Apakah petani diminta membagi dua peruntukan lahannya secara adil, satu untuk tanaman pangan subsisten, satu untuk cash crop yang laku di pasaran? Begitu pertanyaan Laurens saat itu.
Tetapi saya menyarankan agar mereka mencoba membangun sistem pasar kolektif.
Petani pangan menjual sebagian hasil pertaniannya ke komunitas petani komoditi dengan harga lebih murah dibandingkan harga pasar. Petani komoditi menjual komoditasnya ke pasar terbuka yang sebagian hasilnya dipotong untuk kas kolektif organisasi petani.Â
Uang kas kolektif dipakai memodali pendirian kios-kios kolektif di komunitas petani. Kios-kios itu menjual berbagai barang kebutuhan produksi pabrik-pabrik di kota, termasuk pula mengupayakan sejumlah alat produksi.
Mekanisme ini berjalan. Mereka menamakan inisiatif itu Solidaritas Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (SRKP) yang merupakan kerjasama Liga Mahasiwa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Serikat Tani Nasional, STN (sebagai pewadaan petani). Sebuah LSM membantu mereka dengan handtracktor.
Mereka berhasil membangun kembali tradisi gotong royong (dalam bahasa setempat disebut Sakoseng) di tingkatan petani; meningkatkan aset berupa alat pengupas kelapa; mendirikan kios milik kolektif di 4 Â basis petani.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian pemilu tiba. Para pemimpin petani ramai-ramai mencalonkan diri sebagai anggota DPRD dari parpol-parpol berbeda. Persaingan menjadi tidak sehat sebab mereka berebut pengaruh di antara anggota.Â
Di sisi lain, generasi mahasiswa perintis satu persatu tamat dan kembali ke kampung halaman atau bekerja di kabupaten berbeda. Inisiatif yang sempat berjalan sekitar 3 tahun itu lenyap.
Chain partner antara petani dan pelaku di mata rantai lebih hulu (penyedia input)
Dalam sebuah pertemuan Tenaga Penggerak Reforma Agraria di Jakarta, belasan tahun lalu, seorang tetua aktivis mahasiwa GmnI yang telah terjun ke pengorganisiran petani menceritakan kunci kesuksesannnya membangun pertanian organik di desa dampingannya di Yogyakarta.
Salah satu kesulitan mengajak petani menggunakan pupuk organik adalah tambahan beban kerja kepada mereka. Apalagi untuk kadar nutrisi sebanding, volume pupuk organik yang dibutuhkan sekian kali lipat lebih banyak dibandingkan pupuk kimia pabrikan.
Bayangkan Anda mengonsumsi tablet suplemen kesehatan. Itu adalah pupuk kimiawi. Nutrisi sudah dipres menjadi sedemikian kecil karena diekstrak saripatinya. Tinggal telan, sel-sel darah merah langsung menyerapnya dan membawa ke seluruh tubuh. Atau bayangkan Anda diinfus glukosa.