Pernyataan Tompi pada akun twitter-nya menunjukkan kewarasannya sekaligus mendidik masyarakat untuk waras.
Pertama. Tompi mendidik publik bahwa mendukung politisi dalam hajatan eletoral tidak lantas meniadakan kebebasan untuk mengkritik kebijakan-kebijakan keliru. Kentut bau ya bau, jangan dicitrakan harum.
Adalah tidak waras jika publik pendukung faksi borjuasi yang berkuasa mencap Tompi sebagai kampret hanya karena keluhannya terhadap tagihan listrik. Apalagi yang  Tompi keluhkan bukan Jokowi, pemerintah atau birokrasii. Tompi mengeluhkan PLN, sebuah BUMN, entitas binsis.
Memang, banyak pembonceng politik di dalam gerbong keresahan atas tagihan listrik yang membengkak --soal ini baca artikel "Kisruh Tagihan PLN, Ketika Ruang Publik Daring Dikooptasi Kontraktor Opini". Tetapi tidak lantas demi melawan pemboncengan, sikap kritis coba dibunuh dengan stigma kampret-kampretan.
Kedua. Tompi juga mengajari publik agar tepat konteks dalam melontarkan kritik  --masalah teknis di PLN ya jangan diseret ke soal haluan kebijakan pemerintah--, tepat sasaran (PLN, bukan Presiden), dan berorientasi kepada perbaikan.
Adalah gejala defisit kewarasan jika pendukung Jokowi mengkampret-kampretkan Tompi. Tetapi defisit kewarasan yang lebih hebat lagi jika pembenci Jokowi memaksakan beban tanggung jawab kelemahan teknis PLN ke pundak Presiden.
Anda akan merasa geli --mungkin lebih tepat disebut jijik-- membaca komentar-komentar kubu habis-habisan anti-Jokowi dalam menanggapi cuitan Tompi.
Kita perlu up date kasus-kasus viral kisruh tagihan listrik ini yang sudah menemukan kejelasannya, yaitu kasus Pak Teguh (pemilik bengkel) dan kasus Pak Tompi (pemilik klinik).
#1. Kasus Pak Teguh
Pak Teguh, pemilik bengkel las harus membayar tagihan listrik Juni sebesar Rp 20 jutaan, naik hampir 20 kali dibandingkan sebelum-sebelumnya yang cuma Rp 2,1 juta.[1]
Setelah dicek, ternyata lonjakan tagihan gila-gilaan ini disebabkan kerusakan kapasitor di bengkel Pak Teguh.