Jadi, selama klinik dokter Tompi tutup, ia tetap dikenakan biaya "pemakaian" sebesar daya terpasang x 40 x Rp 1.467,28 per kWh.
Sebuah klinik tentu banyak makan listrik. Â Jika klinik dokter Tompi menggunakan daya 12.900 VA, biaya penggunaan minimumnya Rp 775ribu. Jika 22 kVA, Rp 1,3 juta; dan jika 33 kVA, Rp 1,9 juta.
Banyak orang menertawakan Tompi. "Kok bisa sampai tidak tahu soal kewajiban pemakaian minimum?" komentar mereka.
Ya bisa saja. Jika klinik Tompi selalu beroperasi penuh sebelum masa pandemi, ia memang tidak akan pernah tahu ada kewajiban pemakaian minimum sebab pemakaian listrik memang selalu melampuai minimum. Ingat, untuk ukuran daya di atas 1.300 VA bukan biaya beban yang berlaku melainkan kewajiban pemakaian minimum.
Barulah kini setelah klinik tidak beroperasi 3 bulan, Tompi mengetahui bahwa tanpa menggunakan listrik pun, kliniknya harus tetap membayar 'pemakaian seolah-olah' 40 jam dalam sebulan.
Terpecahkannya kasus Tompi dan Pak Teguh tidak berarti persoalan tagihan listrik beres semua. Publik masih butuh jawaban PLN atas kasus-kasus lain yang dipercakapkan di media sosial.
PLN sendiri mengakui lazimnya kesalahan dalam pencatatan pemakaian listrik konsumen dan membuka diri terhadap pengaduan. Mereka bersedia mengoreksi jika kesalahan ada di pihak mereka.
Lucunya, ketika Tompi menjelaskan duduk perkara --setelah mendapat penjelasan dari PLN--, ia dirundung warganet penentang pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Bagi kalangan ini, penjelasan tersebut membuat Tompi kembali menjadi 'cebong'.
Bagi orang-orang itu, problem apapun di negeri ini, setetek-bengek teknis apapun persoalannya, haruslah Jokowi yang salah. Demikian pula keluhan-keluhan soal tagihan listrik PLN dijadikan pembenaran atas tudingan Jokowi nge-prank alias berbohong.
Entah apa hubungan tagihan listrik --yang sebagian sangat mungkin kesalahan pencatatan dan sebagian lagi karena ketidakpahaman-- dengan Jokowi.
Berbeda jika yang dikritik adalah kenaikan tarif dasar listrik. Â Ini sudah masuk haluan kebijakan. Sekalipun PLN adalah BUMN, keputusan akhir TDL berada di tangan pemerintah. Tidak salah jika masyarakat menyalahkan Jokowi andai TDL naik.