Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sindrom Megalomania dalam Dunia Pendidikan Indonesia yang Involutif: Komersialisasi & Salah Kaprah Penggunaan Istilah

30 September 2024   23:10 Diperbarui: 30 September 2024   23:31 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://discover.hubpages.com/health/Megalomania-and-its-Causes-Can-it-be-Cured

Dalam dekade terakhir, pendidikan di Indonesia tampak mengalami fenomena yang mengkhawatirkan: involutif ---di mana ada kesan bahwa sistem pendidikan terus bergerak, tetapi sebenarnya berjalan merumit kedalam dan cenderung mundur.

Salah satu manifestasi dari masalah ini adalah gejala megalomania, atau ambisi besar yang tidak diiringi oleh upaya substantif. Sindrom ini terlihat jelas dalam dua aspek: maraknya penggunaan istilah coach dalam pendidikan non formal, dan komersialisasi pendidikan yang kian masif. Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, penting mengaitkannya dengan gagasan dari para tokoh pendidikan kritis, seperti Benjamin Bloom dan Paulo Freire.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah kaprah berarti 'kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan'. Salah kaprah berawal dari kurangnya pemahaman penutur/penulis terhadap kata yang digunakannya.

Dalam dunia pendidikan yang semakin digempur oleh tren modernisasi, istilah coach kian digunakan secara sembarangan. Pada dasarnya, coach berbeda dengan pendidik formal seperti guru dan dosen yang terikat pada standar akademis dan pedagogis yang jelas. Namun, istilah ini kini dilekatkan pada individu yang kadang minim kompetensi dalam pendidikan formal, tetapi menawarkan solusi instan melalui seminar motivasi dan kursus cepat.

Benjamin Bloom (1956) seorang psikolog pendidikan yang terkenal dengan Taksonomi Bloom, menekankan pentingnya perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan Bloom, yang direvisi oleh Krathwohl (2021) menggaris bawahi bahwa pendidikan harus memfasilitasi perkembangan menyeluruh individu, mulai dari pemahaman dasar hingga evaluasi kritis. Penggunaan istilah coach yang dangkal, tanpa metodologi yang jelas, seringkali bertentangan dengan prinsip ini. Coaching cenderung berfokus pada solusi cepat tanpa proses pemahaman mendalam, yang justru menjadi inti dalam kerangka belajar berbasis tujuan pendidikan yang terstruktur seperti yang dikemukakan oleh Bloom.

Sementara itu, Paulo Freire (1970), dengan pendekatan pendidikan kritis-nya, menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientization)---di mana peserta didik seharusnya tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga memahami konteks sosial dan politik dari pengetahuan tersebut. Dalam praktik coaching yang komersial, gagasan Freire ini terpinggirkan. 

Coach sering kali hanya memberikan motivasi tanpa memupuk kesadaran kritis yang lebih mendalam. Di sinilah letak bahaya dari sindrom megalomania dalam dunia pendidikan non formal: berfokus pada hasil cepat dan pencapaian individual dengan proses instan tanpa memahami konteks dan struktur permasalahan yang melingkupi pendidikan dan bagaimana hal itu berhubungan dengan masyarakat secara lebih luas.

Sindrom Megalomania & Komersialisasi Pendidikan

Adler (1870--1937) seorang tokoh psikologi individual, memandang megalomania sebagai bentuk dari kompleks superioritas, yang merupakan mekanisme pertahanan psikologis untuk menutupi kompleks inferioritas. Menurut Adler, orang dengan megalomania sering kali merasa tidak berharga di dalam diri mereka, sehingga mereka berusaha membangun citra superior untuk mengkompensasi perasaan kurang berdaya.

Sindrom megalomania ini juga terlihat dalam aspek lain yang lebih sistemik, yaitu komersialisasi pendidikan. Banyak lembaga pendidikan menggunakan istilah pusat sebatas gimmick. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara, kini semakin dipandang sebagai komoditas industri komersial. Biaya pendidikan yang tinggi dan menjamurnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan swasta yang menawarkan program premium seperti international class atau bilingual program adalah bukti konkret bahwa pendidikan telah menjadi komoditas. Penggunaan terminologi yang cenderung berlebihan digunakan sebagai gimmick marketing di dunia pendidikan non formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun