Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bikin Cemburu, Spanyol Terapkan UBI, Akankah Indonesia Juga?

2 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 2 Mei 2020   16:03 3091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbedaan UBI dan Bentuk-Bentuk Bansos Lain [World Bank Group, Exploring Universal Basic Income]

Pekan lalu hati saya dibakar cemburu terhadap orang-orang Spanyol. Tentu bukan karena tingginya kasus Covid-19 dan angka kematian di negeri Matador itu. Saya cemburu gara-gara kebijakan pemerintah Spanyol menerapkan UBI.

Rasa cemburu bangkit saat membaca berita Forbes, “Spain To Roll Out Permanent Universal Basic Income ‘Soon’.”[1] Tambah berkobar-kobar kecemburuan itu saat membaca berita Catalan News beberapa jam kemudian, “Universal basic income to come into effect in Spain in May.”[2]

Jika benar akan berjalan Mei ini, Spanyol akan menyusul Iran, menjadi salah satu negara pertama yang menjalankan kebijakan Universal Basic Income secara nasional. Itu berarti, mulai bulan depan, setiap individu—tua, muda, kaya, miskin, ada pekerjaan pun pengangguran permanen—akan menerima uang setiap bulan, ditransfer pemerintah ke rekening mereka.

Menurut rencana, jumlah dana yang akan ditransfer pemerintah adalah 440 Euro atau sekitar 475 dolar AS per individu per bulan. Nilai itu hampir separuh upah minimum di Spanyol yang sebesar  950 Euro atau sekitar 1.032 dolar AS.[3]

Program ini bukan cuma melindungi 900,000 buruh Spanyol yang kehilangan pekerjaan selama pandemi Covid-19, tetapi juga seluruh penduduknya dari kondisi kehilangan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Universal basic income, 'penghasilan dasar universal' atau kerab disebut unconditional basic income adalah transfer langsung negara kepada setiap warga negara tanpa syarat.

Tujuannya agar warga negara dapat secara permanen dan kontinyu memenuhi kebutuhan dasarnya, tidak terganggu oleh kondisi kehilangan pekerjaan (akibat PHK atau berakhirnya masa kontrak kerja), kebangkrutan bisnis, atau sejumlah keterbatasan yang membuat warga negara tidak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, minimal kebutuhan dasar seperti pangan dan tempat tinggal.

Dari mana asalnya gagasan UBI

UBI gencar diperbincangkan dan diperdebatkan dalam satu dekade terakhir. Ini terkait peralihan moda pengupahan, ketika banyak pekerjaan manusia akan diambil alih intelejensia buatan dan banyak relasi pengupahan beralih menjadi kontrak non-permanen,  fitur utama revolusi industri 4.0.

Banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Yang masih bekerja pun kehilangan keamanan kerja dan karir sebab pekerjaan tetap berubah menjadi casual job, nonpermanen, bahkan outsource. Dampak lanjutnya, orang-orang kehilangan sumber pendapatan dan karenanya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup.

Salah satu jawaban yang disodorkan adalah penerapan universal basic income. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar orang-orang itu dengan mentransfer sejumlah uang yang dibutuhkan, minimal agar orang tetap bisa makan dan punya tempat tinggal.

Sebenarnya UBI bukan gagasan baru, sudah diperbincangkan jauh sebelum revolusi 4.0 mewujud.

Yuan Zheng Marta Guerriero, dan Enrique Valencia Lopez yang menulis untuk UNDP Kantor China menarik gagasan ini hingga ke 1779, yaitu sejak dilontarkan Thomas Paine, seorang penulis Inggris.

Para ekonom konsultan UNDP di China ini benar. Pada 1779, Thomas Paine menerbitkan pamflet berjudul Keadilan Agraria—sudah selesai ditulis setahun sebelumnya.

Paine mengusulkan agar para tuan tanah hidup dari sistem bagi hasil pengolahan lahan mereka membayar sewa tanah (ground rent) kepada masyarakat. Pembayaran itu dianggap sebagai pajak tanah untuk membiayai hidup para lansia dan orang cacat, dan jumlah yang tetap untuk semua warga negara yang sudah dewasa.

Pandangan Paine ini revolusioner di masanya sebab sejak 1601 di Inggris berlaku  British Old Poor Law. Undang-undang yang pada akhir 1600an sudah diperlakukan di seluruh wilayah Inggris—tidak termasuk koloni jajahan—mengatur penarikan pajak dari para tuan tanah untuk membiayai kebutuhan hidup para lansia, janda, kaum difabel, penderita penyakit berat, dan pengangguran.

Jadi yang berlaku dalam British Old Poor Law bersifat spesific targeting dan memikili conditionality, persis seperti banyak program jaring pengaman sosial yang berlaku saat ini. Sementara usulan Thomas Paine dalam pamfletnya mengandung sifat universal, yaitu jumlah tertentu uang kepada SEMUA warga negara yang telah dewasa.

Sayangnya, usulan Paine dilupakan begitu saja selama 1,5 abad. Baru pada 1960an, UBI kembali diperdebatkan dengan serius.

Selama ini banyak orang salah kaprah, menyangka UBI adalah gagasan sosialisme. Perdebatan pada 1960an membantah itu sebab para pendukung utama UBI justru termasuk sejumlah ekonom terkemuka pendukung kapitalisme, bahkan kapitalisme yang paling liberal, liberalisme klasik (yang bangkit kembali sebagai neoliberalme).

Di antara para ekonom terkemuka pro-pasar yang menyetujui UBI terdapat nama-nama ekonom Keynesian seperti John Kenneth Galbraith dan Anthony Atkinson; dan yang lebih mengejutkan adalah kalangan ekonom libertarian (anarkis kanan) seperti F. A. Hayek (dipandang sebagai Bapak Intelektual Neoliberalisme) dan Milton Friedman.

Apa yang membedakan UBI dengan bentuk-bentuk jaring pengaman sosial lain?

Semua negara di dunia memiliki sistem jaring pengaman sosial, yang berbeda-beda tetapi juga memiliki kemiripan satu-sama lain. Di luar Iran (dan Mei ini Spanyol menyusul), jaring pengaman sosial di negara-negara tersebut bukan UBI.

Berbeda dengan umumnya jaringan pengaman sosial, UBI memiliki empat karateristik utama, yaitu universal, individual, unconditional, dan tunai.

Universal maksudnya seluruh populasi mendapatkannya. Artinya ia berlaku bagi setiap warga negara, tidak dibeda-bedakan menurut status pekerjaan (pengangguran atau bekerja penuh), tingkat upah, jenis kelamin, usia, wilayah administratif, dan lain-lain pembeda yang kerap jadi syarat jaring pengaman sosial konvensional.

Individual berarti penerima UBI adalah individu, bukan rumah tangga. Jadi bayi yang baru lahir pun berhak menerima transfer dana.

Nonkondisional maksudnya tidak ada kondisi khusus yang menjadi syarat penerimaan UBI.

Mayoritas program dukungan sosial bersifat kondisional. Contohnya bantuan pangan saat pandemi Covid-19 yang hanya diperuntukan bagi 'masyarakat terdampak' atau program Kartu Prakerja yang mensyaratkan kondisi sedang mencari kerja dan korban PHK, Demikian pula Program Keluarga Harapan (PKH) yang berlaku berbeda untuk rumah tangga yang memiliki anggota keluarga anak sekolah, ibu hamil, dan lansia.

UBI berbentuk uang tunai, bukan barang seperti bungkusan beras dan pangan lain dalam karung bertuliskan Bantuan Presiden RI yang sedang jadi polemik itu. Bukan pula berupa kursus kartu Prakerja yang tampak tidak signifikan terhadap pengembangan kapasitas buruh itu, dan terkesan lebih sebagai bantuan dari perusahaan rintisan makelar kursus digital.

Gambar berikut (kita pinjam dari terbitan Bank Dunia yang dieditori Ugo Gentilini, Margaret Grosh, Jamele Rigolini, dan Ruslan Yemstov) mungkin membantu membedakan UBI dari bentuk-bentuk bantuan sosial lain.

Perbedaan UBI dan Bentuk-Bentuk Bansos Lain [World Bank Group, Exploring Universal Basic Income]
Perbedaan UBI dan Bentuk-Bentuk Bansos Lain [World Bank Group, Exploring Universal Basic Income]

Apa Manfaat UBI?

Seperti bentuk-bentuk bantuan sosial lain, manfaat UBI yang standar adalah mengentaskan kemiskinan, mempersempit jurang tingkat kesejahteraan (alias menciptakan keadilan sosial melalui redistribusi pendapatan), dan sejumlah manfaat lain yang akan kita bahas lebih rinci dalam artikel terpisah.

Terkait konteks aktual di Indonesia, UBI penting dalam mencegah bantuan salah sasaran.

Karena semua orang berhak mendapatkannya, tidak ada lagi rakyat yang berteriak-teriak tidak mendapatkan bantuan, entah karena buruknya pendataan kependudukan, coverage program yang kecil, atau karena problem politis seperti balas dendam kades terhadap rakyat yang tidak memilihnya, atau pula korupsi para pejabat.

Karena setiap individu berhak mendapatkan transfer dana, tidak perlu lagi ada polemik soal rektor dan warga perumahan mewah turut mendapat bansos, sebagaimana ramai diberitakan media massa dan digunjingkan di media sosial.

Juga tidak perlu lagi orang-orang kehilangan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar karena ribetnya pemutahiran data dan verifikasi. Padahal, di tengah perekonomian yang kian liberal--yang salah satunya ditandai dengan kemudahan buruh kehilangan pekerjaan sebab berstatus buruh nonpermanen alias buruh kontrak--fleksibilitas data penerima bansos sangat dibutuhkan sebab kapanpun orang bisa kehilangan sumber pendapatan.

Dengan penerapan UBI, tidak harus ada praktik-praktik merendahkan martabat penerima seperti penempelan stiker masyakarat miskin yang juga saat ini sedang ramai diperbincangkan.

UBI juga menghindari politisasi bantuan yang biasa dilakukan para politisi menjelang pemilu, melalui kemasan yang ditempeli atau dicetak nama dan jabatan pejabat.

Apakah UBI utopis? Bagaimana mendanainya?

UBI bukan hal utopis. Buktinya pemerintah Iran sudah melaksanakannya sejak 2011. Pemerintah Iran mentransfer dana sebesar sekitar 45 dollar AS (dahulu, mungkin sudah naik sekarang) setiap bulan ke rekening individu. Sebanyak 97 persen penduduk Iran tercakup dalam program ini.

Selain Iran, negara yang pernah menerapkan UBI secara nasional adalah Mongolia (2010-2012). Sementara yang menerapkannya di tingkat negara bagian atau kota adalah Amerika Serikat untuk negara bagian Alaska.

Ada pula negara yang melakukan ujicoba penerapan UBI di tingkat negara bagian, seperti China, India dan Namibia.

Ketika pertama kali gagasan UBI berkembang, sumber pembiayaannya adalah penerapan pajak progresif. Kian tinggi pendapatan warga negara, kian besar persentase pajak yang dikenakan. Dengan cara demikian, UBI menjadi mekanisme redistribusi pendapatan yang memperkecil jurang kesenjangan tingkat kesejahteraan.

Tetapi sumber pendanaan UBI bisa pula dipadukan dengan Sovereign Wealth Fund (SWF), mekanisme penciptaan dana abadi negara. Negara (bukan pemerintah sebab biasanya ditangani Bank Sentral) menginvestasikan dana pada instrumen-instrumen menguntungkan dalam jangka panjang hingga jumlahnya terus terakumulasi dan kelak mencapai skala yang pendapatan bunganya cukup untuk membiayai pengeluaran rutin seperti UBI ini.

Mungkinkah Indonesia kelak menerapkannya?

Pertanyaan ini perlu dipisahkan antara bisa dan mau.

Kalau bisa atau tidak, pasti bisa, hanya tentu saja bukan sekarang. Yang jelas, jika negara lain bisa, kitapun pasti bisa.

Spanyol, yang pada Mei ini akan menerapkan UBI, sudah bukan lagi negara kaya. Dibandingkan negara Eropa lain (seperti Jerman dan Inggris), Spanyol tergolong miskin. Nyatanya mereka mau dan mampu menerapkan UBI.

Karena itu pertanyaan terpenting sebenarnya adalah apakah pemerintah yang berkuasa memiliki political will untuk menerapkan UBI?

Ada yang berpendapat, Spayol mau menerapkan UBI karena pemerintahannya dikuasai kalangan sosialis.

Sekadar catatan, sebelum diterapkan secara nasional Mei ini (menurut rencana), sudah sejak 2016 Spanyol menerapkan UBI di tingkat kota (di A Coruna) dan wilayah otonomi Andalusia yang dikuasi partai kiri Podemos.

Pada pemilu November 2019, aliansi kiri yang dibentuk Partai Buruh Sosialis Spanyol dan Podemos sepakat menjadikan penerapan UBI sebagai platform aliansi mereka.

Tetapi seperti sudah disinggung sebelumnya, UBI bukanlah program khas kaum sosialis. Sebagian ekonom pendukung UBI justru merupakan dedengkot pendukung hardcore neoliberalisme seperti tokoh anarkis kanan Frederik Hayek yang merupakan Bapak Neoliberal itu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dipandang sebagai emak-nya neoliberalisme di Indonesia juga tidak menolak konsep UBI.

Pada Oktober 2017, di sela-sela kegiatan annual meeting IMF-World Bank di Kantor Pusat IMF, Washington, Sri Mulyani menyatakan pemerintah tengah mempertimbangkan penerapan UBI untuk mengantisipasi dampak penerapan kecerdasan buatan di dunia kerja yang berarti banyak orang akan kehilangan pekerjaan.

"Ini adalah suatu pemikiran yang masih relatif baru yang nanti kita akan perlu sebagai Indonesia karena kita punya populasi besar. Mayoritas demografi muda dan akan dipengaruhi oleh perubahan teknologi dan otomatisasi ini yang akan kita perlu untuk mendiskusikan," kata Sri Mulyani.[4]

Jika pemerintah mempertimbangkan kemungkinan pemberlakuan UBI, bagaimana dengan orang kaya dan kelas menengah Indonesia? Apakah mereka bersedia dinaikkan pajak penghasilannya demi pemenuhan hak dasar mayoritas yang kurang beruntung?

Terlepas dari upaya pemerintah memperbaiki kesenjangan pendapatan (menunjukkan trend membaik), hingga kini jurang antara kaya dan miskin masih lebar. Pada 2018, proporsi pendapatan 20%penduduk berpendapatan terbesar di Indonesia mencapai hampir separuh (46,10%) dari total pendapatan masyarakat. Sementara pendapatan golongan 10% teratas mencapai 30,40% dari total pendapatan masyarakat.[5]

Kesenjangan akan bisa dipangkas jika golongan penduduk 20% berpendapatan terbesar bersedia dipajaki lebih besar. Misalnya jika selama ini orang-orang berpendapatan tahunan lebih dari 500 juta (para direktur dan komisaris BUMN termasuk golongan ini) hanya dikenakan PPH 21 sebesar 30%, demi pemerataan, pajak terhadap mereka harus dinaikkan, misalnya menjadi 40%.

Tanpa itu, kemelaratan dan kesenjangan kian dalam, dan sejarah telah berulangkali mengajarkan kepada kita, gerakan-gerakan sosial berslogan kill the rich  potensial muncul dalam masyarakat dengan tingkat kemiskinan dan kesenjangan yang tinggi.

Maka pada akhirnya pilihannya cuma dua: tax the rich atau kemiskinan dan ketidakadilan yang kian parah akan melahirkan gerakan-gerakan sosial berslogan kill the rich. Tentu kita tidak menghendaki hal ini terjadi/

Tetapi jika kaum kaya menolak pajak yang lebih progresif dan untuk menghindari gerakan berslogan kill the rich mereka menuntut negara lebih ngotot menjamin keamanan, toh tetap saja akan negara akan mengutip lebih banyak pendapatan orang kaya untuk membiayai alat-alat keamanan.

Jadi daripada pendapatan dipotong untuk membiayai aparatus koersif yang belum tentu efektif melindungi aset dan kekayaan pribadi dan keselamatan diri mereka, lebih baik dipajaki untuk mencegah sumber lahirnya kerawanan sosial.

Lalu bagiamana dengan kritik terhadap UBI, misalnya dampaknya sebagai disinsentif terhadap produktivitas, dengan kata lain mendorong banyak free rider alias kaum pemalas yang menikmati kerja keras warga negara yang rajin?

Soal ini dan masih banyak aspek pembahasan UBI kita bahas dalam artikel lain. Tunggu saja.

Bahan Bacaan:

  1. Gentilini, Ugo, Margaret Grosh, Jamele Rigolini, and Ruslan Yemstov, eds. 2020. Exploring Universal Basic Income: A Guide to Navigating Concepts, Evidence, and Practices. Washington DC: World Bank.
  2. Thigpen, David E. 2016. Universal Income: What Is It, and Is It Right for the U.S.? The Roosevelt Institute.
  3. Wehner, Burkhard. 2019. Universal Basic Income and the Reshaping of Democracy. Springer.
  4. Oren M. Levin-Waldman.2018. The Inevitability of a Universal Basic Income, Challenge, 61:2, 133-155.
  5. Zheng, Yuan, Marta Guerriero, and Enrique Valencia Lopez. 2017. Universal Basic Income (UBI): A Policy Option for China beyond 2020? UNDP China Office.

Kumpulan artikel tentang Problem Jaring Pengaman Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun