Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tompi, PLN, Kampret-Kentut-Surga dan Lifestyle Sosial-Politik Daring

13 Juni 2020   02:16 Diperbarui: 13 Juni 2020   03:14 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tompi [Coffee4Soul.club]

"Dan aku pun mendadak jadi kampret ... hanya krn mengkritik yg gak beres. enak juga. Gini ya, jgn hanya krn kita mendukung seseorang lantas kentut org itu kita klaim wangi surga, eeknya laksana kue coklat ! JANGAN"

Tompi -- Cuitan Twitter, 11 Juni 2020

Saya senantiasa senang setiap mendengar, melihat, atau mengetahui ada selebriti yang memiliki kewarasan tinggi. Kewarasan sudah jadi barang langka. 

Kewarasan dalam konteks artikel ini mengacu pada sikap adil dalam menilai penyelenggaraan kekuasaan (dan pelayanan publik sebagai salah satu aspeknya); juga sikap adil dalam menyampaikan pandangan saat terlibat percakapan publik di ranah daring.

Warga negara harus memiliki kekebasan untuk menyampaikan kritik dan keluhan terhadap penyelengara kekuasaan negara. Tetapi kritik dan keluhan itu hendaknya tepat konteks, tepat tujuan, dan tepat sasaran.

Maksud saya, kritik harus menyangkut aspek-aspek yang memang  berkaitan signifikan dengan kekurangan-kekurangan faktual dan aktual; menyasar pihak yang memang bertangunggjawab terhadap kekurangan atau kesalahan tersebut; serta berorientasi kepada perbaikan.

Jadi bukan mencari-cari kesalahan, lalu menimpakan semuanya kepada seseorang atau satu jabatan saja, dalam hal ini Presiden. Jenis kritik yang terakhir ini didasari tujuan salah, yaitu semata-mata demi percepatan suksesi kekuasaan (secara tidak normal) atau memuluskan peralihan normal kekuasaan di masa mendatang kepada kubu  oposisi. Karena sudah salah tujuan, akan salah pula konteks dan sasarannya.

Benar bahwa Presiden lah manajer puncak pelayanan publik. Tetapi tanggungjawab utama presiden adalah pada haluan kebijakan, bukan pada apapun kekurangan dan kekeliruan teknis lembaga-lembaga pelayanan publik. Apalagi jika lembaga termaksud adalah BUMN yang meski dikuasai pemerintah --sebagai pemegang saham mayoritas-- tetaplah merupakan entitas bisnis, bukan birokrasi atau badan layanan umum.

Terkait kewarasan yang demikian, saya memandang Tompi sebagai satu di antara segelintir musisi selebritis yang hingga saat ini konsisten waras. Bahkan ia berada di urutan kedua. Yang pertama adalah Binbim Slank.

Iya, donk. Bimbim harus ranking satu. Tompi boleh jadi waras karena ia juga seorang dokter. Sementara kewarasan Bimbim lahir dari kehidupan yang slenge'an, yang pernah melewati masa-masa kusut silang sengkarut. Lebih berat baginya untuk menjadi waras.

Pernyataan Tompi pada akun twitter-nya menunjukkan kewarasannya sekaligus mendidik masyarakat untuk waras.

Pertama. Tompi mendidik publik bahwa mendukung politisi dalam hajatan eletoral tidak lantas meniadakan kebebasan untuk mengkritik kebijakan-kebijakan keliru. Kentut bau ya bau, jangan dicitrakan harum.

Adalah tidak waras jika publik pendukung faksi borjuasi yang berkuasa mencap Tompi sebagai kampret hanya karena keluhannya terhadap tagihan listrik. Apalagi yang  Tompi keluhkan bukan Jokowi, pemerintah atau birokrasii. Tompi mengeluhkan PLN, sebuah BUMN, entitas binsis.

Memang, banyak pembonceng politik di dalam gerbong keresahan atas tagihan listrik yang membengkak --soal ini baca artikel "Kisruh Tagihan PLN, Ketika Ruang Publik Daring Dikooptasi Kontraktor Opini". Tetapi tidak lantas demi melawan pemboncengan, sikap kritis coba dibunuh dengan stigma kampret-kampretan.

Kedua. Tompi juga mengajari publik agar tepat konteks dalam melontarkan kritik  --masalah teknis di PLN ya jangan diseret ke soal haluan kebijakan pemerintah--, tepat sasaran (PLN, bukan Presiden), dan berorientasi kepada perbaikan.

Adalah gejala defisit kewarasan jika pendukung Jokowi mengkampret-kampretkan Tompi. Tetapi defisit kewarasan yang lebih hebat lagi jika pembenci Jokowi memaksakan beban tanggung jawab kelemahan teknis PLN ke pundak Presiden.

Anda akan merasa geli --mungkin lebih tepat disebut jijik-- membaca komentar-komentar kubu habis-habisan anti-Jokowi dalam menanggapi cuitan Tompi.

Kita perlu up date kasus-kasus viral kisruh tagihan listrik ini yang sudah menemukan kejelasannya, yaitu kasus Pak Teguh (pemilik bengkel) dan kasus Pak Tompi (pemilik klinik).


#1. Kasus Pak Teguh
Pak Teguh, pemilik bengkel las harus membayar tagihan listrik Juni sebesar Rp 20 jutaan, naik hampir 20 kali dibandingkan sebelum-sebelumnya yang cuma Rp 2,1 juta.[1]

Setelah dicek, ternyata lonjakan tagihan gila-gilaan ini disebabkan kerusakan kapasitor di bengkel Pak Teguh.

Perlu diketahui, perhitungan daya mesin dan perlengkapan listrik di pabrik-pabrik, gedung bisnis, atau perkantoran berbeda dengan tarif listriik rumah tangga.

Peralatan listrik di rumah tangga umumnya hanya menghasilkan beban daya resistif (hanya mengonsumsi daya aktif, kW). Daya yang diberikan kepada peralatan sama dengan daya yang dihasilkan oleh peralatan tersebut.

Sebaliknya, peralatan di pabrik-pabrik umumnya menghasilkan beban reaktif (baik yang induktif maupun kapasitif). Daya reaktif adalah daya yang dikonsumsi oleh kumparan (kVArh) . Pada peralatan seperti ini, daya yang dimanfaatkan oleh peralatan lebih kecil dibandingkan daya yang disalurkan, menyebabkan permintaan akan arus lebih besar.

Sebagai penyedia, PLN tidak mau rugi. Mereka membebani konsumen (perusahaan) pembayaran kompensasi atas kelebihan daya (kVArh).

Supaya terhindar dari beban kompensasi --alat las menghasilkan beban reaktif induktif--, bengkel las Pak Pak Teguh memasang kapasitor. Jelas jika kapasitor rusak, melonjaklah kelebihan daya di bengkel Pak Teguh.

#2 Kasus Tompi
Tompi terkejut karena tagihan listrik kliniknya mencapai Rp 2 jutaan per bulan, padahal klinik tutup selama 3 bulan gara-gara pandemi.[2]

Rupanya Tompi tidak tahu bahwa PLN memberlakukan ketentuan penggunaan minimal 40 jam nyala kepada konsumen besar seperti kliniknya.

Perusahaan-perusahaan penyedia layanan listrik, air bersih, dan telepon memang membebankan biaya langganan (abonemen) kepada konsumennya. Menggunakan layanan atau tidak, konsumen harus membayar biaya tertentu sebagai biaya dasar.

Mungkin hal ini disebabkan layanan listrik, air, dan telepon melibatkan instalasi jaringan, dan jaringan tersebut harus dipelihara.

Dahulu biaya langganan (abonemen) disebut uang jaminan langganan.  Besarnya berbeda-beda menurut batasan daya dan golongan tarif.

Sekarang abonemen dibagi dua jenis. Konsumen daya di bahwa 1.300 VA dikenakan biaya beban, Sementara konsumen di atas 1.300 VA bebas biaya beban namun dikenakan kewajiban pemakaian minimum 40 Jam Nyala.

Jadi, selama klinik dokter Tompi tutup, ia tetap dikenakan biaya "pemakaian" sebesar daya terpasang x 40 x Rp 1.467,28 per kWh.

Sebuah klinik tentu banyak makan listrik.  Jika klinik dokter Tompi menggunakan daya 12.900 VA, biaya penggunaan minimumnya Rp 775ribu. Jika 22 kVA, Rp 1,3 juta; dan jika 33 kVA, Rp 1,9 juta.

Banyak orang menertawakan Tompi. "Kok bisa sampai tidak tahu soal kewajiban pemakaian minimum?" komentar mereka.

Ya bisa saja. Jika klinik Tompi selalu beroperasi penuh sebelum masa pandemi, ia memang tidak akan pernah tahu ada kewajiban pemakaian minimum sebab pemakaian listrik memang selalu melampuai minimum. Ingat, untuk ukuran daya di atas 1.300 VA bukan biaya beban yang berlaku melainkan kewajiban pemakaian minimum.

Barulah kini setelah klinik tidak beroperasi 3 bulan, Tompi mengetahui bahwa tanpa menggunakan listrik pun, kliniknya harus tetap membayar 'pemakaian seolah-olah' 40 jam dalam sebulan.

Terpecahkannya kasus Tompi dan Pak Teguh tidak berarti persoalan tagihan listrik beres semua. Publik masih butuh jawaban PLN atas kasus-kasus lain yang dipercakapkan di media sosial.

PLN sendiri mengakui lazimnya kesalahan dalam pencatatan pemakaian listrik konsumen dan membuka diri terhadap pengaduan. Mereka bersedia mengoreksi jika kesalahan ada di pihak mereka.

Lucunya, ketika Tompi menjelaskan duduk perkara --setelah mendapat penjelasan dari PLN--, ia dirundung warganet penentang pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Bagi kalangan ini, penjelasan tersebut membuat Tompi kembali menjadi 'cebong'.

Bagi orang-orang itu, problem apapun di negeri ini, setetek-bengek teknis apapun persoalannya, haruslah Jokowi yang salah. Demikian pula keluhan-keluhan soal tagihan listrik PLN dijadikan pembenaran atas tudingan Jokowi nge-prank alias berbohong.

Entah apa hubungan tagihan listrik --yang sebagian sangat mungkin kesalahan pencatatan dan sebagian lagi karena ketidakpahaman-- dengan Jokowi.

Berbeda jika yang dikritik adalah kenaikan tarif dasar listrik.  Ini sudah masuk haluan kebijakan. Sekalipun PLN adalah BUMN, keputusan akhir TDL berada di tangan pemerintah. Tidak salah jika masyarakat menyalahkan Jokowi andai TDL naik.

Demikian juga ketika rasio elektrifikasi gagal mencapai target. Patutlah Jokowi yang dikritik atas hal tersebut sebab pembangunan infrastruktur kelistrikan merupakan urusan haluan kebijakan.

Tetapi di mana nalarnya menjadikan Jokowi sasaran kemarahan atas problem salah catat tagihan listrik? Sudah sedemikian aus kah kemampuan kita berpikir dan bersikap adil?

Waras dalam kritik dan komentar di medsos sebagai gaya hidup

Kamus Cambridge memaknai kata gaya hidup atau lifestyle sebagai cara seseorang adalah sekelompok orang menjalani hidup, serta mendukung nilai-nilai dan gagasan-gagasan tertentu.

Itu berarti gaya hidup bukan sekadar rutinitas tindakan, melainkan juga nilai-nilai atau gagasan di balik rutinitas tersebut.

Aktif sebagai warganet belumlah cukup disebut gaya hidup. Masih perlu ditanyakan, nilai-nilai dan gagasan apa yang melandasi perilaku ber-internet.

Kita seharusnya bisa memilih dan menentukan gaya hidup sebagai warga masyarakat daring. Apakah kita akan terus mempertahankan karakter cebong-kampret yang mengharampkan kritik terhadap kubu sendiri tetapi membabi buta menyerang kubu lawan? Atau ini saatnya menjalani kehidupan sosial dan politik daring secara waras?***

Artikel diback-up di blog pribadi, Coffee4Soul.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun