Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pelantikan Trump: Antara Harapan & Kekhawatiran dalam Dinamika Global

20 Januari 2025   08:33 Diperbarui: 20 Januari 2025   08:33 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donald Trump dan Wakil Presiden terpilih JD Vance, Minggu, 19 Januari 2025, di Arlington, Virginia. (sumber: seattletimes.com | Foto AP/Evan Vucci)

Menurut informasi dari situs resmi Senat AS dan US News, upacara pelantikan Presiden ke-60 Amerika Serikat, Donald Trump, bersama Wakil Presiden terpilih JD Vance, akan berlangsung di Gedung Kongres AS (US Capitol) pada hari Senin, 20 Januari 2025. Acara ini akan dimulai pada pukul 12 siang waktu setempat.

Pelantikan ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Amerika Serikat, menandai periode baru di luar tatanan dunia yang diciptakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya pasca-Perang Dunia II. 

Bagi pihak kanan, ini membawa harapan untuk memulihkan nilai-nilai sosial konservatif dan memprioritaskan kesejahteraan ekonomi warga Amerika. Namun, bagi pihak kiri, kembalinya Trump dianggap sebagai awal era yang lebih gelap, ditandai dengan kebijakan yang dianggap nativis, berpikiran sempit, dan berisiko memperburuk ketimpangan sosial.

1. Harapan dan Kekhawatiran di Amerika Serikat

Harapan Pihak Kanan

Pendukung Trump dari kalangan konservatif melihat pelantikannya sebagai peluang untuk menghidupkan kembali kebijakan "America First," termasuk penguatan ekonomi dalam negeri, pengurangan imigrasi ilegal, dan peningkatan supremasi nasional. Banyak yang percaya bahwa masa kepemimpinan Trump akan membawa stabilitas ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru, dan penguatan patriotisme nasional.

Kekhawatiran Pihak Kiri

Sebaliknya, kelompok liberal dan progresif melihat kembalinya Trump sebagai ancaman bagi nilai-nilai demokrasi dan keberagaman. Mereka khawatir bahwa Trump akan kembali mengadopsi kebijakan kontroversial yang dapat memperburuk ketimpangan sosial, mengesampingkan hak-hak minoritas, dan memperdalam polarisasi politik di AS.

2. Harapan dan Kekhawatiran Negara Timur Tengah

Harapan atas Konflik Israel-Palestina dan Gencatan Senjata di Gaza

Gencatan senjata yang telah lama dinanti di Gaza mulai berlaku pada Minggu, 19 Januari 2025, meskipun sempat mengalami penundaan di menit-menit terakhir. Meski memberikan jeda sementara dari konflik yang berkepanjangan, banyak warga Palestina yang kembali ke rumah mendapati tempat tinggal mereka telah hancur akibat serangan sebelumnya.

Hamas menyatakan bahwa untuk setiap sandera yang dibebaskan oleh Israel, 30 tahanan Palestina akan dibebaskan dari penjara Israel. Dengan tiga sandera telah dibebaskan, diharapkan 90 tahanan Palestina juga akan segera dilepaskan. Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda implementasi penuh dari perjanjian ini, memunculkan kekhawatiran baru akan keberlangsungan gencatan senjata tersebut.

Bagi Israel dan sekutu-sekutunya, pelantikan Trump memberikan harapan atas dukungan tanpa syarat terhadap kebijakan keamanan mereka. Selama masa jabatan sebelumnya, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mendorong Perjanjian Abraham yang memperkuat hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara Arab.

Kekhawatiran Pihak Palestina dan Sekutunya

Di sisi lain, Palestina khawatir bahwa kebijakan Trump yang sangat pro-Israel akan memperburuk ketegangan di wilayah tersebut. Gencatan senjata dianggap tidak cukup untuk menyelesaikan akar masalah, terutama jika AS terus memihak Israel dalam proses negosiasi damai.

3. Harapan dan Kekhawatiran atas Perang Rusia-Ukraina

Harapan untuk De-eskalasi Konflik

Kedekatan Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menciptakan harapan bahwa ia dapat memainkan peran kunci dalam menekan eskalasi perang Rusia-Ukraina. Retorika Trump yang sering menyatakan keinginan untuk menghindari keterlibatan Amerika dalam perang asing dianggap dapat membuka jalan bagi upaya diplomasi.

Kekhawatiran tentang Legitimasi Rusia

Namun, banyak pihak khawatir bahwa Trump mungkin mengambil sikap yang terlalu lunak terhadap Moskow. Hal ini dapat melemahkan solidaritas NATO dan memperkuat posisi Rusia di Ukraina, yang pada akhirnya merugikan upaya perdamaian.

4. Harapan dan Kekhawatiran BRICS

Harapan untuk Dunia Multipolar

Kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) melihat pelantikan Trump sebagai peluang untuk mendorong pergeseran menuju dunia multipolar. Pendekatan proteksionis Trump terhadap perdagangan global berpotensi melemahkan dominasi Amerika Serikat dalam organisasi internasional, membuka ruang bagi negara-negara BRICS untuk memperluas pengaruh mereka.

Kekhawatiran tentang Ketegangan Ekonomi

Namun, negara-negara BRICS juga khawatir bahwa kebijakan Trump yang cenderung proteksionis dapat memicu ketegangan baru dalam perdagangan internasional. Jika Trump menerapkan tarif atau sanksi sepihak, stabilitas ekonomi global dapat terganggu.

5. Harapan dan Kekhawatiran Indonesia

Harapan atas Stabilitas Global

Indonesia berharap kepemimpinan Trump dapat mendukung stabilitas global, termasuk dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah. Gencatan senjata di Gaza memberikan peluang bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam mendorong diplomasi internasional melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Dalam konteks perdagangan, Indonesia juga berharap dapat meningkatkan hubungan ekonomi dengan AS, terutama jika Trump mengurangi ketergantungan ekonominya pada China.

Kekhawatiran terhadap Multilateralisme

Namun, kebijakan Trump yang sering mengesampingkan organisasi multilateral seperti ASEAN dan PBB menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dapat melemahkan kerja sama internasional dalam menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim, keamanan maritim, dan pembangunan berkelanjutan.

Amcham Indonesia dan Kamar Dagang AS (USCC) melaporkan investasi Amerika Serikat di Indonesia mencapai USD67 miliar dari tahun 2014 hingga 2023. Ada kekhawatiran jika Donald Trump akan memberikan banyak kelonggaran bagi investor Amerika yang akan menarik kembali investasi mereka  dari negara-negara mitra.

6. Trump Risk Index & Negara-negara yang Rentan

The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Trump Risk Index (TRI), yang mengevaluasi kerentanan negara-negara terhadap kebijakan Trump dalam skala 0 (paling tidak terpapar) hingga 100 (paling terpapar). Sepuluh negara yang paling rentan adalah:

1. Meksiko (71,4)

2. Kosta Rika (59,1)

3. Jerman (52,9)

4. Republik Dominika (52,6)

5. Panama (50,8)

6. China (50,4)

7. Jepang (49,2)

8. El Salvador (48,1)

9. Vietnam (47,1)

10. Honduras (45,8).

Negara-negara Amerika Latin seperti Meksiko, Kosta Rika, dan El Salvador lebih terpapar pada kebijakan keamanan dan imigrasi Trump. Sementara itu, negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan China lebih rentan terhadap kebijakan perdagangan dan keamanan yang akan diambil oleh pemerintahannya.

Menakar Peluang dan Tantangan Pelantikan Donald Trump

Pelantikan Donald Trump menandai babak baru dalam geopolitik global. Konflik Israel-Palestina, gencatan senjata di Gaza, perang Rusia-Ukraina, dan risiko global terhadap kebijakan Trump akan menjadi ujian besar bagi dunia.

Bagi Indonesia, ini adalah peluang untuk memperkuat hubungan bilateral dengan AS, meskipun tantangan kebijakan unilateral Trump tetap menjadi kekhawatiran utama. Dalam lanskap internasional yang kompleks ini, kepemimpinan Trump akan sangat memengaruhi arah stabilitas global pada tahun-tahun mendatang.

Pelantikan Donald Trump membawa dampak yang kompleks bagi perdagangan internasional Indonesia. Di satu sisi, ada peluang untuk meningkatkan investasi dan memperkuat hubungan dagang, terutama dengan memanfaatkan surplus perdagangan dan peluang baru melalui BRICS. Di sisi lain, kebijakan proteksionis dan ketidakpastian global di bawah Trump tetap menjadi tantangan utama.

Keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi penyeimbang, namun strategi diplomasi ekonomi yang cerdas dan adaptif sangat diperlukan untuk memastikan Indonesia tetap memanfaatkan peluang tanpa mengorbankan hubungan dengan AS. (TA)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun