dekat jalan raya. Airnya berasal dari mata air pegunungan yang dialirkan lewat pipa PDAM. Bening, sejuk dan melimpah. Aku suka  ke MCK pagi-pagi sekali agar bisa leluasa mencuci pakaian dan popok  bayiku. Di tempat MCK inilah aku pertama kalinya mengenal tanaman daun mint. Senangnya!
Ada dilema yang menghadangku saat menunaikan tugas KKN. Namanya saja sedang melaksanakan tugas kelompok, baik berupa penyuluhan maupun sosialisasi dengan penduduk setempat. Tentu saja memerlukan waktu. Bisa dari jam delapan pagi hingga siang. Namun sebenarnya menurutku hal itu masih wajar. Tidak pernah hingga lewat dzuhur atau bahkan ashar. Begitu pula dengan kegiatan sore hari. Semuanya dalam batas kewajaran. Tapi aku selalu menerima omelan dari pengasuh anakku. Bahkan ia tak segan menggunjingku, bahwa aku tidak tahu diri padahal punya anak bayi.
Sungguh hal itu sangat membingungkanku. Bukankah aku membayar pengasuh untuk mengantisipasi hal ini? Pekerjaan anak KKN tidak seperti pegawai negeri atau swasta, dari pagi hingga di atas jam empat sore. Sangat fleksibel. Mengapa masih dipersoalkan? Kalau aku memaksa pulang sebelum waktunya, bukankah tidak enak dengan anggota kelompok lainnya?
Teman-teman KKN-ku  angkatan di bawahku serta belum menikah. Rata-rata mereka baik dan ramah. Namun aku tahu ada beberapa orang di antara mereka yang justru sinis dan tidak mau tahu dengan keadaanku. Terbukti saat anakku kembali jatuh sakit di desa KKN. Bayiku demam tinggi, kotorannya berdarah. Aku pun buru-buru mencari ketua dan wakil kelompok. Sayangnya mereka sedang keluar. Maka aku berpamitan pada beberapa orang yang ada, yang kebetulan justru sinis padaku. Jangankan menjawab, menoleh saja tidak waktu kupamiti.
Perjuangan untuk keluar dari tempat itu luar biasa. Menunggu kendaraan umum atau go-jek saja butuh waktu hampir setengah jam. Perlu oper dua kali sebelum naik bis dari kabupaten ke kota Malang. Dari bis masih oper dua jenis angkutan umum. Barulah sampai ke tempat dokter spesialis anak. Aku menunggu dua hari hingga demam si kecil turun. Memang panasnya berkurang tapi kondisi badan bayiku belum kunjung membaik. Diarenya malah makin parah. Akhirnya aku dan suami membawanya ke Mojokerto ke dokter spesialis anak pertamanya. Di sanalah rumah ayahku. Ibuku sudah meninggal ketika bayiku  masih dalam kandungan.
Dengan pertolongan Allah, penanganan dokter langganan ini (anakku terlahir di kota Mojokerto ini) si kecil berangsur sehat dengan cepat. Besoknya aku segera balik ke tempat KKN. Di sana aku segera di sidang oleh ketua kelompok dan pengurus lainnya. Katanya aku pergi berhari-hari tanpa pamit. Astaghfirullah. Ketika aku jelaskan itu terjadi  karena ketua dan wakil kelompok tidak di tempat dan aku sudah berpamitan dengan teman-teman. Dengan wajah sinis  orang-orang yang kupamiti  menyanggahku dengan tidak masuk akal. 'Sorry, kami tidak memiliki kapasitas untuk mengizinkan!'.
Aku hanya bisa mengelus dada dengan realita yang tidak manusiawi ini. Aku jawab, sebagai ibu itulah hal terbaik yang aku lakukan. Aku siap dihukum, didenda ataupun dikeluarkan dari daftar beserta KKN. Setelah memahami duduk persoalannya tentu saja ketua kelompok serta mayoritas teman-teman bisa memahami keadaanku. Hanya saja aku tetap dikenai denda demi keadilan. Aku sangat bersyukur tidak dikeluarkan dari kepesertaan KKN. Kubayar denda itu dengan legowo, dalam bentuk uang maupun kompensasi tugas lainnya.
Kembali kuhuni kamar sempit yang panas, pengab dan penuh kutu busuk itu bersama bayiku. Ternyata aku masih menerima kunjungan keji dari pengasuh anakku. Semula aku hanya mendengar dari bisikan teman-temanku. Tapi akhirnya mereka mau berterus terang. Bahwa pengasuh anakku serta saudara-saudaranya menggunjing secara terbuka dia berhadapan teman-teman yang menyalahkanku atas sakit anakku. Katanya itu pasti terjadi karena aku sudah 'bercampur' dengan suamiku saat menyusui anakku.
Ternyata ada mitos di desa itu bahwa ibu yang sedang dalam masa menyusui anaknya yang rata-rata selama dua tahun itu, sangat tabu jika harus melayani suaminya secara seksual. Coba, di mana masuk akalnya? Apa landasan ilmiah dan dalil agamanya? Bukankah aku dan suamiku adalah pasangan sah menurut agama dan negara? Apa hubungannya kesehatan bayi dengan pelayanan kepada suami selama tidak terjadi penelantaran dan pengabaian? Lantas kalau bukan aku yang 'melayani' suamiku harus diwakilkan ke siapa?
Pernah sekali suamiku mengunjungiku di tempat KKN. Ternyata hal itu menyulut api kedengkian di antara orang-orang yang tidak memiliki hati. Kembali mereka menggunjingku lagi tanpa perasaan. Pagi-pagi mereka berceloteh tanpa mengecilkan suara, tanpa menyadari kehadiranku yang baru pulang dari MCK. 'Kok mau ya, Mas G sama Mbak I yang selalu kedodoran?'. Alhamdulillah aku tidak tersulut. Sambil tersenyum aku menjawab tenang, 'Kalau Allah sudah berkehendak, apa susahnya?'. Seketika mereka terdiam dengan wajah merah padam.
Ya, Allah. Mereka memang modis dengan baju ketat. Sedangkan aku selalu memakai gamis dan jilbab. Tapi aku tidak pernah mempersoalkan pakaian mereka. Semuanya kembali pada keyakinan dan keputusan masing-masing. Mungkin mereka tidak terima melihat suamiku yang punya paras bagus lagi usianya di bawahku, Â terlihat begitu penuh tanggung jawab pada istrinya yang baru melahirkan, lebih tua dan terlihat kedodoran ini. Itu artinya aku memiliki kebaikan yang tidak ada pada diri mereka. Seharusnya mereka juga ikut senang. Kalau justru merasa sebaliknya, sebaiknya aku tidak boleh terpengaruh. Justru mengasihani mereka.
Aku berusaha lebih fokus pada tugas-tugas KKN-ku serta bersosialisasi dengan penduduk sekitar. Bersama anggota kelompok yang lain melatih ketrampilan yang sekiranya dibutuhkan masyarakat. Sebaliknya, kita juga banyak belajar  dari mereka. Tentang perjamuan, perkebunan, irigasi serta pertanian. Kalau dipikir-pikir sebenarnya masyarakat desa lebih terampil.
Banyak warga desa yang menjadi TKW atau TKI di luar negeri. Meskipun begitu keluarga yang ditinggalkan tidak menjadi malas. Mereka mengalokasikan rezeki kiriman dari sanak keluarganya di luar untuk diputar dalam perekonomian. Ada yang punya usaha bengkel, mebel, konveksi, persablonan, pertanian dan perkebunan. Tak heran warga desanya makmur sejahtera.
Suatu hari sepulang dari melaksanakan tugas KKN aku mendapati tubuh bayiku kembali hangat. Setelah membersihkan kaki dan tangan aku segera mengambilnya dari tangan pengasuh, lalu menuju ruangan teman-temanku untuk melanjutkan koordinasi. Waktu mau balik ke dapur untuk mengambil sesuatu aku kembali mendengar pengasuh anakku menggunjingku. Kembali mengulas bahwa anakku sakit karena aku sudah kumpul dengan suamiku sebelum selesai masa  menyusui.
Ya, Allah. Sudah berminggu-minggu aku tidak bertemu suami. Lagian ini kan urusan rumah tanggaku. Waktu melihat mataku berkaca-kaca,  teman-temanku pada bertanya. Aku ceritakan yang barusan ku dengar. Mereka bilang,  itu sudah sering  mereka dengar. Aku langsung mengambil foto-foto anakku saat berusia satu tahun. Terlihat dia gemuk dan sehat, begitulah adanya dia dulu. Dengan penuh amarah aku berkeliling dari kamar ke kamar termasuk ke dapur mengacung-ngacungkan foto anakku, sambil berteriak-teriak dalam tangis tanpa kututup-tutupi lagi.
   "Lihat, lihat ini. Foto anakku beberapa bulan lalu sebelum di sini. Dia sehat, gemuk, baik-baik saja. Padahal aku sudah tak terhitung melayani suamiku. Emang masalah? Kami pasangan halal, sah dari hukum dan agama!"
Pengasuh toxic itu hanya terdiam kaku. Teman-temanku memandang penuh pengertian padaku. Seolah memahami perasaanku, membenarkan apa yang  kulakukan.
"Buktinya anakku baik-baik saja. Dia baru sakit-sakitan di sini. Mungkin karena terlalu sering mendengar kata-kata bodoh yang tidak masuk akal. Orang gila mana yang mengatakan melayani suami sendiri pada saat masa penyusuan menyebabkan anaknya sakit-sakitan? Mana dalil agama, Â ilmiah atau ilmu pengetahuan? Sini ngomong di depan aku. Jangan hanya berani menggunjing di belakang. Bodoh dipelihara, dasar tak punya otak!"
Lega rasanya memuntahkan semua racun perasaanku. Selama ini aku hanya mengalah dibully terus menerus. Padahal aku tahu, dia yang punya pandangan konyol seperti itu justru punya anak keterbelakangan mental. Dia yang mengolok-olok penampilanku, suaminya malah kabur.
Aku tak mau lagi anakku di emongnya. Tak mengapa rugi uang yang sudah kukeluarkan. Kuhubungi bapakku lewat telepon umum. Saat itu belum ada gawai. Aku meminta pertimbangan pada beliau tentang keinginan untuk pindah pondokan dan niat  mengajak suamiku ke tempat KKN. Jawaban bapak sungguh membuatku terharu. 'Kalau di sana terlalu menyulitkanmu, kamu dan anakmu pulang saja ke Mojokerto. Aku tidak butuh ijazahmu. Aku hanya butuh melihat anak dan cucuku sehat bahagia!'
Akhirnya hubungi suamiku dan kusampaikan maksudku. Alhamdulillah dia mendukungku sepenuh hati. Walau harus meninggalkan untuk sementara pekerjaan part time-nya di kota. Terpenting anak kami ada yang mengasuh dan mendampingi selama aku menyelesaikan sisa waktu KKN.
Di luar dugaan salah seorang kenalanku dari warga setempat justru mempersilahkan aku dan keluargaku menempati rumah kakaknya yang sedang kosong karena ditinggal bekerja di luar negeri. Tanpa dipungut biaya sama sekali. Â Letak rumah itu dekat sekali dengan balai desa tempat kegiatan KKN sering dilakukan. Pertolongan Allah sangat tidak terduga.
Akhirnya aku pamit dengan kepala tegak pada induk semang, pengasuh nyinyir serta semua teman-temanku. Teman-temanku yang baik memelukku dan menyalamiku dengan hangat. 'Sampai ketemu di kegiatan ya, Mbak!' ujar mereka menyemangatiku sambil tak henti-henti menggoda bayiku.
Lega sekali rasanya pindah ke tempat baru. Sebuah rumah yang cukup besar dan bersih. Dikelilingi kebun singkong. Cukup dekat dengan rumah warga lainnya. Mungkin karena lama tidak ditempati, sempat terasa aura ganjil begitu. Beberapa kali saat aku baru saja terlelap saat menemani anakku tidur, sejarah nyata telingaku mendengar suara gaduh dan teriakan di kamar kosong sebelah. Tapi suamiku tidak mendengarnya. Setelah dicek juga tidak ada apa-apa. Alhamdulillah kami tidak terganggu sama sekali. Makhluk gaib mungkin hanya menggoda. Bagiku ulah manusia jauh lebih tegaan dan berbahaya.
Rumah ini benar-benar sebuah pertolongan. Tabungan kami sudah mepet. Kami benar-benar berhemat. Sayur-sayuran yang tumbuh secara liar di jalanan kami petik untuk dijadikan menu sehari-hari. Untuk lauk cukup dengan menggoreng tempe atau tahu. Banyak peristiwa tak terlupakan. Sering malam-malam aku yang menyusui dan tidak punya makanan menjadi pusing, pandangan berkunang-kunang hingga mau pingsan. Hanya ada tepung kanji dan gula. Itulah yang diseduh suamiku untuk kuminum sebagai pengganjal perut.
Kejadian serupa terulang lagi beberapa malam kemudian, sedangkan tepung kanji dan gula sudah habis. Di samping sudah diizinkan oleh pemiliknya untuk sewaktu-waktu mengambilnya, akhirnya suamiku terpaksa menjebol dua batang singkong di samping rumah. Dengan segera dia bersihkan, kupas dan kukus  ubi singkong tambak urang yang terkenal lezat dan pulen itu. Baru kali ini kurasakan sekedar makan singkong hangat,  tapi nikmatnya dunia akhirat. Semoga Allah membalas pemiliknya dengan kebaikan berlipat ganda.
Adanya pendampingan suami membuatku lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas-tugas KKN. Hampir tiap hari kami naik turun perbukitan bersama, memberi penyuluhan dan pembinaan di TPQ target. Kami bertiga sering bercengkerama di persawahan, ladang, sungai, bahkan di antara pepohonan kopi yang tengah berbunga. Anak dan suamiku juga menyertaiku saat aku dan teman-temanku menghadiri undangan pengajian di rumah-rumah warga hampir tiga hari sekali.
Pola hidup sederhana dan dekat dengan alam yang diterapkan warga, tampak dari cara mereka menyajikan suguhan. Mereka tidak terbiasa menyajikan hidangan-hidangan mewah. Kue-kue tradisional seadanya dan buah-buahan di sekitar rumah menjadi cemilan khas. Minuman khasnya tentu saja dari  rempah-rempah dalam bentuk wedang hangat atau jamu-jamuan. Sungguh istimewa!
Jika ada suguhan makanan berat, bisa dipastikan tidak akan ada lauk daging atau ayam. Mereka terbiasa dengan hidangan ala vegetarian. Nasi dan urap-urap saja. Paling banter lauknya kerupuk. Suatu ketika kami disuguhi nasi lauk kerupuk dengan urap-urap jantung pisang. Inilah nasi urap-urap terlezat di dunia yang pernah kurasakan. Aku sampai nambah berkali-kali. Terus terang, kebaikan hati penduduk desa ini sangat membantu kami untuk bertahan hidup selama KKN.
Peruntungan keluargaku semakin baik. Justru kudengar kabar lucu dari teman-temanku. Perseteruan  mereka dengan induk semang dan mantan pengasuh anakku. Stok beras anak KKN tahu-tahu disiram minyak gas. Sering terjadi konflik di antara mereka. Ada berita seru tentang seorang teman KKN-ku yang paling sinis dan kasar padaku.  Konon dia  malah berpacaran dengan salah seorang pemuda pengangguran di desa itu. Itu bukan urusanku. Aku tak mau tahu lebih jauh. Sepertinya lebih bermanfaat memandang jauh ke depan, mempersiapkan masa depan keluarga kecilku begitu program ini berakhir.
Pada malam perpisahan peserta KKN dengan warga, kami berhasil melatih adik-adik dari karang taruna dan TPQ untuk memberikan penampilan terbaik mereka. Kami segera pamit kepada kepala desa, para pamong serta warga sekitar. Aku, suami dan anakku tentu saja berpamitan dengan berderai air mata pada orang-orang baik yang telah peduli dan membantu kami. Terpisah dari rombongan KKN kami pulang sendiri ke kota Malang dengan penuh perasaan lega dan bahagia.
Sekarang giliran suami yang harus fokus untuk menyelesaikan skripsi dan kuliahnya. Tabungan kami tentu saja semakin terkuras untuk pembiayaannya. Berkah yang lain tiba, ketika beberapa bulan kemudian aku berhasil merintis home industri minuman tradisional semacam yang dijual ibu-ibu di desa tempatku KKN. Aku memilih sebuah pasar tradisional sebagai tempat jualanku sambil momong anak. Semakin hari produk-produkku semakin laris. Akhirnya aku mengambil beberapa orang karyawan untuk membantuku. Alhamdulillah aku bisa membalas kebaikan suami dengan mengatasi persoalan keuangan selama dia ngebut skripsi serta KKN. Pada akhirnya, aku dan suami bisa menyelesaikan kuliah kami dengan baik meskipun telah menikah dan punya anak. Meskipun tidak mudah, Allah izinkan kami tetap mandiri dan bisa menjaga keseimbangan dalam urusan keluarga, pendidikan serta mencari nafkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H