Meskipun kematian atau pralina adalah momentum mulia ketika atman kembali ke asalnya, sebagai yang menciptakan Brahma tetap saja bersedih --"yang terlihat hanya punggung penuh luka"||.
"Memasuki Akhir Tahun": Rahasia Pralaya
Setelah itu, Dewa Sahadewa (Yang sedang menjadi "awatara" Brahma di dalam konteks kita) lebih menitikberatkan pada pralaya.
Puisi "Memasuki Akhir Tahun" lebih banyak berisi umbar kesal Brahma (aku-lirik) terhadap masa pralaya ketika Siwa menjalankan tugasnya meleburkan kehidupan.
Saat prakritika pralaya (yang sepadan Kiamat), kehidupan, bahkan Brahma yang tercipta dari cahaya Ilahi akan kembali kepada yang Ilahi. "Tubuhku menjadi bayangan mengumpulkan sisa-sisa sinar."
Brahma, meskipun tahu dan sadar akan takdir penciptaan-peleburan tentu saja marah. "Letupan kemarahan membubuhkan tanda seru."
Bait: "Meski aku tak pernah sampai pada masa lalumu" ditujukan kepada Siwa (kau-lirik), sang penguasa waktu, sang pelebur di hari penghabisan.
Ini mengingatkan pada dua kisah di dalam Siwa Purana:
Yang pertama, berceritalah Romaharsana tentang pertengkaran Brahma dan Wisnu soal klaim siapa menciptakan siapa (siapa yang menjadi awal dari yang lainnya). Untuk mengakhiri pertempuran dua mahadewa itu, Siwa muncul dalam wujud lingga api yang sangat besar. Siwa meminta Brahma dan Wisnu untuk menemukan awal (Aadi/Alfa) dan akhir (Antha/Omega) dari lingga itu. Brahma dan Wisnu tak pernah menemukannya.
Yang kedua, ketika Narada memohon pada Brahma untuk mengajarinya cara memuja dan memperoleh berkah Dewa Siwa.
Brahma berkata kepada Narada, "Siwa adalah keajaiban dari semua keajaiban. Pada saat pralaya (kiamat) segalanya akan dihancurkan. Tidak akan ada siang ataupun malam. Tidak akan ada unsur apapun. Kemudian Ia yang tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk, wujud dan evolusi, Ia yang bersinar, tanpa akhir dan abadi. Ialah Siwa, Ialah Siwa."Â
"Dalam Satu Napas": Kematian sebagai pralaya individual, nitya pralaya