Di masa pra-kemerdekaan Indonesia, eksistensi orang-orang Tionghoa bak hilang ditelan bumi. Mereka seakan kalah pamor oleh suku-suku lain ketika era pergerakkan nasional.
Padahal mereka juga lahir dan dibesarkan di tanah Nusantara. Mengapa bisa begitu?
Lewat bukunya yang bertajuk Dilema Minoritas Tionghoa terbitan tahun 1986, Leo Suryadinata menyampaikan bahwa keberadaan dan eksistensi mereka sedikit tersisih lantaran dianggap berbeda dengan suku-suku lain. Kendati demikian sejumlah literatur mencatat adanya rekam jejak peran orang Tionghoa di masa pra-kemerdekaan.
Salah satunya adalah pendirian Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932. Sesuai namanya, partai yang didirikan oleh Liem Koen Hian pun beranggotakan warga Tionghoa.
Kemajuan ekonomi, sosial, dan politik Indonesia menjadi alasan PTI berdiri. Tapi sayangnya PTI dianggap homogen dan kurang mampu memuaskan orang-orang Tionghoa yang ingin memperluas wilayah pergaulannya. Lalu pada 1942, PTI resmi dibubarkan oleh Jepang.
Sosok Liem Koen Hian tak hanya tampil di PTI, dia juga menjadi pelopor koran Tionghoa berbahasa Melayu dengan nama Sin Tit Po pada 1929. Pria ini menjadi salah satu orang Tionghoa yang berpihak pada pergerakan nasional di Indonesia.
Sin Tit Po tidak hanya menjadi bacaan para Tionghoa. Namun juga mampu menggaet dan memberikan pengaruh bagi warga lokal. Sering kali koran tersebut juga menjadi ladang untuk pemberitaan yang menguntungkan berbagai pergerakan di Indonesia.
Di samping Sin Tit Po, ada pula koran lain bernama Sin Po yang turut berpihak pada pergerakan nasional kala itu. Salah satu bentuknya dengan menayangkan lagu Indonesia Raya karangan W.R Soepratman beserta not angka dan not baloknya.
Selain Liem Koen Hian, ada Daniel Dharma alias John Lie. Pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara itu merupakan perwira militer Angkatan Laut.
Dia sempat ditugaskan di Cilacap dan berhasil membersihkan ranjau-ranjau yang ditanam Jepang. Kemudian mengamankan kapal-kapal pengangkut komoditas ekspor Indonesia ke luar negeri.
Pasca kemerdekaan, John Lie terus mendedikasikan dirinya untuk tanah air. Seperti pada 1950, ia aktif dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku.