Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Pemakan Madu di Kaki Benteng Gunung Batu Kauniki (Bag-2)

17 Juni 2018   03:23 Diperbarui: 17 Juni 2018   14:10 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak-bapak di Oh'aem I ini mengaku--dan dibenarkan para istri--mereka biasa terlibat memasak. Dokpri

Teknik pasang ekspresi penasaran dan celetukan takjub ini selalu berhasil menggali kisah dan informasi orang-orang. Saya bahkan menggunakannya juga pada anak saya, membuatnya bangga saat menyangka saya baru tahu suatu hal darinya.

"Jadi sekarang kamu tahu, Papa?" tanyanya dengan mata berbinar-binar, tidak berharap jawaban selain ya.

"Iya, Jyestha. Thanks' ya, sekarang Papa tahu. Ternyata begitu ya."

Teknik itu sekali lagi berhasil pada ibu-ibu ini. Mereka bukan saja bercerita tentang cara pengolahan, bagaimana mereka memasaknya, seberapa sering menghidangkannya bagi keluarga, tetapi juga mengambilkan mangkok dan sendok agar saya bisa mencicipi.

Mereka mengambilkan saya semangkuk kacang kratok (Phaseolus lunatus L), yang dalam bahasa lokal disebut koto, sementara dalam Melayu Kupang disebut arbila, dan madagascar bean dalam bahasa Inggris. Bentuknya seperti kacang merah untuk sup brenebon, resep masakan peninggalan Belanda yang sangat diakrabi orang NTT.

Menurut Dr. Wayan Mundita, birokrat Universita Nusa Cendana dan botanis yang kerab merendah dengan menjuluki diri sendiri sebagai 'guru kecil', kratok aslinya berasal dari pengunungan Andes dan Meso-Amerika. Di Pegunungan Andes, kratok telah didomestifikasi sejak 1500 SM. Pak Wayan tidak tahu kapan persisnya kratok masuk ke Timor Barat, tetapi ia menduga bersamaan dengan masuknya jagung dan labu.

Om-om bisa mengetahui berbagai jenis pangan lokal NTT dari buku karya Pak Wayan ini (klik untuk unduh). Saya membantu Pak Wayan memimpin tim pengumpul data untuk Pulau Lembata.

Kratok ada dua jenis. Kratok domestifikasi tidak beracun, kratok liar beracun. Yang dikonsumsi masyarakat Desa Oh'aem I dan saat ini disuguhkan kepada saya adalah kratok liar. Untuk menghilangkan racunnya, kratok harus dimasak berulang kali dan air rebusannya dibuang tiap periode, 1 jam sekali.

"Bagaimana kalau ini masih mengandung racun? Apa dampaknya?"

"Bisa mati, Pak. Sapi saja mati kalau makan yang masih beracun," jawab ibu-ibu bersemangat seperti berharap saya akan keracunan.

Gleg! Jika sapi yang bobot tubuhnya mungkin 3 kali lipat saya saja bisa mati, bagaimana dengan saya? Tetapi baiklah, ibu-ibu ini sudah bertahun-tahun mengolah kratok, tentu mereka menjamin semangkuk kratok liar di tangan saya ini sudah aman disantap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun