Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Novel Baswedan, Memangnya "Penjahat" Tak Berhak atas Keadilan?

18 Juni 2020   17:24 Diperbarui: 18 Juni 2020   22:17 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Baswedan [Coffee4Soul.club]

Jujur saja, deh. Yang bereaksi keras terhadap ringannya tuntutan jaksa terhadap pelaku penganiayaan Novel Baswedan itu ada dua golongan. Pertama rakyat yang merasa lembaga-lembaga penegakan hukum lemah syahwat. Kedua, akun-akun bala tentara kontraktor opini (buzzer).

Kelompok kedua berusaha keras mengarahkan rasa jengkel rakyat ke istana. Presiden Joko Widodo dijadikan sasaran tembak. 

Hal begini lumrah dalam politik elit yang pragmatis itu. Isu sekecil apapun akan digunakan mendegradasi popularitas lawan. Di tangan kekuatan 'oposisi', itu berarti segencar mungkin memanfaatkan segala isu demi memperburuk citra pemerintahan Jokowi dan faksi elit ekonomi dan politik yang menopangnya.

Setelah Gerindra masuk kabinet, sulit memetakan kekuatan pokok kubu oposisi. Di permukaan, PKS lebih tampak sebagai oposisi formal. Entahlah di ranah politik dunia malamnya.

Mau tak mau, saat ini kita harus menerima percakapan di media sosial sebagai wajah politik konkrit. Di ranah ini, kekuatan yang aktif bermanuver lebih tampak sebagai pencampuran tak terlembaga antara gerakan politik fundamentalis agama dan sejumlah politisi parpol non-kabinet. Dugaan ini berbasis tipe isu yang gencar dikapitalisasi dan diviralkan di medsos.

Oposisi yang sulit terpetakan secara jelas kelembagaannya tampaknya tidak menjadikan penggulingan kekuasaan sebagai intensi pokok gerilya politik media sosial. Tetapi jika ada ruang bagi eskalasi kekecewaan dan kemarahan rakyat, penggulingan kekuasaan bisa jadi rezeki durian runtuh bagi mereka. Yang bisa mereka lakukan saat ini adalah disiplin mengolah isu dan berharap sejarah memihak mereka, menghasilkan krisis politik yang 'produktif'. 

Jika sekalipun harus menunggu pemilu, pengolahan kasus-kasus yang melukai rasa keadilan rakyat menguntungkan oposisi sebagai dis-inventasi di kubu faksi penguasa pemerintahan. Jagoan faksi elit penguasa pemerintahan akan lebih mudah kalah dalam pilpres 2024. 

Demikian pula parpol-parpol mereka, mungkin tergerus suaranya. Ini jika diasumsikan, saat pemilu 2024 nanti, gerakan fundamentalis bawah tanah akan melakukan blocking politik ke salah satu parpol di parlemen sebagai kanal elektoral dari hasil gerilya politik medsos.

Atau boleh pula ini merupakan investasi jangka panjang pembusukan terhadap negara dan sistem demokrasi. Sekali lagi, dengan asumsi yang memobilisasi akun-akun buzzer ini adalah pihak yang sama seperti yang ditudingkan Arief Poyuono untuk isu PKI: para kadrun (dan perlu dipertimbangkan pula cukong-cukong Orba di baliknya).

Pendukung Istana Fight Back.

Saya menduga kubu faksi elit istana sudah menyadari ini. Itu sebabnya ada perlawanan balik di ranah daring. Akun-akun bala buzzer istana --juga yang berbayar pun yang politis ideologis-- berhasil menyundul tagar #PenikamWirantoTerorisISIS jadi trending di twitter pada malam 17 Juni.[1]

Tagar #PenikamWirantoTerorisISIS di-trending-kan untuk merespon arah hasutan kubu lawan yang membenturkan lamanya masa hukuman terhadap penikam Wiranto dengan tuntutan jaksa terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, dua brigadir Brimob pelaku penyerangan Novel. 

Mungkin para pendukung jokowi sudah membaca gelagat pihak lawan yang hendak mengembangkan hasutan dengan narasi suami-istri penikam Wiranto divonis berat karena faktor agamanya. Karena itu perlu dijelaskan status dua orang tersebut sebagai anggota kelompok teroris. 

Sebagai catatan, saya kurang ikuti proses peradilan terhadap penikam Wiranto. Apakah asosiasi mereka dengan gerakan teroris masih dugaan, sangkaan, atau sudah terbukti dan jadi bagian dari kesimpulan hakim saat menjatuhkan vonis.

Selain tagar #PenikamWirantoTerorisISIS, perlawanan balik bala pendukung istana juga mengeksploitasi latar belakang Novel sebagai 'penjahat' dalam kasus penembakan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu. 

Misalnya Denny Siregar, pegiat media sosial --sering dituding sebagai buzzer istana-- menulis di twitter,

"Kalau Novel menuntut keadilan di hukum, coba tanyakan ke dia, seadil apa dia waktu masih jadi penegak hukum saat menyiksa sampai mati pencuri sarang burung walet? Jangan jadi maling teriak maling.

Keadilan itu matanya satu. Saat merasa diperlakukan tidak adil, teriak dizolimi. Ketika berbuat tidak adil dengan menyiksa dan membunuh orang, pura-pura gak tau..Novel, Novel. Jenggot tuh cukur."[2]

Denny merespon cuitan Novel yang mencitrakan diri sebagai korban mafia hukum dan berusaha menyeret Jokowi agar terlibat mendukung dirinya --kini cuitan Novel juga kental bernada menyerang Jokowi.

Sebelumnya Novel menulis di twitter,

"Keterlaluan memang, sehari-hari bertugas memberantas mafia hukum dengan UU tipikor, tetapi jadi korban praktek lucu begini, lebih rendah dari orang menghina. Pak @jokowi, selamat atas prestasi aparat bapak. Mengagumkan."[3]

'Kejahatan' masa lalu Novel Baswedan juga digunakan Rahmat Kadir sebagai dalih moral tindakannya. Rahmat menyatakan ia menyiram Novel Baswedan dengan air keras karena rasa marah dan dendam terhadap kelakukan Novel yang melawan Bareskrim saat proses hukum atas penembakan di Lampung akan kembali dilanjutkan. [4]

Di kemudian hari, para pelaku menyatakan tidak sengaja menyiramkan air keras ke arah Novel. Komedian Emon kemudian mengomentari soal tidak sengaja ini dalam tayangan video yang memprotes ringannya tuntutan jaksa. Emon lantas jadi ikon pro-kontra baru pengguna medsos setelah beberapa akun anonim memfitnahnya mengonsumsi narkoba.

'Kejahatan' Masa Lalu Novel Baswedan

'Kejahatan' Novel Baswedan terjadi pada saat ia menjabat kasat Reskrim Polres Bengkulu, 2004. Berdasarkan reka ulang kejadian yang digelar Polri pada 2015, Novel adalah pelaku penembakan pencuri sarang burung walet.

Ada empat orang yang ditembak Novel. Salah satu di antaranya kemudian meninggal, dan yang lain cacat permanen. 

***

Reka ulang kejahatan Novel Baswedan terhadap rakyat terduga pelaku pencurian Sarang Burung Walet.[5]

Di adegan ke-21, Novel tampak menembak kaki kiri Erwansyah menggunakan senjata api jenis revolver berisi enam peluru hingga tersangka tersungkur. Lalu Novel juga menembak kaki kanan Dedi Muryadi.

Setelah itu saksi I Bripka Lazuardi diperintahkan mengantarkan dua orang yang ditembak itu ke mobil pikap sekaligus membawa dua pelaku lainnya atas nama Rizal alias Ijal dan Mulyan Johan.

Masuk ke adegan ke-28, Novel kembali menembak kaki kiri dan kanan Ijal. Ijal tersungkur lalu Novel menghadiahi tembakan pula ke kaki Mulyadi Johan. Belakangan korban Mulyadi meninggal dunia akibat luka infeksi yang diderita. Kompas.com (02/05/2012), "Ini Kronologi Penembakan oleh Novel Baswedan versi Kepolisian".

***

Kasus yang sudah berusia 17 tahun itu tidak pernah diproses hingga tuntas. Novel hanya menjalani sanksi teguran, namun tetap menjabat sebagai Kasatreskrim.

Hal begini sudah sering terjadi dalam kepolisian. Di Manggarai dulu, Kapolres Boni Tampoi tidak mendapat hukuman yang adil atas penembakan  yang menewaskan 7 orang petani.[6] Sementara kasus penembakan Poroduka, warga Sumba, hingga kini tidak jelas ujungnya.[7] Saya yakin, kalau membaca laporan-laporan pelanggaran HAM, kasus-kasus seperti ini ratusan jumlahnya.

Uniknya, polisi terkesan selalu menggunakan kasus Novel di Bengkulu sebagai semacam alat tukar guling saat berkonflik dengan KPK.

Lini Masa Drama Penyelesaian Kasus Penembakan Pelaku Pencurian Sarang Burung Walet di Lampung.[8]

  • 2012

Novel menggeledah kantor Korlantas terkait kasus korupsi proyek simulator untuk Surat Izin Mengemudi (SIM) yang menyeret mantan Kakorlantas Irjen Djoko Susilo.
Polri menetapkan Novel sebagai tersangka kasus penganiayaan di Bengkulu. 
Konflik polisi vs KPK saat itu populer sebagai kasus Cicak vs Buaya Jilid II. 

  • 2015

KPK menetapkan Kepala BIN Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi.
Polri menangkap Novel Baswedan dengan dalih penyidik senior KPK itu tidak koperatif dalam penyelesaian kejahatan penembakan di Bengkulu. 

  • 2016

Kejaksaan Negeri Bengkulu menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) kasus penembakan yang melibatkan Novel.
Korban mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bengkulu.
Pengadilan mengabulkan permintaan korban tetapi Kejaksaan Negeri Bengkulu tidak pernah melimpahkan berkas kasus ke pengadilan. 

  • 2019

Advokat OC Kaligis atas nama korban menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kejaksaan Negeri Bengkulu karena telah melakukan perbuatan melawan hukum lantaran tak melaksanakan putusan praperadilan. 

Melihat lini masa drama penyelesaian kasus penembakan rakyat di Bengkulu, kita paham bahwa problem bukan terletak di Novel Baswedan sebagai individu melainkan Polri sebagai institusi.

Andai Polri benar-benar memiliki komitmen melindungi rakyat dari tindak kejahatan (HAM) oleh aparat Polri itu sendiri, kasus Novel seharusnya sudah dituntaskan sejak 2004 atau paling lambat 2006.

Narasi tentang Novel menolak mempertanggungjawabkan tindakannya tidak tepat dijadikan pembelaan atas rendahnya tuntutan jaksa.

Benar bahwa sebagai pelaku Novel akan berusaha menghindari jerat hukum. Simpelnya, jangan berharap kemuliaan moral dari seseorang yang bisa semena-mena menembak orang.

Tetapi Polri adalah institusi, bahkan satu-satunya institusi yang diberikan kekuasaan oleh konstitusi untuk memaksa (represi) warga negara mempertanggungjawabkan kejahatannya di depan hukum. Artinya tak ada rintangan yang bisa menghambat Polri --kecuali perintah Presiden-- untuk menyeret Novel ke pengadilan.

Ketidakjelasan proses hukum terhadap Novel merupakan wujud ketiadaan komitmen Polri untuk menindak anggota sendiri.

Bagaimana sebaiknya rakyat menyikapi rendahnya tuntutan jaksa terhadap pelaku penganiayaan Novel Baswedan?

Sebenarnya label Novel sebagai penjahat itu kurang fair. Hingga saat ini belum pernah ada putusan pengadilan bersifat tetap yang menyatakan Novel sungguh menembak para korban. Ini sebabnya kata penjahat selalu saya beri tanda petik.

Tetapi baiklah kita bersasumsi bahwa benar sesuai rekonstruksi polisi pada 2015, Novel menembak empat rakyat di Bengkulu. Untuk itu, tidak bisa tidak, Novel adalah seorang penjahat, bad cop.

Pertanyaannya, apakah penjahat tidak layak mendapatkan keadilan?

Tentu saja layak. Bahkan wajib sebab demikian perintah konstitusi.

Apakah boleh seorang maling jemuran dirajam hingga tewas?

Sudah pasti tidak! Maling berhak mendapat keadilan.

Pertama, kejahatannya harus diadili dalam peradilan yang fair, bukan dengan digebuk ramai-ramai. Kedua, jika ia digebuk, pelakunya harus diadili dan mendapat hukuman setimpal.

Novel penjahat, sebagaimana kita asumsikan demikian, tetapi sebagai penjahat pun ia berhak atas peradilan yang fair dan hukum yang beradab jika terbukti bersalah. Penyiraman air keras hanya ada dalam masyarakat barbar.

Demikian pula sebagai penjahat, Novel tetap punyak hak mendapatkan keadilan atas tindak kejahatan yang ia alami.

Apakah adil menurut kita, pelaku penyiraman air keras yang berdampak cacat seumur hidup cuma dituntut setahun?

Coba saja kunjungi penjara-penjara. Banyak pelaku pemukulan tipiring --bukan pengeroyokan dan korban bisa kembali melakukan aktivitas setelah dipukuli-- dipenjara setahun bahkan lebih. Sangat tidak adil rasanya, tindakan yang berdampak kebutaan hanya dituntut (berapa lama kelak vonisnya?) setahun.

Selain itu, cacat juga berdalih hukuman bagi Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette boleh lebih ringan karena keduanya bukan teroris seperti penikam Wiranto.

Justru seharusnya Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut dan divonis lebih berat dibandingkan teroris karena keduanya polisi.

Tugas polisi adalah melindungi warga negara dari tindak kekerasan. Aparat polisi pelaku kejahatan sepantasnya dihukum tiga kali lipat lebih berat dibandingkan warga biasa. Itu agar memberikan efek jera.

Akan sangat bahaya jika ringannya tuntutan jaksa menyebabkan polisi-polisi lain tidak khawatir melakukan kekerasan. Bisa-bisa banyak polisi akan menjalani profesi ganda sebagai bodyguard cukong, debt collector, bahkan pembunuh bayaran.

Kalau yang jadi pembunuh dan tukang pukul adalah aparat yang seharusnya berfungsi menyeret para pembunuh dan tukang pukul ke penjara, apakah bangsa ini masih punya masa depan?

Jadi sebaiknya rakyat juga turut mendesak tanggung jawab Presiden Joko Widodo. Bukannya untuk menuntut Presiden mundur seperti keinginan akun-akun bayaran dan pejuang bawah tanah gerakan fundamentalis di media sosial. Rakyat perlu menuntut Presiden Jokowi mengambil langkah besar dan konkrit untuk menyelesaikan ketidakberesan di tubuh Polri.

Mungkin baik jika Presiden mempertimbangkan pelembagaan provost terpisah dari Polri. Artinya ada lembaga di luar Polri yang berfungsi sebagi penegak hukum atas kejahatan di tubuh Polri. Dengan kata lain, Biro Provost Polri ditarik keluar dari Polri, dan kepala berjabatan setingkat Kapolri serta boleh dijabat kalangan militer. Demikian pula personilnya lebih baik juga bercampur pula kalangan militer.

Intinya Presiden harus berbuat sesuatu untuk memperbaiki Polri. Ini harus jadi agenda prioritas.***

Artikel di-back up di blog pribadi Coffee4Soul.club

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun