Keberadaan suku Tionghoa tidak bisa dipisahkan dari rangkaian sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia dari mulai jaman kerajaan, penyebaran agama Islam, pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Meski sempat mendapatkan tindakan diskriminasi, suku Tionghoa tetap berjuang untuk ikut membawa kemajuan dan kemakmuran bagi Indonesia.
Bahkan bagi suku Tionghoa yang sudah menetap lama di Indonesia, Nusantara adalah tanah tumpah darah, tanah sampai akhir menutup mata dan tanah air mereka, satu nusa satu bangsa, bangsa Indonesia. Rasa cinta akan Indonesia tentunya sudah tertanam di dalam lubuk hati paling dalam, mulai dari berpikir, berkata hingga bertindak semua dilakukan untuk Indonesia.
Memang sangat panjang rangkuman perjalanan suku Tionghoa di Nusantara, mungkin bisa dikatakan cerita itu tidak memiliki ujungnya karena akan terus mengalir. Lahir dan besar di tanah air Indonesia membuat keturunan Tionghoa kian melebur dengan suku-suku lainnya dan bersama memajukan Indonesia.
BAB Â I
Jaman Kerajaan
Kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara sudah terjadi sejak abad kelima, seorang biksu bernama Faxian disebut menjadi orang Tionghoa pertama yang menginjakan kaki di Indonesia. Namun jejak dari Faxian sulit terlacak dan tidak memiliki jejak sejarah yang bisa untuk diteliti lebih lanjut.
Menurut sejarah yang tercatat rute perjalanan etnis Tionghoa ke Nusantara mulai terjadi pada abad ketujuh di era Dinasti Tang. Hal ini bisa dipastikan kebenarannya karena Pulau Jawa tercatat dalam sejumlah dokumen sejarah penilanggalan Dinasti Tang yang menyebut sejumlah warganya datang ke Nusantara.
Kemudian catatan sejarah lainnya mencatat ketika Bangsa Mongol berusaha mencari rute singkat ke Pulau Jawa untuk mengirimkan armada perangnya. Ketegangan ini konon terjadi karena Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari pada tahun 1298 merusak wajah dari utusan Mongol yang membuat Khubilai Khan murka.
Hubungan Tionghoa dan Nusantara sempat merenggang karena insiden Kerajaan Singhasari dengan Khubilai Khan, namun ketegangan itu reda saat masa Dinasti Ming. Kedatangan Dinasti Ming ke Pulau Jawa ditenggarai untuk memperbaiki hubungan antar kerajaan yang sempat memanas.
Setelah itu hubungan dagang kedua belah kerjaan mulai membaik, warga Tionghoa banyak yang mulai berdagang di Nusantara. Awalnya hanya kaum pria yang datang ke Nusantara karena terlalu berisiko untuk wanita ikut merantau, akhirnya banyak terjadi peranakan Tionghoa di Nusantara.
Pada era Majapahit juga disebutkan bahwa banyak masyarakat Tionghoa yang menjadi bagian dari kerajaan tersebut berdasarkan temuan prasasti ataupun arca terakota. Penggambaran orang Tionghoa pada arca Majapahit tampak duduk bersila memakai maozi atau tutup kepala setengah lingkaran dengan tonjolan kecil dan memiliki mata sipit.
Menjadi bagian dari dari Kerjaan Majapahit, warga Tionghoa berbaur menyatu dengan warga lokal lainnya tanpa ada pandang bulu. Ada yang menjadi prajurit, pedagang ataupun petani mereka bahu membahu menjadikan Majapahit sebagai kerajaan yang ditakuti oleh kerajaan Asia lainnya.
Ada juga kisah dari Laksamana Cheng Ho, pelaut yang sebelum Christoper Columbus telah menginjakan kaki di Benua Amerika lebih dahulu. Kisahnya cukup tenar bagi masyarakat di Indonesia, namanya pun banyak dijadikan nama masjid di sejumlah daerah di tanah air sebagai bentuk penghormatan.
Kegagahan Laksamana Cheng Ho mulai dikenal oleh masyarakat Nusantara pada zaman Kerajaan Sriwijaya dimana dirinya kerap membantu masyarakat sekitar. Kedatangan Laksamana Cheng Ho di Nusantara berawal dari saat dirinya tiba di pesisir Jawa pada tahun 1413.
Pasukan yang dibawa Laksamana Cheng Ho disambut oleh sejumlah tokoh di Gresik , mereka hidup berbaur dengan masyarakat di Jawa. Kehadirannya yang membawa misi pelayaran untuk peneguhan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di laut selatan dilakukan dengan diplomasi damai.
Banyak dari anak buah Laksamana Cheng Ho yang akhirnya menetap di Nusantara dan memiliki suami atau istri warga lokal sehingga banyak peranakan Tionghoa di tanah air. Kegagahan dan pribadi yang suka menolong membuat Laksamana Cheng Ho menjadi pribadi yang dihormati dan disegani oleh masyarakat Indonesia.
BAB II
Penyebaran Agama Islam
Bicara soal penyebaran agama Islam di Indonesia juga tidak lepas dari peran para saudagar asal Tionghoa termasuk peran dari Laksamana Cheng Ho. Memang terdengar cukup unik, Laksamana Cheng Ho sendiri merupakan seorang muslim asal Tiongkok yang lahir dari orangtua muslim dari etnis Hui di Yunan.
Menurut sejarah setiap singgah di pesisir Jawa mulai dari Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Tuban, Gresik hingga Surabaya, Laksamana Cheng Ho selalu mengajak orang-orang Islam dari Tiongkok untuk ikut serta. Laksamana Cheng Ho bahkan disebut memiliki agenda tersendiri untuk melakukan menyebaran Islam di Nusantara.
Ada juga cerita saat Kerajaan Majapahit berkuasa di Bumi Nusantara datanglah seorang musafir asal Champa (China Selatan). Pria itu bernama Maulana Malik Ibrahim atau yang akhirnya dikenal dengan gelar Sunan Gresik.
Kala itu tepatnya pada tahun 801 H/ 1329 M  dirinya datang ke Nusantara untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Perlahan dirinya merangkul masyarakat beragama Hindu yang  tersisihkan oleh kerajaan.
Sunan Gresik merupakan tokoh pertama yang menyebarkan agama Islam di Indonesia atau merupakan wali senior di antara para walisongo yang lainnya. Kehadirannya membuat agama Islam mudah diterima oleh masyarakat.
Setelah Sunan Gresik ada lagi musafir yang datang dari Champa untuk menyebarkan Islam, beliau adalah Raden Rahmat. Tokoh yang bergelar Sunan Ampel ini memiliki nama asli Bong Swie Ho.
Cerita sejarah itu berdasarkan tulisan dari Profesor Slamet Mulyana dituangkan dalam buku berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara". Sebuah buku yang dilarang terbit pada tahun 1968 karena dianggap isinya terlalu sensitif.
Apa yang disampaikan oleh Profesor Slamet Mulyana itu juga diperkuat dari istilah gelar Sunan yang berasal Dari dialek bahasa China. Asal usul gelar Sunan berasal dari dialek Hokkian "Su" dan "Nan".
"Su" merupakan kependekan dari kata "Suhu atau Saihu" yang berarti guru. Para Walisongo dianggap sebagai guru oleh warga karena telah mengajarkan mereka agama Islam.
Sementara itu "Nan" memiliki arti selatan. Ada apa dengan selatan? Champa yang menjadi kota asal para Walisongo merupakan sebuah daerah yang berada di selatan dari Negeri Tiongkok.
Jaman itu memang Champa banyak warganya yang menganut agama Islam. Namun pergantian dari Kekaisaran Dinasti Ming dan hancurnya Kesultanan Champa oleh Vietnam pada 1471 membuat muslim Tionghoa kian sedikit.
Sejarah jangan sampai di lupakan, kita Indonesia bersyukur dengan kehadirian para Walisongo yang sudah membawa kebaikan dan memperkaya kebudayaan kepada masyarakat nusantara. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Para Walisongo melakukan dakwah tanpa melupakan kebudayaan yang sudah ada di masyarakat. Seperti misalnya toleransi yang dilakukan oleh Sunan Kudus, Ca Tek Su dengan melarang pengikutinya menyembelih sapi karena dianggap hewan suci.
Selain kisah para sunan, asal muasal sebutan kyai juga berasal dari kata hokian. Dimana kia memiliki artinya jalan dan ie artinya lurus, jadi kyai memiliki arti jalan yang lurus.
Salah satu kyai besar Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa adalah pendiri Nahdlatul Ulama, Kyai Haji Hasyim Asy'ari. Kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tersebut merupakan anak dari Raden Rachmat atau Sunan Ampel.
Sunan Ampel sendiri merupakan peranakan Tionghoa karena memiliki ayah yang bernama Tan Kim Han. Pernyataan ini pernah berulang kali disampaikan oleh Gus Dur saat dirinya menjadi Presiden Indonesia.
BAB III
Pra Kemerdekaan
Di masa pra-kemerdekaan Indonesia, eksistensi orang-orang Tionghoa bak hilang ditelan bumi. Mereka seakan kalah pamor oleh suku-suku lain ketika era pergerakkan nasional.
Padahal mereka juga lahir dan dibesarkan di tanah Nusantara. Mengapa bisa begitu?
Lewat bukunya yang bertajuk Dilema Minoritas Tionghoa terbitan tahun 1986, Leo Suryadinata menyampaikan bahwa keberadaan dan eksistensi mereka sedikit tersisih lantaran dianggap berbeda dengan suku-suku lain. Kendati demikian sejumlah literatur mencatat adanya rekam jejak peran orang Tionghoa di masa pra-kemerdekaan.
Salah satunya adalah pendirian Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932. Sesuai namanya, partai yang didirikan oleh Liem Koen Hian pun beranggotakan warga Tionghoa.
Kemajuan ekonomi, sosial, dan politik Indonesia menjadi alasan PTI berdiri. Tapi sayangnya PTI dianggap homogen dan kurang mampu memuaskan orang-orang Tionghoa yang ingin memperluas wilayah pergaulannya. Lalu pada 1942, PTI resmi dibubarkan oleh Jepang.
Sosok Liem Koen Hian tak hanya tampil di PTI, dia juga menjadi pelopor koran Tionghoa berbahasa Melayu dengan nama Sin Tit Po pada 1929. Pria ini menjadi salah satu orang Tionghoa yang berpihak pada pergerakan nasional di Indonesia.
Sin Tit Po tidak hanya menjadi bacaan para Tionghoa. Namun juga mampu menggaet dan memberikan pengaruh bagi warga lokal. Sering kali koran tersebut juga menjadi ladang untuk pemberitaan yang menguntungkan berbagai pergerakan di Indonesia.
Di samping Sin Tit Po, ada pula koran lain bernama Sin Po yang turut berpihak pada pergerakan nasional kala itu. Salah satu bentuknya dengan menayangkan lagu Indonesia Raya karangan W.R Soepratman beserta not angka dan not baloknya.
Selain Liem Koen Hian, ada Daniel Dharma alias John Lie. Pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara itu merupakan perwira militer Angkatan Laut.
Dia sempat ditugaskan di Cilacap dan berhasil membersihkan ranjau-ranjau yang ditanam Jepang. Kemudian mengamankan kapal-kapal pengangkut komoditas ekspor Indonesia ke luar negeri.
Pasca kemerdekaan, John Lie terus mendedikasikan dirinya untuk tanah air. Seperti pada 1950, ia aktif dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku.
Ada pula Yap Tjwan Bing yang menjadi satu-satunya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penyandang gelar sarjana farmasi dari sebuah universitas di Amsterdam pada tahun 1939 ini pun turut hadir dalam pengesahan UUD 1945 dan pemilihan presiden beserta wakilnya pada 18 Agustus 1945.
Yap juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan DPR-RIS. Yap juga menjadi sosok yang cukup dekat dengan Soekarno.
Orang Tionghoa lainnya yang aktif dalam pergerakan nasional adalah Oei Tjong Hauw. Pada 1928, dia menjadi ketua partai Chung Hwa Hui (CHH), yakni partai warga peranakan yang berpendidikan Belanda.
Kemudian tahun 1945, Oei Tjong Hauw diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sekaligus perwakilan dari golongan Tionghoa.
Dan yang terakhir ada kisah, WR Soepratman, yang konon kabarnya adalah seorang kristiani ini terlahir pada 9 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 di Surabaya. Ada juga yang menyatakan bahwa WR Soepratman terlahir pada 19 Maret 1903.
Ia sendiri merupakan anak ke-7 dari ayahnya yang bernama Joemeno Senen Kartodikromo (seorang tentara KNIL Belanda), dan ibunya bernama Siti Senen. Masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, tepatnya di daerah sekitar Jatinegara.
Kemudian, pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem yang adalah kakak sulungnya, hijrah dari Jakarta ke Makassar. Disana, ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah "Klein Ambtenaar".
Dari Makassar, ia pindah sebentar ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Setelah itu, ia tinggal di Jakarta dan mulai tertarik kepada pergerakan nasional, dimana ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Indahnya, pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum dengan gesekan biola.
Lagu Indonesia Raya itu bergema di rumah milik keturunan Tionghoa bernama Sie Kong Lian yang kala itu menyediakan rumah untuk berkumpul para pemuda dari seluruh Indonesia. Dirinya memberikan ruang kepada para pemuda untuk bertukar pikiran dan merumuskan naskah Sumpah Pemuda.
Para tokoh bangsa seperti Muhammad Yamin, Amir Syarifuddin hingga Soegondo Djojopespito berkumpul untuk menghadiri kongres pemuda kedua di rumah yang terletak di Jalan Kramat Raya nomor 106, Jakarta Pusat. Kini keturunan dari Sie Kong Lian telah mewariskan rumah tersebut untuk dijadikan Musem Sumpah Pemuda.
Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat, lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka..
Dalam perjalanan waktu, Wage Rudolf Soepratman menghubungi para pemilik perusahaan rekaman di Batavia, yaitu Odeon, ThioTek Hong, Yo Kim Tjan dan beberapa orang lain, untuk merekam lagu Indonesia Raya. Tapi, hanya Yo Kim Tjan, seorang Tionghoa yang bersedia merekam lagu Indonesia Raya karena yang lainnya takut ditangkap Belanda.
Selain itu, WR Soepratman juga bekerja sebagai wartawan lepas surat kabar "Sin Po", koran yang diterbitkan masyarakat Tionghoa. "Sin Po" adalah surat kabar pertama yang mempublikasikan teks lagu Indonesia Raya sesudah dikumandangkan WR Soepratman pada Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Berkat eskpose dari suratkabar "Sin Po", lagu Indonesia Raya makin diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia kala itu. Pemerintah Hindia Belanda terkejut dan marah karena menilai lagu itu membahayakan kepentingan dan merugikan politik Belanda maka lagu Indonesia Raya dilarang. Rakyat bergolak.
Berbagai suratkabar di Indonesia menggugat, termasuk politisi bangsa Indonesia memprotes tindakan pemerintah Hindia Belanda melarang lagu Indonesia Raya.
Akhirnya, protes keras atas larangan menyanyikan lagu Indonesia Raya direspon pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan tidak berkeberatan menyanyikan lagu Indonesia Raya tetapi kalimat "Merdeka, Merdeka" tidak dicantumkan.
WR. Soepratman sebagai pencipta lagu mengerti syair lagu "Merdeka, Merdeka" itu yang ditakutkan Belanda dan syair lagu "Merdeka, Merdeka" itu menyemangati persatuan dan gelora perjuangan tidak berhenti.
Kemerdekaan Indonesia juga tidal lepas dari peran orang Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong. Rumahnya di Rengasdengklok menjadi tempat Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta diasingkan sebelum proklamasi kemerdekaan.
Rumah Rengasdengklok menjadi saksi sejarah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia disiapkan dan ditulis. Djiaw Kie Siong sendiri merupakan keturunan Tionghoa Hakka yang menjadi tentara PETA untuk berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.
Kisah para pejuang keturunan Tionghoa itu bisa menjadi contoh bagi para kaum muda untuk semakin mencintai bangsa Indonesia. Mari kita berkarya mengisi kemerdekaan dengan semangat keberagaman.
Sejarah panjang suku Tionghoa yang tak bisa dilepaskan dari kisah perjuangan bangsa Indonesia..
Hubungan bangsa Indonesia dengan suku Tionghoa memang tidak bisa dipisahkan, meski sempat beberapa kali mamanas akibat hembusan isu soal SARA, namun sejatinya mereka telah berjuang bersama sejak jaman dahulu kala. Jangan sampai karena adu domba persaudaraan antar suku di Indonesia dan suku Tionghoa terusak oleh perselisihan.
Para nenek moyang telah meninggalkan sejarah baik tentang persaudaraan di Bumi Nusantara, semuanya harus kita jaga demi kemajuan bangsa Indonesia di pentas dunia. Mereka atau bangsa lain yang mencoba adu domba ke bhinekaan Indonesia dengan mengadu domba antar suku, tujuan mereka atau bangsa lain tidak ingin Indonesia menjadi maju, kuat dan sejahtera seperti kala Majapahit menaklukkan Asia dan ketika suku di Indonesia semua bergandeng  melawan Kolonial Belanda.
Biarlah sejarah terus diukir dengan semangat persatuan agar anak cucu kita kelak bisa menikmati apa yang sudah dibangun seperti kita sekarang menikmati perjuangan nenek moyang kita dalam mendirikan Indonesia.
Tanah tumpah darah, tanah kelahiran, tanah sampai akhir hayat dan tanah air, satu nusa satu bangsa, bangsa Indonesia...
Oleh : Sony Kusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H