Bibir  Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar bersamaan  waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada malam itu,  mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon Natal.  Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil di  antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk membantu  Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan serpihan-serpihan kapas.
Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu gereja dimatikan. Kegelapan  menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya pohon Natal, Martohap segera  merengkuh dan mendekap tubuh Pita erat-erat. Sebelum seseorang  mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat altar gereja, pemuda itu telah  selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling tatap penuh makna. Dan Songgop  menatap curiga!
Dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu,  Songgop kembali ke kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi berumur  beberapa bulan. Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang  telah dinikahinya di Tanah Karo.
Sebelum tengah hari Pita  membuka kedai tuaknya. Tak lama kemudian dua orang lelaki masuk dan  segera membuka papan catur yang selalu tersedia di atas sebuah meja.  Tapi sebelum menyusun buah caturya, salah seorang menyapa.
"Tadi malam kulihat kau bercakap-cakap dengan seseorang. Siapa dia?"
Pita sempat tergagap sebelum menjawab, "Dia pendatang yang sedang mencari seseorang."
"Siapa yang dicarinya?"
"Katanya adiknya," jawab Pita sekenanya.
"Ah, kok bisa dia kehilangan adik? Sudah berapa lama dia merantau?"
"Aku tak tahu!"
Lelaki  itu terdiam sejenak. "Aneh juga. Kau lama bercakap-cakap dengan dia,  tetapi tak tahu berapa lama dia sudah merantau." Dahinya berkerut.  "Sudah kau suruh bertanya ke Kepala Kampung?" sambungnya.