Tepat pada tanggal 2 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi mengumumkan kasus corona pertama di Indonesia. Setahun kemudian, hingga kini, terdapat lebih dari 1,5 juta kasus positif COVID-19 di Indonesia (Kemenkes, 2021). Pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk menekan angka penyebaran virus corona yang semakin merajalela. Salah satunya adalah melakukan vaksinasi dengan skala nasional. Presiden Joko Widodo menyebutkan, pemerintah sudah mengamankan pemesanan 329.500.000 vaksin COVID-19.Â
Jumlah ini berasal dari berbagai jenis vaksin yaitu, 122,5 juta dosis vaksin dari Sinovac, 50 juta dosis vaksin dari Novavax, 50 juta dosis vaksin dari Pfizer, 50 juta dosis vaksin dari AstraZeneca, dan 54 juta dosis vaksin dari Covax/GAVI. Program vaksin ini dijalankan secara merata di seluruh Indonesia setelah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan dipastikan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa MUI No 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences, Co. Ltd China dan PT Biofarma.
Sanksi untuk Penolak Vaksin
Untuk memastikan program vaksinasi nasional ini bisa berjalan dengan baik, pemerintah menetapkan sanksi baik administratif maupun pidana bagi mereka yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID-19, namun tidak mengikutinya. Sanksi administratif ini tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (PP No. 14/2021). Sedangkan, sanksi pidana mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 36/2009) tepatnya di pasal 93.
Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai adanya sanksi pidana ataupun sanksi administratif bagi mereka yang enggan untuk melakukan vaksinasi. Pada hari Sabtu, 9 Januari 2021, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Hiarej, menyatakan bahwa ada hukuman pidana bagi mereka yang menolak untuk menerima vaksin Covid-19, yaitu mereka dapat dikenakan sanksi paling lama satu tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp100 juta (Kompas, 2021).Â
Peneliti dari Amnesty International Indonesia, Ari Pramudya, langsung melontarkan kritik sebagai tanggapan dari hal ini. Ia mengatakan bahwa pemaksaan vaksinasi dengan ancaman hukuman pidana merupakan pelanggaran HAM. Tentu saja fenomena ini menjadi perbincangan di masyarakat, apakah benar pemaksaan vaksinasi dengan ancaman pidana merupakan pelanggaran HAM? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat terlebih dahulu apa saja dasar hukum yang menjadi senjata masing-masing pihak.
Pertama, Wamenkumham RI menyatakan ketentuan sanksi pidana bagi penolak vaksin tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018). Pasal 93 UU No. 6/2018 menyatakan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.Â
Selain itu, pada pasal 9, disebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada ini, hukuman bagi mereka yang menolak vaksinasi ini juga serupa dengan hukuman bagi mereka yang tidak menggunakan masker dan tidak menjalankan protokol kesehatan.
Di sisi lain, Ari Pramudya mengatakan dasar pendapat yang ia kemukakan tercantum dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia yang intinya menyatakan bahwa intervensi medis hanya boleh dilakukan dengan persetujuan sebelumnya dan tanpa paksaan berdasarkan informasi yang memadai.Â
Selain itu, persetujuan tersebut harus dinyatakan dan dapat ditarik kembali kapan saja dan dengan alasan apapun (Amnesty International, 2021). Hal ini juga sejalan dengan apa yang tercantum dalam Pasal 5, 8, dan 36 UU 36/2009. Dimana pada intinya, setiap orang memiliki hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan untuk dirinya sendiri dan juga berhak untuk menolak tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya dan dalam kasus ini termasuk vaksinasi. Namun, terdapat pengecualian Pasal 56 ayat (1) UU 36/2009, yakni hak untuk menerima atau menolak tersebut tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Perspektif Hukum Kesehatan
Menurut penulis, pandangan dari kedua tokoh ini mengambil perspektif yang berbeda mengenai vaksinasi nasional. Wamenkumham dalam kasus ini lebih mengedepankan sifat kolektivitas dalam hukum kesehatan, sedangkan Ari Pramudya dari Amnesty lebih mengedepankan sifat individual. Sifat kolektivitas sendiri dalam hukum kesehatan mengutamakan kepentingan umum untuk memastikan terjaminnya kesehatan masyarakat luas dari penyakit-penyakit termasuk juga didalamnya penyakit menular, seperti COVID-19 (Fred Ameln, 1991). Di sisi lain, sifat individual hukum kesehatan lebih mengedepankan hak-hak pribadi seperti halnya hukum perdata (Fred Ameln, 1991). Dalam hal ini, hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang disorot oleh pihak yang menentang kebijakan adanya sanksi bagi penolak vaksin COVID-19.
Hak ini juga dikenal dengan istilah The Right of Self-determination atau TROS. TROS sendiri tidak selalu bersifat mutlak dan memiliki batasan, sesuai dengan keadaan yang ada (Fred Ameln, 1991). Mengacu pada Pasal 56 ayat (2) UU 36/2009, TROS bisa dikesampingkan apabila sedang terjadi wabah penyakit yang dapat secara cepat menular ke masyarakat luas. Jika kita lihat, pandemi COVID-19 telah dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) Â sebagai pandemik (Adityo Susilo, 2020). Melihat fakta-fakta yang ada, TROS pada kasus ini tidak dapat berlaku secara mutlak dikarenakan keadaan pandemi. Menyalahgunakan TROS untuk menolak vaksin akan menghambat upaya untuk menekan angka penyebaran virus COVID-19 di Indonesia yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas.
Perspektif Hak Asasi Manusia
Hal ini juga sejalan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam beberapa peraturan, seperti Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, "Everyone has the right to life, liberty and security of person," Pasal 6 ayat (1) International Convenant on Civil and Political Rights, "Every human being has the inherent right to life. The right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life," dan Pasal 9 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM Â dimana pada intinya setiap orang berhak untuk hidup dan memiliki lingkungan yang dapat mendukung hal ini.Â
Hak untuk hidup ini harus dilindungi oleh negara dengan kekuatan hukum. Tindakan penolakan vaksin jika dibiarkan dapat menyebabkan adanya gerakan penolakan vaksin secara luas yang akan menghambat penanganan Covid-19 di Indonesia. Dengan demikian, memberikan ruang untuk melakukan gerakan-gerakan seperti merupakan ancaman bagi negara yang sedang berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi Covid-19 di Indonesia.
Negara memiliki kewajiban untuk tegas menghadapi fenomena ini karena negara memiliki tiga kewajiban utama terkait dengan HAM, yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Selain itu, dalam Pasal 12 ICESCR, negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan adanya tindakan preventif, penanganan, dan kontrol terhadap pandemi yang ada di negaranya.Â
Oleh karena itu, negara selain berusaha untuk mendapatkan vaksin untuk setiap warga negara, juga harus melakukan berbagai tindakan seperti penetapan sanksi bagi para penolak vaksin agar pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik. Selain itu, negara juga harus melakukan sosialisasi yang baik kepada masyarakat agar dapat teredukasi dengan baik dan secara sukarela menerima vaksin Covid-19.
Apakah Penetapan Sanksi Pidana Merupakan Pilihan yang Tepat?
Selanjutnya, jika kita membahas lebih dalam tentang keputusan pemerintah untuk menetapkan sanksi bagi penolak vaksin, kita bisa melihat kebelakang mengenai tugas dari hukum itu sendiri. Tugas dari hukum itu salah satunya adalah memberikan kepastian (P. Purbacaraka & S. Soekanto, 1993). Namun, pelaksaan dari sanksi pidana ini sendiri harus tetap menjadi upaya terakhir atau ultimum remidium (Topo Santoso, 2020). Negara harus mengupayakan upaya lain yang bisa dilakukan seperti penyuluhan, edukasi mengenai pentingnya vaksin untuk kekebalan masyarakat terhadap Covid-19, dan sanksi administratif sebelum menggunakan sanksi pidana bagi para penolak vaksin Covid-19.
Selain itu, terdapat juga urgensi untuk segera menyuntikkan vaksin yang sudah dimiliki oleh pemerintah karena vaksin COVID-19 ini juga memiliki masa simpan sehingga harus segera didistribusikan (CNBC Indonesia, 2020). Dengan adanya kepastian hukum ini, diharapkan penyelenggaraan vaksinasi nasional bisa berjalan sesuai rencana. Namun, cara seperti inipun sebenarnya bukanlah cara yang paling tepat untuk memastikan program vaksinasi nasional bisa berjalan dengan baik. Sejarah mencatatkan bahwa pemaksaan untuk menerima vaksin sebenarnya tidak selalu berjalan baik untuk menekan angka penyebaran virus.
Dicky Budiman, Epidemiolog dari Grifftith University Australia, berpendapat bahwa cara pemerintah Indonesia untuk menetapkan sanksi bagi masyarakat yang enggan untuk melakukan Vaksinasi Covid-19, tidak akan berhasil (BBC, 2020). Hal ini dikarenakan adanya sanksi malahan akan menjadi alasan bagi mereka yang menolak untuk terus menyuarakan penolakan vaksin karena merasa vaksinasi ini dilakukan secara terburu-buru dan terpaksa. Sebaiknya, upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksin dengan cara melakukan komunikasi yang baik. Jika masyarakat diberikan edukasi yang mendalam tentang pentingnya melakukan vaksinasi dan keamanan dari vaksin itu sendiri, masyarakat tentu akan lebih nyaman dan merasa aman untuk menerima vaksin Covid-19.
Dengan demikian, semua kembali kepada pribadi masing-masing. Menurut penulis, negara sudah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan pandemi ini di Indonesia. Mulai dari pembatasan sosial, kebijakan untuk work from home, dan sekarang dengan melakukan vaksinasi nasional. Tindakan penolakan vaksin merupakan hal yang keji dan egois. Mereka yang menolak untuk menerima vaksin tidak bisa menjamin bahwa mereka tidak akan menularkan Covid-19 kepada orang lain.Â
Sekarang adalah saatnya kita sebagai warga negara saling membantu untuk melawan Covid-19. Sudah ada banyak hasil riset mengenai vaksin Covid-19 yang bisa kita akses dengan mudah di internet. Akan tetapi, tetap saja akan ada mereka yang lebih percaya berita bohong dan cerita konspirasi dibandingkan dengan fakta sains. Akui saja, masyarakat kita memang cenderung percaya kepada hal-hal yang berbau mitos dan konspiratif dibandingan dengan hasil riset dari lab.
Bagi anda yang ingin agar pandemi ini segera terselesaikan dengan baik, bisa mulai membantu dengan melakukan edukasi kepada orang di sekitar anda tentang pentingnya vaksinasi nasional ini. Mengeluarkan statement yang menentang penetapan sanksi bagi para penolak vaksin atas nama HAM juga penulis rasa kurang tepat. Menurut Pasal 69 ayat (1) UU No. 39/1999, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Hak untuk hidup adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali. Dengan mendukung penolakan vaksin Covid-19, anda sama saja dengan mengancam hak hidup orang lain.
Referensi
BUKU
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Kaedah Disiplin Hukum
Santoso, Topo. Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Cet. 1. Jakarta: RajaGrafindo, 2020.
JURNAL
Susilo, Adito. "Corona Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 7. No. 1 (2020).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN FATWA
Fatwa MUI No. 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences, Co. Ltd China dan PT Biofarma.
Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), LN No. 66 Tahun 2021.
Indonesia. Undang Undang Kekarantinaan Kesehatan. UU No. 6 Tahun 2018, LN No. 128 Tahun 2019, TLN No. 6236.
Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886.
DARING
Amnesty International Indonesia. ""Memaksakan Vaksinasi dengan Ancaman Pidana merupakan Pelanggaran HAM." https://www.amnesty.id/memaksakan-vaksinasi-dengan-ancaman-pidana-merupakan-pelanggaran-ham/. Diakses pada 9 April 2021.
BBC News Indonesia, "Penolak vaksin Covid-19 kena sanksi, epidemiolog: 'Pemaksaan tidak akan berhasil." https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56061572. Diakses pada 9 April 2021.
Kementerian Kesehatan, Data Sebaran Covid-19 di Indonesia, https://covid19.go.id/, diakses pada 9 April 2021.
Ramadhan, Ardito. "Wamenkumham: Menolak Vaksinasi Covid-19 Bisa Dipidana." https://nasional.kompas.com/read/2021/01/11/08572481/wamenkumham-menolak-vaksinasi-covid-19-bisa-dipidana?page=all. Diakses pada 9 April 2021.
Sembiring, Lidya Julita. "Vaksin Covid Rentan Rusak, Negara-Negara Pusing Angkutnya." https://www.cnbcindonesia.com/news/20201205201843-4-207103/vaksin-covid-rentan-rusak-negara-negara-pusing-angkutnya. Diakses pada 9 April 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H