Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Berterima Kasih kepada Pramoedya dan Orang-orang Sejenisnya

29 Mei 2018   00:55 Diperbarui: 19 Juni 2018   05:09 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari ubudnowandthen.com dan mojok.co

"We are trying to change things for million of people. Anyone who takes a shit deal because the boss say so. Anyone who gets taken adventage off because they don't own something. That's who we were fighting for. It's not about Lisa. It's not about you and me. If anything, it's about Lisa's kid and what kind of the world he's gonna grow up in."

Paragraf teras  di atas adalah penggalan dialog dalam film Indubious Battle, diproduksi James Franco, dkk 2016 lalu. Baru saya tonton kemarin malam.

Kalimat itu sudah ditambahkan dan diubah penulis screen play Matt Rager dari naskah asli, novel berjudul serupa yang ditulis John Steinbeck pada 1936. Om Rager perlu melakukannya untuk mensiasati keterbatasan film dalam menyampaikan pesan novel.

Orang-orang yang bekerja untuk masa depan, berkorban tenaga, usia, jiwa-raga. Orang-orang yang melakukannya bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk masa depan yang lebih baik, masa depan yang mungkin tak sempat mereka nikmati. Mereka-lah sosok inspiratif yang--sesuai tema khusus Kompasiana edisi Ramadan seri ke-15--ingin saya jumpai saat Idul Fitri di ujung Ramadan nanti.

Om-Tante yang peka mungkin sudah bisa menerka sejak judul dan teras, bagaimana logic dan kerangka pikir artikel ini dan hendak ke mana ia mengarah.

Steinbeck adalah penulis kiri. Seorang realis sosial. Steinbeck tidak sekedar mengadvokasi cita-cita dan gagasan masyarakat masa depan yang ia gandrungi melalui cerpen dan novel. Ia juga terlibat aktif memperjuangkannya.

Steinbeck berpolitik dalam front kebudayaan. Ia menjadi anggota The League of American Writers, yaitu asosiasi novelis, penulis naskah film, jurnalis, dan kritikus sastra yang berada dalam pengaruh Partai Komunis Amerika Serikat (CPUSA). Steinbeck mungkin bukan anggota CPUSA, sekedar "fellow travelers." Ini sebutan untuk pekerja kebudayaan yang tidak menjadi anggota resmi CPUSA tetapi karya-karyanya segaris dengan politik partai.

Steinbeck, sebagaimana karakter-karakter dalam karyanya, membayar mahal untuk gagasan, keyakinan, cita-cita, dan praksis perjuangannya. Ia turut direpresi Pemerintah AS. Meski tidak dipenjara, Steinbeck selalu dimata-matai, diinterogasi oleh anak buah Edgar Hoover.

Periode represif terhadap penulis kiri di AS saya singgung dalam artikel "Fahrenheit 451 dan Ketakutan-ketakutan Masa Depan Indonesia."

Pramoedya Ananta Toer memiliki garis hidup dan aliran berkarya yang sangat menyerupai Steinbeck.

Pram dan Steinbeck beraliran sama: realisme sosialis.

Seperti Steinbeck, karya-karya Pram mengangkat kisah  orang-orang yang berkorban dalam perjuangan untuk menciptakan masa depan  yang lebih baik. Minke, karakter utama dalam Bumi Manusia, merupakan versi fiksi dari tokoh nyata Tirto Adhi Soerjo, Sang Perintis era perjuangan moderen menuju Indonesia merdeka.

Seperti Steinbeck, Pram mengorganisasikan diri dalam Lekra, organisasi kebudayaan yang berada dalam pengaruh Partai Komunis, meski---seperti Steinbeck--bukan anggota PKI.

Seperti Steinbeck, Pramoedya mengalami represi. Bahkan jauh-jauh lebih buruk. Sekian tahun kehilangan kebebasannya, dibuang di penjara Pulau Buru yang pencil dari mana-mana.

Memang ada dua hal di mana Pram belum menyamai Steinbeck: hadiah nobel dan adaptasi film atas novelnya.

Pramoedya gagal mendapat Nobel karena surat keberatan yang dikirim pemerintah kepada panitia Nobel (1). Tetapi yang terakhir, adaptasi film, akan segera terwujud, bukan?

Heheuheu. Saya duga Om-Tante cemberut membaca soal rencana film Bumi Manusia ini.

Euforia dan kegembiraan ini ternyata hanya sesaat. Klimaks pahit, bukan? Tidak karena Minke akan diperankan Iqbaal. Bukan pula hanya karena cacat fatal---tak baik menyebut dungu---Minke akan dikenakan pakaian jawa. Tetapi karena Bumi Manusia versi film Hanung nanti akan fokus pada percintaan Minke dan Annelies.

Begitulah Om-Tante. Om Hanung sendiri sudah katakan itu.(2) Menurutnya itulah tafsiran atas Bumi Manusia dalam konteks kekinian, konteks yang kita tahu hanya ada dalam batok kepalanya. Konteks yang di pikirannya  percintaan semata.

Salah Om-Tante sendiri terlalu girang di awal. Ahistoris. Tidakkah film Soekarno seharusnya jadi pelajaran pahit? Bukankah jauh kalah kualitas isinya dibandingkan Ketika Bung di Ende?

Ok, kembali kepada Pram dan Steinbeck.

Kesamaan garis hidup, gagasan dan karya Pramoedya dengan John Steinbeck bukan tanpa sengaja. John Steinbeck adalah tokoh yang sangat dihormati dan digugu Pramoedya.

Sebuah artikel dalam website Indonesia Nasional Book Commite memuat pernyataan Pramoedya tentang Steinbeck.

"Ya, saya belajar dari Steinbeck, pernah baca karya Steinbeck? Coba perhatikan, sampai lalat terbang, segala macam diungkap untuk menggambarkan suasana. Sehingga kalau kita baca Steinbeck seperti nonton film. Nah, itu berpengaruh sama saya. Kalau baca buku saya 'kan seperti nonton film. Pelajari gaya bahasa dia, itu gaya plastik namanya. Kita baca seperti nonton film, semua tergambar."(3)

Pramoedya dan Steinbeck adalah orang-orang yang bekerja untuk masa depan. Oleh keringat, penderitaan, kekuatan dalam menghadapi ketakutan-ketakutan, dan komitmen tanpa batas mereka, kita, generasi masa kini bisa mencicipi kemanusiaan yang membaik.

Maka jika boleh berandai-andai tidak dibatasi ruang, waktu, dan segala hal duniawi lain, saya ingin---I wish, bukan I'm going to---untuk bisa berjumpa Pramoedya.

Sekedar untuk menyampaikan selamat Idul Fitri dan berterima kasih atas karya-karyanya. Tentu saja saya tak akan singgung soal rencana Hanung memfilmkan Bumi Manusia. Saya kuatir Om Pramoedya kena serangan jantung mendengar Bumi Manusia ditafsirkan sebagai kisah cinta.

Tetapi jika Om-Tante protes dan katakan itu harapan yang absurd sebab Pramoedya sudah mati dan hingga kini perjalanan waktu masih sekedar sebuah hipotesis, maka biarlah saya mengalah.

Baiklah jika saya tukar dengan tokoh selevel dari angkatannya. Mungkin pilihan yang tepat adalah Om Putu Oka Sukanta. Ia sebesar Pram. Ia masih hidup.

Seperti Pramoedya, Putu Oka Sukanta dipenjara 10 tahun di Pulau Buru karena keterlibatannya dalam Lekra dan karya-karyanya yang mengadvokasi gagasan masa depan Indonesia yang lebih baik.

Seperti Pramoedya, karya-karya Putu Oka Sukanta dihormati masyarakat sastra internasional. Ia menerima penghargaan internasional seperti NEMIS (Chili), Hellman (Human Right Watch), dan Herb Feith Foundation (Australia).

Putu Oka Sukanta bahkan satu-satunya sastrawan Indonesia yang karyanya masuk dalam buku Voices of Conscience: Poetry from Oppression (Hume Cronyn, dkk. 1995) bersama 149 penyair dunia lainnya. Dalam buku itu, karya Om Putu setara dengan karya nama-nama raksasa sastra seperti  Bertold Brecht,  Reza Baraheni, Pablo Neruda, dan Oscar Wilde.(4)

Tetapi Putu Oka Sukanta sepertinya bukan seorang Muslim. Sebagai orang Bali, patut diduga ia penganut Hindu. Bagaimana bisa bersilaturahmi lebaran kepada non-Muslim?

Jangan kuatir. Saya akan beralasan jika Lebaran, seperti halnya Natal, bukan sekedar perisitiwa religius. Hari raya adalah juga peristiwa sosial, momentum kultural, saat bagi orang bertemu untuk bermaaf-maafan, saling berkunjung untuk memperat relasi. Tidak mengapa jika dalam kesempatan itu saya berkunjung ke Om Putu Oka Sukanta.

Dari sana saya akan berkunjung ke angkatan yang berjasa besar menghidupkan kembali karya-karya Pramoedya. Siapa lagi jika bukan angkatan 1980an-awal 1990an?

Angkatan itu juga bidan sesungguhnya bagi reformasi 1998---tentu hormat perlu diberikan juga pada penjaga nalar kritis di angkatan 70an seperti W.S. Rendra dan Nurcholis Madjid, juga para sahabat dekat Pram seperti Om Joesoef Isak dan Om Hasyim Rachman dan kepada generasi akhir 1990an yang tiada takut berjibaku melawan pentung dan peluru tentara.

Tidak dipungkiri dari sisi kualitas represi dan militansi menghadapi represi, angkatan 80an-awal 90an punya tempat istimewa dalam perjuangan melawan Orde Baru. Mereka memang bukan pembangun candi. Mereka hanya pengangkut batu. Tetapi tanpa batu-batu itu, tiada candi kan kelak tegak. Merekalah penyebar benih dan perawat pohon kesadaran generasi muda hingga berbuah gerakan massa besar di akhir 1990an. Ini terlepas dari entah di mana dan kepada siapa mereka mengabdi kini.

Saya akan menemui tiga orang perwakilan angkatan ini, yaitu mereka yang pernah mendekam dalam penjara karena menyebarkan buku-buku Pramoedya. Mereka adalah Om Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naispospos yang pada 1989 dipenjara gara-gara dituduh menyebarkan novel-novel Pram.

Saya tidak akan akan bertanya pendapat mereka soal rencana adaptasi Bumi Manusia ke dalam film. Saya duga pertanyaan soal itu hanya akan memancing kemarahan mereka. Apalagi jika bukan karena tafsiran Hanung bahwa Bumi Manusia adalah kisah percintaan Minke-Annelies itu?

Saya hanya akan menyampaikan terima kasih kepada generasi 80an-awal 90an karena pengorbanan mereka saat itu telah berdampak hari ini ketika karya-karya Pramoedya diperbincangkan orang-orang dengan bebasnya, bahkan juga ditafsirkan dengan sungguh bebasnya---seperti tafsiran Hanung.

Terakhir saya akan kunjungi para penulis masa kini. Orang-orang yang menurut saya sedang coba menapaki jejak Pramoedya dalam karya-karya mereka sendiri.

Ada tiga orang juga yang akan saya kunjungi. Mulai dari yang paling tua, tentu saja Tante Leila Chudori. Setelah itu Om Eka Kurniawan, dan terakhir adalah Dik Okky Puspa Madasari.

Saya akan berterima kasih kepada tiga penulis itu atas novel-novel mereka yang luar biasa. Saya yakin, kelak, di kemudian hari novel-novel mereka juga akan menjadi seperti novel-novel Pramoedya.

Begitulah. Itulah orang-orang---menjawab tema Kompasiana edisi Ramadan seri ke-15--yang ingin saya jumpai saat Idul Fitri di ujung Ramadan. Sekedar menyampaikan terima kasih atas karya-karya mereka. Yah, namanya juga ingin, tak harus kejadian bukan?

Baca yang lain di SERI EDISI RAMADAN TILARIA PADIKA

***

Tilaria Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun