Saya sendiri pernah alami alergi itu. Wajah bengkak dan memerah, kepala pusing dan pening. Kadang-kadang sesak napas. Begitulah gejala keracunan tongkol. Kata orang, jika tidak cepat-cepat minum CTM, kita bisa mati keracunan.
Tetapi meski kurang laris, seharusnya kelimpahan ikan tongkol di tingkat pedagang besar tercermin pula di pedagang keliling (papalele). Anehnya, Sabtu itu tidak banyak pedagang ikan keliling yang menjajakan tongkol dengan harga bantingan.
Demikian pula di pasar ikan di depan Hotel Aston, pun di lapak-lapak sepanjang Jalan Timor Raya, tidak ada ikan tongkol yang dijajakan.
Baca juga: "Kami yang Babak Belur Dihantam Efek Ekonomi Covid-19"
Bagaimana bisa keanehan ini terjadi?
Saya lantas teringat cerita pedagang ikan di lapak-lapak di depan Hotel Aston dahulu.
Kata mereka, pembelian ikan dari perahu-perahu nelayan yang besandar di Pasar Oeba, tempat keberadaan balai lelang ikan, cuma dikuasai 1-2 orang juragan.Â
Para juragan itu melelang kepada pedagang besar. Lalu dari pedagang besar, ikan-ikan berpindah ke lapak-lapak pedagang di pasar dan ke para pedagang keliling.
Jadi antara nelayan dan konsumen, ikan-ikan melewati 3 mata rantai nilai.
Mungkin para juragan mempertimbangkan, daripada harga ikan anjlok tajam, lebih baik membuangnya, menjadi bangkai-bangkai membusuk yang mencemari pantai.
"Hmmm. Orang-orang kaya itu lebih senang ikan membusuk daripada membiarkan penduduk kota menikmati sehari saja ikan murah meriah." Saya membatin dengan hati yang panas, meski belum yakin benar para juragan besar yang melakukannya.
Tahun Lalu Ikan Cakalang yang Dibuang-buang
Pada 3 Oktober tahun lalu, Antaranews.com menaikkan berita berjudul "Di Pulau Pemana, ikan cakalang dibuang begitu saja."