Saya ceritakan kepadanya, sejumlah kenalan di Jawa Timur pernah membangun kemitraan yang kurang lebih sama tetapi dalam hal pembenihan kacang hijau. Para petani didorong menjadi produsen benih. Tetapi untuk itu mereka butuh sertifikat pembenih yang tidak mudah diperoleh.
Maka kawan-kawan itu mendorong kemitraan antara perusahaan pedagang benih dengan para petani. Perusahaan telah memiliki sertifikat. Benih yang mereka jual memenuhi syarat dalam regulasi.
Perusahaan mendampingi petani, mengembangkan kapasitas petani agar mampu menghasilkan benih yang memenuhi standar. Petani menjual benih melalui perusahaan tersebut.
Dengan begitu, petani mampu mengakses pasar benih, sebaliknya perusahaan bisa meningkatkan volume penjualan benih dengan merek dagangnya.
Gesti memiliki sertifikat produk organik --yang jika diurus sendiri seingat saya biayanya 30an juta--dan pengetahuan tentang pertanian organik. Ia bisa berperan mendampingi petani atau mengontrol kualitas praktik budidaya agar memenuhi syarat sebagai produk organik.
Hebatnya, Gesti tidak hendak mengambil satu Rupiah pun dari para petani yang akan diajak bekerjasama. Meski sudah jadi petani sukses, Gesti masih menyadari dirinya sebagai aktivis.
Ini salah satu janji saya yang belum saya penuhi. Hingga kini rencana baik ini belum bisa kami tindaklanjuti bersama. Tetapi bentuk kemitraan yang disampaikan Gesti terus menjadi inpirasi, gagasan cemerlang yang tetap saya tanam di kepala saya, bahwa suatu ketika kami akan mewujudkannya.
Baiklah. Sampai di sini dulu. Senin depan kita akan membahas tingkat selanjutnya, posisi petani sebagai "Chain activity integrators."
Baca kumpulan lengkap seri "4 Level Petani dalam Value Chain Development"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI