Kita mempunyai satu pemahaman yang sama, bahwa saat Tuhan mengizinkan masalah terjadi pada kehidupan seseorang. Salah satu alasannya adalah agar orang tersebut bertobat. Tetapi pertanyaan, apakah sebuah bencana atau masalah pasti membuat seseorang bertobat? Â Harusnya bertobat, bukan?Â
Karena dalam bayangan kita, di mana saat orang yang sudah tidak berdaya, berada diujung tanduk kematian harusnya tidak ada pilihan lain, selain dia bertobat dan kembali kepada Tuhan.Â
Akan tetapi, realitanya tidak semua masalah, bencana membawa manusia kepada pertobatan. Ada yang bukannya bertobat, malahan semakin keras hati.
Ada seorang bapak yang sakit parah. Lalu saya meminta dia untuk bertobat. Hasilnya dia marah-marah dan tetap mengeraskan hati untuk tidak mau bertobat.Â
Padahal nafasnya sudah sesak. Dia tetap meneruskan kebiasaan minum arak dan mabuk-mabukkan. Dia tidak takut kepada penyakit dan tidak takut mati.Â
Malahan berkata, mati ya sudah, ngapaian takut mati, kapanpun juga mati. Bahkan menyalahkan Tuhan. Jika ada Tuhan, mengapa Tuhan tidak menolong saya? Sepertinya semua salah Tuhan.
Hal itulah, yang dilakukan oleh bangsa Israel. Sekalipun Tuhan sudah menghukum Korah, Datan dan Abiram dengan membuat tanah tempat mereka berdiri, terbelah menjadi dua hingga mereka terkubur hidup-hidup  (Bil. 16:31-32).Â
Harusnya orang-orang yang melihat kejadian tersebut segera tertobat, tetapi mereka tidak bertobat justru menyalahkan Musa. "Tetapi pada keesokan harinya bersungut-sungutlah segenap umat Israel kepada Musa dan Harun, kata mereka: "Kamu telah membunuh umat Tuhan. Ketika umat itu berkumpul melawan Musa dan Harun, dan mereka: kamu telah membunuh umat Tuhan." Ketika umat itu berkumpul melawan Musa dan Harun...(Bil. 16:41-42a)."
Mengapa manusia saat sudah berada dalam bencana dan masalah tetap tidak mau bertobat? kalau pertanyaan kita dikaitkan dengan Pandemi kali ini, Mengapa mereka tidak bertobat, padahal wabah sudah bersifat global? Jawabannya karena kita tidak bertobat.
Apa yang ingin saya katakan? Sebenarnya bukan mereka yang harus bertobat, tetapi kita yang harus bertobat. Jika kita bertobat pasti kita akan tahu mereka sudah bertobat.Â
Jika kita tidak bertobat mereka juga tidak bertobat. Mengapa bisa begitu? Karena kita seringkali mengukur orang lain dari diri sendiri. Kita berpikir kita tidak bertobat, kemudian kita anggap orang lain tidak bertobat.Â
Padahal mungkin saja, Â mereka sudah bertobat saat berada sendiri di dalam kamar. Mungkin pada suatu malam yang kita tidak tahu, hatinya menjadi takut dan tersentuh oleh Firman Tuhan, membuat dia peka terhadap dosa, Akhirnya, dia menanggis di hadapan Tuhan dan bertobat.
Lalu berjanji untuk hidup lebih baik lagi. Jika masih diberikan kesempatan untuk hidup. Itulah yang Tuhan maksudkan, seringkali kita melihat balok di mata orang lain, kita anggap, dosa mereka sebesar balok. Maka kita menghakimi mereka, menuduh mereka tidak bertobat. Padahal itu, balok dosa kita sendiri, tetapi kita kira balok dosa orang lain.
Bagaimana agar kita tidak menuntut orang lain bertobat tetapi agar kita yang bisa bertobat pada masa ini ?
1. Sebelum meminta orang lain bertobat, terlebih dahulu bersihkan dosa kita. Maka kita akan melihat bahwa bukan orang lain yang tidak bersih tetapi kita yang tidak bersih.
Satu kali ada seorang istri berkata kepada suaminya, "suamiku coba lihat tetangga sebelah, pakaian mereka yang dijemur kotor sekali. Padahal sudah dicuci. Cucinya tidak bersih. Memang, tetangga kita itu orangnya jorok." Suaminya menanggapi dengan biasa saja.Â
Lalu hari kedua, istrinya itu juga berkata lagi kepada suaminya untuk hal yang sama. Memberitahu dia bahwa cucian tetangga tidak bersih, dan menuduhnya jorok.Â
Setelah beberapa hari istrinya mengatakan hal yang sama tentang cucian tetangganya yang kotor. Suaminya mulai penasaran dan mencari tahu. Pada saat dia melihat keluar, ternyata cucian tetangganya itu bersih sekali.Â
Mengapa istrinya bisa melihat bahwa cucian tetangga mereka kotor? Ternyata, karena kaca jendela mereka yang kotor. Jadi tidak heran, setiap kali istrinya melihat pakaian tetangga yang dijemur melalui jendela kotor tersebut, pakaian tetangga terlihat kotor.
Itulah yang sering terjadi kepada kita, kita sering menilai orang buruk, berdosa dan tidak mau bertobat. Padahal jangan-jangan bukan mereka yang berdosa, tetapi kita yang berdosa dan buruk.
Kita tidak sadar yang sedang kita lihat adalah dosa dan keburukan kita, tetapi kita kira punya orang lain. Kita sering melihat kelakuan buruk orang lain, kita anggap hal itu kelakuan orang lain. Padahal itu adalah kelakuan kita yang buruk.Â
Sama seperti pada saat kita memakai kaca mata hitam, kita akan melihat semua orang hitam. Saat kita memakai kaca mata biru, kita akan melihat semua orang biru. Pada saat kita yang memiliki hati yang kotor, melihat orang lain dengan hati kotor.Â
Maka yang terlihat semua orang lain penuh dosa. Padahal itu adalah dosa kita. Makanya, Tuhan Yesus menegur orang Farisi yang sering menghakimi orang lain dan melihat kesalahan orang lain.
 Seolah-olah Tuhan Yesus ingin berkata, "tahu tidak kalian, saat kamu melihat balok dosa di mata orang lain, sebenarnya itu adalah balok dosamu, bukan dosa orang lain." Dengan berkata, "Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (Matius 7:3)."
Bagaimana agar istri orang tersebut bisa melihat cucian tetangganya dengan jelas? Istri orang tersebut  harus membersihkan dulu kaca jendela mereka, baru bisa melihat dengan jelas. Jika kaca jendela mereka sudah dibersihkan istri tersebut pasti akan mengetahui bahwa cucian tetangga mereka sudah bersih. Hal itu juga yang Tuhan Yesus katakan kepada orang Farisi, " Hai orang farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih (Matius 23:26)." Tuhan Yesus ingin katakan, setelah kamu membersihkan dosamu, maka kamu akan melihat jelas bahwa orang lain tidak bersalah.Â
Demikian juga kepada kita. Bagaimana kita bisa melihat, apakah orang berdosa atau tidak? Marilah, bersihkan dosa kita terlebih dahulu, baru kita bisa melihat orang lain bersih atau tidak.Â
Bagaimana kita bisa membersihkan dosa kita? Yaitu dengan mengakui dosa kita, dan meminta ampun kepada Tuhan Yesus. Hanya Dia yang bisa menyucikan dosa kita.
2. Sebelum menilai dan menghakimi orang lain. Terlebih dahulu, lihatlah kekurangan diri kita sendiri. setelah itu, anda akan melihat kesalahan orang lain tidak sebesar kesalahan yang kita pernah lakukan pada orang lain. Maka kita tidak akan menuntut orang lain bertobat, tetapi diri kita yang akan bertobat.
Satu kali ada seorang suami teriak keras-keras dengan mata tertuju pada istrinya, berkata, "Kamu buang angin ya?" Istrinya menjawab, "Ya.". suaminya langsung marah-marah, "Gimana sih kok buang angin depan orang, bau banget." Istrinya dengan kesal langsung bilang, "Saya buang angin sekali aja, kamu sudah teriak-teriak. Kamu tiap hari berkali-kali buang angin, saya diam dan tidak mempermasalahkan."Â
Faktanya, suaminya memang punya kebiasaaan buang angin, 1 hari bisa 20x. Apalagi setelah habis makan pedas. Setelah mendengar perkataan istrinya, suaminya tersipu malu. Dan tidak bisa berkata apa-apa, hanya menjawab, "Iya ya..."Â
Itu yang terjadi pada kita, bukan? Seringkali, bau dari angin yang dibuang orang lain kita besar-besarkan, tetapi angin yang kita buang, kita anggap wangi. Padahal baunya minta ampun. Tetapi, orang lain tidak mempermasalahkan apa yang kita perbuat.Â
Maka Tuhan Yesus berkata kepada orang Farisi yang mau mencari kesalahan Yesus dengan menangkap seoerang perempuan berzinah. Mereka mau agar Tuhan Yesus menghakimi perempuan tersebut menurut Hukum Taurat. Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu (Yohanes 8:7)."Â
Tentu bukan berarti Tuhan Yesus toleransi dengan dosa, karena Tuhan Yesus juga berpesan kepada perempuan itu, "Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang (Yohanes 8:11)." Tuhan hanya ingin mengingatkan orang Farisi, agar jangan hanya melihat dan memperbesar kesalahan orang lain. Tetapi, lihatlah kesalahan diri sendiri juga besar, tetapi orang lain tidak mempermasalahkannya.
Mengapa kita seringkali membesarkan kesalahan orang lain? Tahukah anda, yang menentukan orang berdosa atau tidak, adalah Tuhan. Tugas kita adalah bertobat dan mengampuni orang lain.Â
Maka melalui kesempatan ini, kita tidak perlu melihat dan menilai, apalagi menuntut orang lain untuk bertobat. Masalah mereka bertobat atau tidak itu urusan mereka dengan Tuhan.Â
Tanyakanlah pada diri sendiri? Apakah masalah yang terjadi pada kita saat ini yaitu pandemi ini, merupakan cara Tuhan untuk menegur kita yang sudah berdosa? Mengapa di zaman saya, saya mengalami Pandemi ini? Mengapa bukan zaman sebelum saya lahir, atau zaman setelah saya pergi baru terjadi Pandemi? Mengapa pas di zaman saya? Berarti Tuhan sedang ingin berbicara kepada saya melalui Pandemi ini. Apakah saya selama ini sudah hidup sesuai kehendak Tuhan? Apakah saya sudah bekerja sesuai kehendak Tuhan? Apakah saya sudah memakai waktu sesuai dengan kehendak Tuhan? Apakah saya sudah memakai uang sesuai dengan kehendak Tuhan? Selidikilah hati kita masing-masing. Â Kita tidak perlu lagi melihat orang lain. Jika kita hanya melihat orang lain, saat mereka bertobat, mereka yang diampuni. Sedangkan kita yang dihukum oleh Tuhan karena kita belum bertobat. Maka jangan bertanya, mengapa mereka tidak bertobat? Karena yang sebenarnya yang harus bertobat bukan mereka, tetapi kita sendiri. Amin.
Salam Kasih
Ev. Timotius Cong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H