Di  dalam hatinya, Pita berkali-kali menyebut nama Tuhannya. "Tuhan,  akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk menemuiku. Terima kasih Tuhan, mendekati usia senja aku masih sempat melihat wajahnya."
Dua  puluh lima tahun yang lalu, Pita sering termenung menimbang-nimbang  perasaannya. Rencana pernikahan itu membuatnya resah dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati, apakah aku benar-benar  tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam genggaman orangtuaku?
Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan,  terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur  kertas ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik  bubur kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan  tanaman industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan.
Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di  pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu  gunung dilinggis  beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat  berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan  mereka, "Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami". "Stop menebar racun di Tanah Toba!".
Truk-truk  pengangkut kayu terpaksa berhenti. Terjadi antrean panjang lebih dari  10 jam. Penumpang-penumpang bus lintas Sumatera terpaksa turun  untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka bekerja sama menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan.
Dua  hari setelah demonstrasi itu, orang-orang asing berseragam dan berbaju  preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung. Masyarakat saling  berbisik. "Kepala Kampung dituduh sebagai penggerak demo."
"Beberapa anggota masyarakat sedang dicari."
"Yang  dicap sebagai tokoh harus segera bersembunyi!" Dan calon mertuanya  sempat menghilang beberapa hari. Ada yang mengatakan sedang ditahan,  tapi berita-berita di televisi mengatakan sedang diinterogasi. Beberapa  hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat sibuk mengadakan rapat  dengan masyarakatnya.
Hari pernikahan itu tentu urung  dilaksanakan, tapi tepat pada hari itu tersiar kabar pengangkatan kepala  kampung yang baru. Masyarakat kembali berbisik-bisik.
"Kepala  kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah." Pada saat yang  sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari jabatannya.  Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua. Ada kubu yang  mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu pula, Songgop,  pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap sebagai salah seorang  aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan demonstrasi besar-besaran  itu.
Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya  menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si  perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap  yang menjadi pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.