Akhirnya hubungi suamiku dan kusampaikan maksudku. Alhamdulillah dia mendukungku sepenuh hati. Walau harus meninggalkan untuk sementara pekerjaan part time-nya di kota. Terpenting anak kami ada yang mengasuh dan mendampingi selama aku menyelesaikan sisa waktu KKN.
Di luar dugaan salah seorang kenalanku dari warga setempat justru mempersilahkan aku dan keluargaku menempati rumah kakaknya yang sedang kosong karena ditinggal bekerja di luar negeri. Tanpa dipungut biaya sama sekali. Â Letak rumah itu dekat sekali dengan balai desa tempat kegiatan KKN sering dilakukan. Pertolongan Allah sangat tidak terduga.
Akhirnya aku pamit dengan kepala tegak pada induk semang, pengasuh nyinyir serta semua teman-temanku. Teman-temanku yang baik memelukku dan menyalamiku dengan hangat. 'Sampai ketemu di kegiatan ya, Mbak!' ujar mereka menyemangatiku sambil tak henti-henti menggoda bayiku.
Lega sekali rasanya pindah ke tempat baru. Sebuah rumah yang cukup besar dan bersih. Dikelilingi kebun singkong. Cukup dekat dengan rumah warga lainnya. Mungkin karena lama tidak ditempati, sempat terasa aura ganjil begitu. Beberapa kali saat aku baru saja terlelap saat menemani anakku tidur, sejarah nyata telingaku mendengar suara gaduh dan teriakan di kamar kosong sebelah. Tapi suamiku tidak mendengarnya. Setelah dicek juga tidak ada apa-apa. Alhamdulillah kami tidak terganggu sama sekali. Makhluk gaib mungkin hanya menggoda. Bagiku ulah manusia jauh lebih tegaan dan berbahaya.
Rumah ini benar-benar sebuah pertolongan. Tabungan kami sudah mepet. Kami benar-benar berhemat. Sayur-sayuran yang tumbuh secara liar di jalanan kami petik untuk dijadikan menu sehari-hari. Untuk lauk cukup dengan menggoreng tempe atau tahu. Banyak peristiwa tak terlupakan. Sering malam-malam aku yang menyusui dan tidak punya makanan menjadi pusing, pandangan berkunang-kunang hingga mau pingsan. Hanya ada tepung kanji dan gula. Itulah yang diseduh suamiku untuk kuminum sebagai pengganjal perut.
Kejadian serupa terulang lagi beberapa malam kemudian, sedangkan tepung kanji dan gula sudah habis. Di samping sudah diizinkan oleh pemiliknya untuk sewaktu-waktu mengambilnya, akhirnya suamiku terpaksa menjebol dua batang singkong di samping rumah. Dengan segera dia bersihkan, kupas dan kukus  ubi singkong tambak urang yang terkenal lezat dan pulen itu. Baru kali ini kurasakan sekedar makan singkong hangat,  tapi nikmatnya dunia akhirat. Semoga Allah membalas pemiliknya dengan kebaikan berlipat ganda.
Adanya pendampingan suami membuatku lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas-tugas KKN. Hampir tiap hari kami naik turun perbukitan bersama, memberi penyuluhan dan pembinaan di TPQ target. Kami bertiga sering bercengkerama di persawahan, ladang, sungai, bahkan di antara pepohonan kopi yang tengah berbunga. Anak dan suamiku juga menyertaiku saat aku dan teman-temanku menghadiri undangan pengajian di rumah-rumah warga hampir tiga hari sekali.
Pola hidup sederhana dan dekat dengan alam yang diterapkan warga, tampak dari cara mereka menyajikan suguhan. Mereka tidak terbiasa menyajikan hidangan-hidangan mewah. Kue-kue tradisional seadanya dan buah-buahan di sekitar rumah menjadi cemilan khas. Minuman khasnya tentu saja dari  rempah-rempah dalam bentuk wedang hangat atau jamu-jamuan. Sungguh istimewa!
Jika ada suguhan makanan berat, bisa dipastikan tidak akan ada lauk daging atau ayam. Mereka terbiasa dengan hidangan ala vegetarian. Nasi dan urap-urap saja. Paling banter lauknya kerupuk. Suatu ketika kami disuguhi nasi lauk kerupuk dengan urap-urap jantung pisang. Inilah nasi urap-urap terlezat di dunia yang pernah kurasakan. Aku sampai nambah berkali-kali. Terus terang, kebaikan hati penduduk desa ini sangat membantu kami untuk bertahan hidup selama KKN.
Peruntungan keluargaku semakin baik. Justru kudengar kabar lucu dari teman-temanku. Perseteruan  mereka dengan induk semang dan mantan pengasuh anakku. Stok beras anak KKN tahu-tahu disiram minyak gas. Sering terjadi konflik di antara mereka. Ada berita seru tentang seorang teman KKN-ku yang paling sinis dan kasar padaku.  Konon dia  malah berpacaran dengan salah seorang pemuda pengangguran di desa itu. Itu bukan urusanku. Aku tak mau tahu lebih jauh. Sepertinya lebih bermanfaat memandang jauh ke depan, mempersiapkan masa depan keluarga kecilku begitu program ini berakhir.
Pada malam perpisahan peserta KKN dengan warga, kami berhasil melatih adik-adik dari karang taruna dan TPQ untuk memberikan penampilan terbaik mereka. Kami segera pamit kepada kepala desa, para pamong serta warga sekitar. Aku, suami dan anakku tentu saja berpamitan dengan berderai air mata pada orang-orang baik yang telah peduli dan membantu kami. Terpisah dari rombongan KKN kami pulang sendiri ke kota Malang dengan penuh perasaan lega dan bahagia.