Konstitusi adalah fondasi hukum tertinggi yang mengatur mekanisme pemerintahan, pembagian kekuasaan, serta hubungan antara negara dan warga negara. Namun, konstitusi bukan sekadar kumpulan aturan hukum. Ia juga memuat nilai-nilai etika yang seharusnya menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara.
Etika konstitusi mengacu pada norma moral dan prinsip etis yang mendasari penerapan konstitusi. Konstitusi yang dijalankan secara etis harus memperjuangkan keadilan, hak asasi manusia, keseimbangan kekuasaan, serta memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Namun, di berbagai negara, praktik etika konstitusi mengalami degradasi atau kemerosotan, terutama di tengah tekanan politik dan kepentingan elit. Fenomena ini dapat mengikis kepercayaan publik dan merusak legitimasi moral dari pemerintahan yang berkuasa.Â
Dalam konteks tata kelola negara, legitimasi moral sering kali ditentukan oleh bagaimana suatu sistem politik atau hukum dipersepsikan oleh masyarakatnya. Legitimasi tidak hanya berdasarkan legalitas, tetapi juga pada moralitas dari aturan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah. Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi, berperan dalam membentuk struktur kekuasaan dan mekanisme pengambilan keputusan. Namun, legalitas konstitusi saja tidak cukup; konstitusi juga harus mencerminkan nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat untuk mempertahankan legitimasi moral.
Etika Konstitusi Sebagai Landasan Normatif dalam Penyelenggaraan Negara
Etika konstitusi mencerminkan nilai-nilai dasar yang berfungsi sebagai pedoman moral dalam penyelenggaraan negara.Â
Max Weber, dalam karyanya "Economy and Society" (1922), memperkenalkan tiga tipe otoritas yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan: otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas rasional-legal. Weber berpendapat bahwa dalam masyarakat modern, otoritas rasional-legal adalah yang paling dominan, di mana legitimasi kekuasaan berasal dari sistem hukum dan aturan formal, termasuk konstitusi. Dalam konteks ini, etika konstitusi berperan penting karena kekuasaan dianggap sah ketika dijalankan sesuai dengan hukum yang rasional dan disepakati.
Menurut Weber, otoritas rasional-legal memiliki legitimasi moral selama konstitusi yang mendasari sistem hukum tersebut dianggap adil oleh masyarakat. Jika pemerintah menyalahgunakan kekuasaan atau melanggar prinsip-prinsip konstitusional, legitimasi moralnya akan hilang, meskipun kekuasaannya mungkin tetap sah secara hukum.
Ronald Dworkin (1986), dalam bukunya Law's Empire, menambahkan bahwa hukum tidak hanya harus dipahami secara tekstual, tetapi juga dalam kerangka prinsip-prinsip moral yang mendasari penafsirannya. Dalam hal ini, etika konstitusi harus selalu mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan penguasa.
Etika konstitusi, dalam praktik yang seharusnya