Mohon tunggu...
Timotius Benjamin Ebenezer
Timotius Benjamin Ebenezer Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa hukum di Universitas Indonesia yang tertarik untuk menulis mengenai isu-isu yang ada di masyarakat dari sudut pandang hukum Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pemidanaan Penolak Vaksin Melanggar HAM: HAM Milik Siapa?

6 Mei 2021   16:34 Diperbarui: 6 Mei 2021   16:57 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perspektif Hukum Kesehatan

Menurut penulis, pandangan dari kedua tokoh ini mengambil perspektif yang berbeda mengenai vaksinasi nasional. Wamenkumham dalam kasus ini lebih mengedepankan sifat kolektivitas dalam hukum kesehatan, sedangkan Ari Pramudya dari Amnesty lebih mengedepankan sifat individual. Sifat kolektivitas sendiri dalam hukum kesehatan mengutamakan kepentingan umum untuk memastikan terjaminnya kesehatan masyarakat luas dari penyakit-penyakit termasuk juga didalamnya penyakit menular, seperti COVID-19 (Fred Ameln, 1991). Di sisi lain, sifat individual hukum kesehatan lebih mengedepankan hak-hak pribadi seperti halnya hukum perdata (Fred Ameln, 1991). Dalam hal ini, hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang disorot oleh pihak yang menentang kebijakan adanya sanksi bagi penolak vaksin COVID-19.

Hak ini juga dikenal dengan istilah The Right of Self-determination atau TROS. TROS sendiri tidak selalu bersifat mutlak dan memiliki batasan, sesuai dengan keadaan yang ada (Fred Ameln, 1991). Mengacu pada Pasal 56 ayat (2) UU 36/2009, TROS bisa dikesampingkan apabila sedang terjadi wabah penyakit yang dapat secara cepat menular ke masyarakat luas. Jika kita lihat, pandemi COVID-19 telah dinyatakan oleh World Health Organization (WHO)  sebagai pandemik (Adityo Susilo, 2020). Melihat fakta-fakta yang ada, TROS pada kasus ini tidak dapat berlaku secara mutlak dikarenakan keadaan pandemi. Menyalahgunakan TROS untuk menolak vaksin akan menghambat upaya untuk menekan angka penyebaran virus COVID-19 di Indonesia yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas.

Perspektif Hak Asasi Manusia

Hal ini juga sejalan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam beberapa peraturan, seperti Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, "Everyone has the right to life, liberty and security of person," Pasal 6 ayat (1) International Convenant on Civil and Political Rights, "Every human being has the inherent right to life. The right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life," dan Pasal 9 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM  dimana pada intinya setiap orang berhak untuk hidup dan memiliki lingkungan yang dapat mendukung hal ini. 

Hak untuk hidup ini harus dilindungi oleh negara dengan kekuatan hukum. Tindakan penolakan vaksin jika dibiarkan dapat menyebabkan adanya gerakan penolakan vaksin secara luas yang akan menghambat penanganan Covid-19 di Indonesia. Dengan demikian, memberikan ruang untuk melakukan gerakan-gerakan seperti merupakan ancaman bagi negara yang sedang berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi Covid-19 di Indonesia.

Negara memiliki kewajiban untuk tegas menghadapi fenomena ini karena negara memiliki tiga kewajiban utama terkait dengan HAM, yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Selain itu, dalam Pasal 12 ICESCR, negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan adanya tindakan preventif, penanganan, dan kontrol terhadap pandemi yang ada di negaranya. 

Oleh karena itu, negara selain berusaha untuk mendapatkan vaksin untuk setiap warga negara, juga harus melakukan berbagai tindakan seperti penetapan sanksi bagi para penolak vaksin agar pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik. Selain itu, negara juga harus melakukan sosialisasi yang baik kepada masyarakat agar dapat teredukasi dengan baik dan secara sukarela menerima vaksin Covid-19.

Apakah Penetapan Sanksi Pidana Merupakan Pilihan yang Tepat?

Selanjutnya, jika kita membahas lebih dalam tentang keputusan pemerintah untuk menetapkan sanksi bagi penolak vaksin, kita bisa melihat kebelakang mengenai tugas dari hukum itu sendiri. Tugas dari hukum itu salah satunya adalah memberikan kepastian (P. Purbacaraka & S. Soekanto, 1993). Namun, pelaksaan dari sanksi pidana ini sendiri harus tetap menjadi upaya terakhir atau ultimum remidium (Topo Santoso, 2020). Negara harus mengupayakan upaya lain yang bisa dilakukan seperti penyuluhan, edukasi mengenai pentingnya vaksin untuk kekebalan masyarakat terhadap Covid-19, dan sanksi administratif sebelum menggunakan sanksi pidana bagi para penolak vaksin Covid-19.

Selain itu, terdapat juga urgensi untuk segera menyuntikkan vaksin yang sudah dimiliki oleh pemerintah karena vaksin COVID-19 ini juga memiliki masa simpan sehingga harus segera didistribusikan (CNBC Indonesia, 2020). Dengan adanya kepastian hukum ini, diharapkan penyelenggaraan vaksinasi nasional bisa berjalan sesuai rencana. Namun, cara seperti inipun sebenarnya bukanlah cara yang paling tepat untuk memastikan program vaksinasi nasional bisa berjalan dengan baik. Sejarah mencatatkan bahwa pemaksaan untuk menerima vaksin sebenarnya tidak selalu berjalan baik untuk menekan angka penyebaran virus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun