Hal ini selaras dengan predikat desa ini sebagai sentra jamu gendong. Sebab ratusan penduduknya terutama perempuan berprofesi sebagai penjual jamu gendong yang menjual dagangannya hingga ke kota-kota. Ciri khas jamu gendong dari daerah ini adalah nikmat, sedap dan higienis karena selalu dipantau oleh dinas kesehatan. Pemerintah desa dan warga setempat menjadikan jamu sebagai produk unggulan desa ini.
Seperti bebek dihalau ke air. Senang sekali. Itulah perasaanku mendapati realita ini. Sejak kecil aku dan keluargaku sangat menyukai jamu tradisional seperti beras kencur, kunir asem serta kunci suruh. Ibundaku almarhum pernah mengajariku membuat jejamuan ini. Sekalian aku belajar lebih banyak dari penduduk desa ini. Tanam-tanaman herbal yang dulu hanya bisa aku pelajari dari buku referensi, sekarang bisa dengan mudah ku temui secara nyata.
Serunya kalau sedang mandi dan mencuci pakaian. Kebanyakan peserta KKN membaur bersama masyarakat memanfaatkan fasilitas MCK (mandi-cuci-kakus) yang dibuat oleh pemerintah. Letaknya tak jauh dari tempat kost kami, terletak dekat jalan raya. Airnya berasal dari mata air pegunungan yang dialirkan lewat pipa PDAM. Bening, sejuk dan melimpah. Aku suka  ke MCK pagi-pagi sekali agar bisa leluasa mencuci pakaian dan popok  bayiku. Di tempat MCK inilah aku pertama kalinya mengenal tanaman daun mint. Senangnya!
Ada dilema yang menghadangku saat menunaikan tugas KKN. Namanya saja sedang melaksanakan tugas kelompok, baik berupa penyuluhan maupun sosialisasi dengan penduduk setempat. Tentu saja memerlukan waktu. Bisa dari jam delapan pagi hingga siang. Namun sebenarnya menurutku hal itu masih wajar. Tidak pernah hingga lewat dzuhur atau bahkan ashar. Begitu pula dengan kegiatan sore hari. Semuanya dalam batas kewajaran. Tapi aku selalu menerima omelan dari pengasuh anakku. Bahkan ia tak segan menggunjingku, bahwa aku tidak tahu diri padahal punya anak bayi.
Sungguh hal itu sangat membingungkanku. Bukankah aku membayar pengasuh untuk mengantisipasi hal ini? Pekerjaan anak KKN tidak seperti pegawai negeri atau swasta, dari pagi hingga di atas jam empat sore. Sangat fleksibel. Mengapa masih dipersoalkan? Kalau aku memaksa pulang sebelum waktunya, bukankah tidak enak dengan anggota kelompok lainnya?
Teman-teman KKN-ku  angkatan di bawahku serta belum menikah. Rata-rata mereka baik dan ramah. Namun aku tahu ada beberapa orang di antara mereka yang justru sinis dan tidak mau tahu dengan keadaanku. Terbukti saat anakku kembali jatuh sakit di desa KKN. Bayiku demam tinggi, kotorannya berdarah. Aku pun buru-buru mencari ketua dan wakil kelompok. Sayangnya mereka sedang keluar. Maka aku berpamitan pada beberapa orang yang ada, yang kebetulan justru sinis padaku. Jangankan menjawab, menoleh saja tidak waktu kupamiti.
Perjuangan untuk keluar dari tempat itu luar biasa. Menunggu kendaraan umum atau go-jek saja butuh waktu hampir setengah jam. Perlu oper dua kali sebelum naik bis dari kabupaten ke kota Malang. Dari bis masih oper dua jenis angkutan umum. Barulah sampai ke tempat dokter spesialis anak. Aku menunggu dua hari hingga demam si kecil turun. Memang panasnya berkurang tapi kondisi badan bayiku belum kunjung membaik. Diarenya malah makin parah. Akhirnya aku dan suami membawanya ke Mojokerto ke dokter spesialis anak pertamanya. Di sanalah rumah ayahku. Ibuku sudah meninggal ketika bayiku  masih dalam kandungan.
Dengan pertolongan Allah, penanganan dokter langganan ini (anakku terlahir di kota Mojokerto ini) si kecil berangsur sehat dengan cepat. Besoknya aku segera balik ke tempat KKN. Di sana aku segera di sidang oleh ketua kelompok dan pengurus lainnya. Katanya aku pergi berhari-hari tanpa pamit. Astaghfirullah. Ketika aku jelaskan itu terjadi  karena ketua dan wakil kelompok tidak di tempat dan aku sudah berpamitan dengan teman-teman. Dengan wajah sinis  orang-orang yang kupamiti  menyanggahku dengan tidak masuk akal. 'Sorry, kami tidak memiliki kapasitas untuk mengizinkan!'.
Aku hanya bisa mengelus dada dengan realita yang tidak manusiawi ini. Aku jawab, sebagai ibu itulah hal terbaik yang aku lakukan. Aku siap dihukum, didenda ataupun dikeluarkan dari daftar beserta KKN. Setelah memahami duduk persoalannya tentu saja ketua kelompok serta mayoritas teman-teman bisa memahami keadaanku. Hanya saja aku tetap dikenai denda demi keadilan. Aku sangat bersyukur tidak dikeluarkan dari kepesertaan KKN. Kubayar denda itu dengan legowo, dalam bentuk uang maupun kompensasi tugas lainnya.
Kembali kuhuni kamar sempit yang panas, pengab dan penuh kutu busuk itu bersama bayiku. Ternyata aku masih menerima kunjungan keji dari pengasuh anakku. Semula aku hanya mendengar dari bisikan teman-temanku. Tapi akhirnya mereka mau berterus terang. Bahwa pengasuh anakku serta saudara-saudaranya menggunjing secara terbuka dia berhadapan teman-teman yang menyalahkanku atas sakit anakku. Katanya itu pasti terjadi karena aku sudah 'bercampur' dengan suamiku saat menyusui anakku.
Ternyata ada mitos di desa itu bahwa ibu yang sedang dalam masa menyusui anaknya yang rata-rata selama dua tahun itu, sangat tabu jika harus melayani suaminya secara seksual. Coba, di mana masuk akalnya? Apa landasan ilmiah dan dalil agamanya? Bukankah aku dan suamiku adalah pasangan sah menurut agama dan negara? Apa hubungannya kesehatan bayi dengan pelayanan kepada suami selama tidak terjadi penelantaran dan pengabaian? Lantas kalau bukan aku yang 'melayani' suamiku harus diwakilkan ke siapa?