Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Hari Nelayan, Ribuan Ikan Tongkol Dibuang ke Pantai

6 April 2020   19:38 Diperbarui: 7 April 2020   17:28 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan Ikan Tongkol Dibuang di Pantai LLBK, Kota Kupang [timexkupang.com]

Hari ini, 6 April, kita memperingati Hari Nelayan Nasional. Uniknya, di Kupang, NTT, menjelang Hari Nelayan Nasional, media sosial heboh oleh kabar ribuan bangkai ikan tongkol berserakkan di tepi pantai Kelurahan Lai-Lai Besi Kopan (LLBK). Ada yang sengaja membuangnya.

Pada Sabtu 4 April, istri minta saya ke pasar ikan. Ia melihat posting teman facebooknya, harga ikan sedang murah. Rp 100.000 dapat 12 ekor ikan besar, ukuran ikan bakar yang per ekor bisa dimakan 4 orang hinga puas.

Saya meluncur ke pasar ikan di jalan Timor Raya, di depan Hotel Aston di tepi Pantai Kelapa Lima.

Di sepanjang jalan Timor Raya, menuju ke lokasi tujuan, saya sempatkan singgah di lapak-lapak ikan di pinggir jalan. Harga ikan masih normal saja. Yang agak murah mungkin Kerapu. Sekumpul Kerapu berisi 6 ekor berukuran telapak tangan Rp 35.000,-

Begitu pula saat tiba di pasar ikan di depan Hotel Aston. Umumnya yang dijual di sini ikan dari jenis dan ukuran yang lazim diolah sebagai ikan bakar. Harga seekor belang kuning sepanjang setengah lengan saya Rp 50.000 per ekor.

Akhirnya belang kuning setengah panjang lengan itu yang saya beli dan bawa pulang.

"Harga ikan masih biasa saja. Mungkin yang di facebook itu ikan tongkol," kata saya kepada istri.

Betul sudah. Hari ini saya membaca berita di situs daring koran Timor Express. yang ternyata telah terbit Sabtu, 4 April. "Ribuan Ekor Ikan Bertebaran di Pantai LLBK."

Diberitakan, ribuan bangkai ikan tongkol mendadak bertebaran di sepanjang 300 meter garis pantai di Kelurahan Lai-Lai Besi Kopan (LLBK). Menurut Ketua LPM LLBK, ikan tongkol itu dibuang oknum pedagang ikan karena tidak laku.(1)

Ikan tongkol memang bukan ikan favorit masyarakat Kota Kupang. Ia kalah laris, juga lebih murah dibandingkan ikan kombong (kembung). Mungkin karena banyak orang menderita alergi jika mengonsumsi ikan tongkol.

Saya sendiri pernah alami alergi itu. Wajah bengkak dan memerah, kepala pusing dan pening. Kadang-kadang sesak napas. Begitulah gejala keracunan tongkol. Kata orang, jika tidak cepat-cepat minum CTM, kita bisa mati keracunan.

Tetapi meski kurang laris, seharusnya kelimpahan ikan tongkol di tingkat pedagang besar tercermin pula di pedagang keliling (papalele). Anehnya, Sabtu itu tidak banyak pedagang ikan keliling yang menjajakan tongkol dengan harga bantingan.

Demikian pula di pasar ikan di depan Hotel Aston, pun di lapak-lapak sepanjang Jalan Timor Raya, tidak ada ikan tongkol yang dijajakan.

Baca juga: "Kami yang Babak Belur Dihantam Efek Ekonomi Covid-19"

Bagaimana bisa keanehan ini terjadi?

Saya lantas teringat cerita pedagang ikan di lapak-lapak di depan Hotel Aston dahulu.

Kata mereka, pembelian ikan dari perahu-perahu nelayan yang besandar di Pasar Oeba, tempat keberadaan balai lelang ikan, cuma dikuasai 1-2 orang juragan. 

Para juragan itu melelang kepada pedagang besar. Lalu dari pedagang besar, ikan-ikan berpindah ke lapak-lapak pedagang di pasar dan ke para pedagang keliling.

Jadi antara nelayan dan konsumen, ikan-ikan melewati 3 mata rantai nilai.

Mungkin para juragan mempertimbangkan, daripada harga ikan anjlok tajam, lebih baik membuangnya, menjadi bangkai-bangkai membusuk yang mencemari pantai.

"Hmmm. Orang-orang kaya itu lebih senang ikan membusuk daripada membiarkan penduduk kota menikmati sehari saja ikan murah meriah." Saya membatin dengan hati yang panas, meski belum yakin benar para juragan besar yang melakukannya.

Tahun Lalu Ikan Cakalang yang Dibuang-buang

Pada 3 Oktober tahun lalu, Antaranews.com menaikkan berita berjudul "Di Pulau Pemana, ikan cakalang dibuang begitu saja."

Pulau Pemana adalah pulau kecil di Utara Pulau Flores, masuk dalam wilayah Kabupaten Sikka.

Diberitakan, para nelayan terpaksa membuang ikan cakalang tangkapan mereka ke laut karena pabrik pengolahan ikan di Maumere tidak bisa lagi menampung seluruh tangkapan nelayan.

Kapasitas pabrik di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, 25 ton per hari. Ada 64 kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah itu dan menjual ke pabrik di Maumere. Jika per kapal menangkap 1 ton saja, jumlahnya sudah lebih dari 2 kali lipat kapasitas pabrik.(2)

Kata para nelayan, mereka sudah coba mencari pembeli lain tetapi tidak ada yang bersedia menampung.

Baca pula: "Pening Membaca Permenkes PSBB, Jangan-Jangan Salah Ketik Lagi"

Selain di Maumere, di kota tetangganya, Larantuka di Kabupaten Flores Timur, ada juga Perusahan ikan milik Jepang, PT Okishin Flores yang beroperasi sejak Februari Tahun 2000. Perusahaan ini setiap bulan mengekspor kurang lebih 300 ton tuna dan cakalang ke Jepang.(3) 

Mungkin daya tampung ikan di pabrik di Flores Timur juga sudah penuh sehingga tidak menerima kelebihan pasokan nelayan Pemana.

NTT Butuh Banyak Pabrik Pengolahan Ikan?

Sebagai provinsi kepulauan, NTT memiliki potensi besar di sektor perikanan. Menurut data Pemprov NTT, potensi perikanan laut di NTT meliputi "potensi Lestari (MSY) 388,7 Ton/Tahun; berlimpah Ikan pelagis (tuna, cakalang, tenggiri, laying, selar, kembung) dan Ikan demersal (kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan, dll) serta komiditas kelautan lain seperti lobster, cumi-cumi, dan kerang darah."(4) 

Dari potensi tersebut, dan dari quota penangkapan yang diperbolehkan (180ribu ton per tahun), pemanfaatan potensi perikanan laut di NTT baru 38 persen, yaitu sebesar 41 ton per tahun.(5)

Banyak pihak menyerukan pentingnya mendorong sebanyak mungkin penduduk NTT beralih profesi menjadi nelayan.

Problemnya, untuk apa menjadi nelayan jika nelayan yang sudah ada saja harus membuang kelebihan hasil tangkapnya karena tidak tertampung pabrik-pabrik?

Pabrik-pabrik pengolahan ikan yang sudah berdiri itu berorientasi ekspor. Ekspornya pun ikan-ikan premium.

Di sisi lain, pasar ikan lokal sendiri masih belum tergarap secara baik.

Di Kabupaten Flores Timur, salah satu sentra ikan laut, penduduk mengonsumsi ikan hanya 25-30 kg per jiwa per tahun. Padahal standar nasional konsumsi ikan adalah 58 kg per jiwa per tahun. Artinya orang Flotim---yang di NTT sangat sering makan ikan---hanya mengonsumsi separuh dari jumlah yang dikehendaki standar nasional.(6)

Apakah karena harga ikan mahal?

Bisa jadi. Di Kupang, ketika harga ikan mahal, penduduk akan memenuhi tempat pengolahan tempe dan tahu.

Tetapi harga ikan mahal sewaktu-waktu adalah wajar, mengingat hasil tangkapan ikan bergantung musim. Ada saat ikan murah, ada saat mahal.

Baca Pula: ""Resistance", Perlawanan Pasif Kaum Yahudi Prancis, dan Covid-19"

Nah ini dia tantangannya. Bagaimana caranya agar 1) harga ikan di pasar lokal jangan terlalu fluktuatif, sehingga rakyat NTT bisa menikmati ikan setiap saat; 2) kapasitas pabrik-pabrik mampu mengimbangi kelimpahan produksi yang sewaktu-waktu itu; 3) Nelayan bisa lebih sejahtera.

Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk itu.

Salah satu yang menurut saya penting, tidak berarti memecahkan problem di atas adalah pembangunan pabrik tepung ikan untuk kepentingan industri pakan ikan tawar dan unggas.

Selama ini orang tua saya memelihara ikan air tawar di pekarangan rumah mereka. Salah satu yang selalu mereka keluhkan adalah mahalnya harga pakan ikan, terutama untuk lele yang pemakan daging itu.

Pakan lele mahal karena tepung ikan masih diimpor.

Aneh kan? Negeri bahari tetapi tepung ikan untuk pakan ternak masih diimpor dari luar.

Kadang-kadang saya merasa kita ini mengalami keterasingan dua lapis. Lapis pertama dialami kaum buruh. Upah mereka sering tak cukup untuk membeli barang yang mereka produksi sendiri.

Saya pernah menulis artikel tentang itu. Tentang buruh-buruh pabrik di Kapuk, Jakarta yang memproduksi celana boxer merek GAP. Upah para buruh tersebut lebih rendah dibandingkan harga sepotong celana produksi mereka yang dijual di toko-toko di London. John Pilger membahasnya dalam dokumenter "New Rulers of the World."

Keterangsingan kedua kita alami sebagai bangsa. Kita memproduksi barang untuk diekspor, untuk bertukar devisa. Tetapi kita sendiri kekurangan barang itu. Sering pula -seperti kasus tepung ikan- kita mengekspor bahan mentah yang kita impor lagi produk turunannya dengan harga berkali-kali lipat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun