Puisi "Dalam Satu Napas" bicara tentang rahasia pralaya individual atau nitya pralaya atau kematian, "memejam mata."
Rahasia yang hendak disampaikan di sini adalah saat nitya pralaya, jiwa/jivatman/atman "tiba di simpan jalan" antara mencapai moksa atau harus kembali reinkarnasi untuk menjalani samsara.
Moksa adalah kondisi ketika atman kembali bersatu dengan Pararatman, Sang Mahajiwa, Jiwa Ilahi, Tuhan.
Jika manusia semasa hidup banyak melakukan perbuatan buruk, yang menandakan kecintaannya pada materi/hal duniawi, jiwanya tidak akan mencapai moksa, namun kembali hidup di dalam tubuh yang berbeda: reinkarnasi.
Sedikit catatan, gagasan Moksa --juga atman sebagai jajaring yang terhubung satu sama lain dan menyatu pada Paramatman--inilah yang menurut saya digunakan Dewi RSD di dalam Supernova, terutama dalam buku Intelegensi Embun Pagi.
Saat mati, atman memiliki kemampuan melihat lebih banyak hal karena tidak terhalang tubuh materinya, maka ia "melihat yang tidak terlihat".Â
Memuja Wisnu, Menggoda Siwa, Tritunggal AUM, dan tentang Brahma sendiri
Memuja Wisnu di dalam puisi "Angin Utara" dan puisi "Sejarah Hujan"
Dewa Angin Utara salah satunya ditemukan di dalam alam tradisi Yunani. Angin Utara adalah Boreas, Dewa Angin (Anemoi) pembawa musim dingin. Ia tidak datang di bulan Agustus, karena Juli hingga September adalah kekuasaan Notos. Lagi pula Boreas justru membawa kesedihan. Orang-orang harus mengenakan mantel tebal menutup seluruh tubuh dalam warna-warna kelabu. Tentu Dewa Sahadewa tidak bicara tentang Boreas.
Di dalam "Angin Utara" dan "Sejarah Hujan", aku-lirik adalah Brahma yang merindukan Wisnu (kau-lirik).
Di dalam Dewata Nawa Sanga[10], adalah Wisnu yang menempati pos utara. Wisnu dan Brahma boleh dikatakan belahan jiwa dalam hubungan setara dua mahadewa yang mewakili dua dari tiga kekuatan utama Sang Hyang Widhi--"Engkau belahan jiwa tetapi tak tersentuh jemari"||.
"Tak tersentuh jari" digunakan untuk menggambarkan hubungan yang suci, bukan sepasang kekasih birahi.