Di sisi lain, pasar ikan lokal sendiri masih belum tergarap secara baik.
Di Kabupaten Flores Timur, salah satu sentra ikan laut, penduduk mengonsumsi ikan hanya 25-30 kg per jiwa per tahun. Padahal standar nasional konsumsi ikan adalah 58 kg per jiwa per tahun. Artinya orang Flotim---yang di NTT sangat sering makan ikan---hanya mengonsumsi separuh dari jumlah yang dikehendaki standar nasional.(6)
Apakah karena harga ikan mahal?
Bisa jadi. Di Kupang, ketika harga ikan mahal, penduduk akan memenuhi tempat pengolahan tempe dan tahu.
Tetapi harga ikan mahal sewaktu-waktu adalah wajar, mengingat hasil tangkapan ikan bergantung musim. Ada saat ikan murah, ada saat mahal.
Baca Pula: ""Resistance", Perlawanan Pasif Kaum Yahudi Prancis, dan Covid-19"
Nah ini dia tantangannya. Bagaimana caranya agar 1) harga ikan di pasar lokal jangan terlalu fluktuatif, sehingga rakyat NTT bisa menikmati ikan setiap saat; 2) kapasitas pabrik-pabrik mampu mengimbangi kelimpahan produksi yang sewaktu-waktu itu; 3) Nelayan bisa lebih sejahtera.
Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk itu.
Salah satu yang menurut saya penting, tidak berarti memecahkan problem di atas adalah pembangunan pabrik tepung ikan untuk kepentingan industri pakan ikan tawar dan unggas.
Selama ini orang tua saya memelihara ikan air tawar di pekarangan rumah mereka. Salah satu yang selalu mereka keluhkan adalah mahalnya harga pakan ikan, terutama untuk lele yang pemakan daging itu.
Pakan lele mahal karena tepung ikan masih diimpor.
Aneh kan? Negeri bahari tetapi tepung ikan untuk pakan ternak masih diimpor dari luar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!