Pernah sekali suamiku mengunjungiku di tempat KKN. Ternyata hal itu menyulut api kedengkian di antara orang-orang yang tidak memiliki hati. Kembali mereka menggunjingku lagi tanpa perasaan. Pagi-pagi mereka berceloteh tanpa mengecilkan suara, tanpa menyadari kehadiranku yang baru pulang dari MCK. 'Kok mau ya, Mas G sama Mbak I yang selalu kedodoran?'. Alhamdulillah aku tidak tersulut. Sambil tersenyum aku menjawab tenang, 'Kalau Allah sudah berkehendak, apa susahnya?'. Seketika mereka terdiam dengan wajah merah padam.
Ya, Allah. Mereka memang modis dengan baju ketat. Sedangkan aku selalu memakai gamis dan jilbab. Tapi aku tidak pernah mempersoalkan pakaian mereka. Semuanya kembali pada keyakinan dan keputusan masing-masing. Mungkin mereka tidak terima melihat suamiku yang punya paras bagus lagi usianya di bawahku, Â terlihat begitu penuh tanggung jawab pada istrinya yang baru melahirkan, lebih tua dan terlihat kedodoran ini. Itu artinya aku memiliki kebaikan yang tidak ada pada diri mereka. Seharusnya mereka juga ikut senang. Kalau justru merasa sebaliknya, sebaiknya aku tidak boleh terpengaruh. Justru mengasihani mereka.
Aku berusaha lebih fokus pada tugas-tugas KKN-ku serta bersosialisasi dengan penduduk sekitar. Bersama anggota kelompok yang lain melatih ketrampilan yang sekiranya dibutuhkan masyarakat. Sebaliknya, kita juga banyak belajar  dari mereka. Tentang perjamuan, perkebunan, irigasi serta pertanian. Kalau dipikir-pikir sebenarnya masyarakat desa lebih terampil.
Banyak warga desa yang menjadi TKW atau TKI di luar negeri. Meskipun begitu keluarga yang ditinggalkan tidak menjadi malas. Mereka mengalokasikan rezeki kiriman dari sanak keluarganya di luar untuk diputar dalam perekonomian. Ada yang punya usaha bengkel, mebel, konveksi, persablonan, pertanian dan perkebunan. Tak heran warga desanya makmur sejahtera.
Suatu hari sepulang dari melaksanakan tugas KKN aku mendapati tubuh bayiku kembali hangat. Setelah membersihkan kaki dan tangan aku segera mengambilnya dari tangan pengasuh, lalu menuju ruangan teman-temanku untuk melanjutkan koordinasi. Waktu mau balik ke dapur untuk mengambil sesuatu aku kembali mendengar pengasuh anakku menggunjingku. Kembali mengulas bahwa anakku sakit karena aku sudah kumpul dengan suamiku sebelum selesai masa  menyusui.
Ya, Allah. Sudah berminggu-minggu aku tidak bertemu suami. Lagian ini kan urusan rumah tanggaku. Waktu melihat mataku berkaca-kaca,  teman-temanku pada bertanya. Aku ceritakan yang barusan ku dengar. Mereka bilang,  itu sudah sering  mereka dengar. Aku langsung mengambil foto-foto anakku saat berusia satu tahun. Terlihat dia gemuk dan sehat, begitulah adanya dia dulu. Dengan penuh amarah aku berkeliling dari kamar ke kamar termasuk ke dapur mengacung-ngacungkan foto anakku, sambil berteriak-teriak dalam tangis tanpa kututup-tutupi lagi.
   "Lihat, lihat ini. Foto anakku beberapa bulan lalu sebelum di sini. Dia sehat, gemuk, baik-baik saja. Padahal aku sudah tak terhitung melayani suamiku. Emang masalah? Kami pasangan halal, sah dari hukum dan agama!"
Pengasuh toxic itu hanya terdiam kaku. Teman-temanku memandang penuh pengertian padaku. Seolah memahami perasaanku, membenarkan apa yang  kulakukan.
"Buktinya anakku baik-baik saja. Dia baru sakit-sakitan di sini. Mungkin karena terlalu sering mendengar kata-kata bodoh yang tidak masuk akal. Orang gila mana yang mengatakan melayani suami sendiri pada saat masa penyusuan menyebabkan anaknya sakit-sakitan? Mana dalil agama, Â ilmiah atau ilmu pengetahuan? Sini ngomong di depan aku. Jangan hanya berani menggunjing di belakang. Bodoh dipelihara, dasar tak punya otak!"
Lega rasanya memuntahkan semua racun perasaanku. Selama ini aku hanya mengalah dibully terus menerus. Padahal aku tahu, dia yang punya pandangan konyol seperti itu justru punya anak keterbelakangan mental. Dia yang mengolok-olok penampilanku, suaminya malah kabur.
Aku tak mau lagi anakku di emongnya. Tak mengapa rugi uang yang sudah kukeluarkan. Kuhubungi bapakku lewat telepon umum. Saat itu belum ada gawai. Aku meminta pertimbangan pada beliau tentang keinginan untuk pindah pondokan dan niat  mengajak suamiku ke tempat KKN. Jawaban bapak sungguh membuatku terharu. 'Kalau di sana terlalu menyulitkanmu, kamu dan anakmu pulang saja ke Mojokerto. Aku tidak butuh ijazahmu. Aku hanya butuh melihat anak dan cucuku sehat bahagia!'