Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sindrom Megalomania dalam Dunia Pendidikan Indonesia yang Involutif, Komersialisasi dan Salah Kaprah Penggunaan Istilah

30 September 2024   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2024   02:16 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via https://discover.hubpages.com/

Adler (1870--1937) seorang tokoh psikologi individual, memandang megalomania sebagai bentuk dari kompleks superioritas, yang merupakan mekanisme pertahanan psikologis untuk menutupi kompleks inferioritas. Menurut Adler, orang dengan megalomania sering kali merasa tidak berharga di dalam diri mereka, sehingga mereka berusaha membangun citra superior untuk mengkompensasi perasaan kurang berdaya.

Sindrom megalomania ini juga terlihat dalam aspek lain yang lebih sistemik, yaitu komersialisasi pendidikan. Banyak lembaga pendidikan menggunakan istilah pusat sebatas gimmick. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara, kini semakin dipandang sebagai komoditas industri komersial. 

Biaya pendidikan yang tinggi dan menjamurnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan swasta yang menawarkan program premium seperti international class atau bilingual program adalah bukti konkret bahwa pendidikan telah menjadi komoditas. Penggunaan terminologi yang cenderung berlebihan digunakan sebagai gimmick marketing di dunia pendidikan non formal.

Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan individu, bukan justru menjadi alat opresi baru yang meminggirkan mereka yang kurang mampu. Komersialisasi pendidikan menciptakan hierarki baru di mana akses terhadap pengetahuan dan kesempatan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu membayar. 

Ini bertentangan dengan gagasan Freire tentang pendidikan yang seharusnya memerdekakan dan inklusif. Pendidikan tidak boleh diperdagangkan atau diukur semata-mata berdasarkan kemampuan finansial, karena hal itu hanya akan memperdalam kesenjangan sosial yang sudah ada.

Benjamin Bloom, dengan teori mastery learning-nya, percaya bahwa semua siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi jika diberikan waktu dan dukungan yang memadai. Komersialisasi pendidikan yang berbasis pada keuntungan dan persaingan cenderung mengabaikan prinsip ini, menggantinya dengan sistem yang tidak memperhitungkan perbedaan individu. Alih-alih memberikan akses setara kepada setiap siswa, pendidikan dijual dalam paket-paket elit yang hanya dapat diakses oleh sebagian kecil masyarakat. Ini menggerogoti prinsip pendidikan yang seharusnya berorientasi pada pengembangan semua individu secara optimal, seperti yang diusulkan oleh Bloom.

Involutif: Kemunduran Pendidikan yang Tersembunyi

Gejala megalomania dan komersialisasi pendidikan ini memperlihatkan betapa pendidikan kita sedang mengalami involusi---berputar tanpa arah yang jelas. Meski tampak ada pergerakan dengan istilah-istilah baru dan inovasi teknologi, pendidikan kita sebenarnya stagnan. 

Dalam capaian skor Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia menunjukkan penurunan skor di semua bidang utama dibandingkan dengan 2018. Berikut adalah rinciannya:

1. Matematika: Siswa Indonesia memperoleh rata-rata 366 poin, lebih rendah dari rata-rata OECD yang 472 poin. Hanya 18% siswa Indonesia yang mencapai tingkat kecakapan minimal (Level 2), jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 69%. Hampir tidak ada siswa Indonesia yang mencapai Level 5 atau 6, kategori siswa berprestasi tinggi.

2. Membaca: Rata-rata skor siswa Indonesia adalah 359 poin, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 476 poin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun