Tetapi Putu Oka Sukanta sepertinya bukan seorang Muslim. Sebagai orang Bali, patut diduga ia penganut Hindu. Bagaimana bisa bersilaturahmi lebaran kepada non-Muslim?
Jangan kuatir. Saya akan beralasan jika Lebaran, seperti halnya Natal, bukan sekedar perisitiwa religius. Hari raya adalah juga peristiwa sosial, momentum kultural, saat bagi orang bertemu untuk bermaaf-maafan, saling berkunjung untuk memperat relasi. Tidak mengapa jika dalam kesempatan itu saya berkunjung ke Om Putu Oka Sukanta.
Dari sana saya akan berkunjung ke angkatan yang berjasa besar menghidupkan kembali karya-karya Pramoedya. Siapa lagi jika bukan angkatan 1980an-awal 1990an?
Angkatan itu juga bidan sesungguhnya bagi reformasi 1998---tentu hormat perlu diberikan juga pada penjaga nalar kritis di angkatan 70an seperti W.S. Rendra dan Nurcholis Madjid, juga para sahabat dekat Pram seperti Om Joesoef Isak dan Om Hasyim Rachman dan kepada generasi akhir 1990an yang tiada takut berjibaku melawan pentung dan peluru tentara.
Tidak dipungkiri dari sisi kualitas represi dan militansi menghadapi represi, angkatan 80an-awal 90an punya tempat istimewa dalam perjuangan melawan Orde Baru. Mereka memang bukan pembangun candi. Mereka hanya pengangkut batu. Tetapi tanpa batu-batu itu, tiada candi kan kelak tegak. Merekalah penyebar benih dan perawat pohon kesadaran generasi muda hingga berbuah gerakan massa besar di akhir 1990an. Ini terlepas dari entah di mana dan kepada siapa mereka mengabdi kini.
Saya akan menemui tiga orang perwakilan angkatan ini, yaitu mereka yang pernah mendekam dalam penjara karena menyebarkan buku-buku Pramoedya. Mereka adalah Om Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naispospos yang pada 1989 dipenjara gara-gara dituduh menyebarkan novel-novel Pram.
Saya tidak akan akan bertanya pendapat mereka soal rencana adaptasi Bumi Manusia ke dalam film. Saya duga pertanyaan soal itu hanya akan memancing kemarahan mereka. Apalagi jika bukan karena tafsiran Hanung bahwa Bumi Manusia adalah kisah percintaan Minke-Annelies itu?
Saya hanya akan menyampaikan terima kasih kepada generasi 80an-awal 90an karena pengorbanan mereka saat itu telah berdampak hari ini ketika karya-karya Pramoedya diperbincangkan orang-orang dengan bebasnya, bahkan juga ditafsirkan dengan sungguh bebasnya---seperti tafsiran Hanung.
Terakhir saya akan kunjungi para penulis masa kini. Orang-orang yang menurut saya sedang coba menapaki jejak Pramoedya dalam karya-karya mereka sendiri.
Ada tiga orang juga yang akan saya kunjungi. Mulai dari yang paling tua, tentu saja Tante Leila Chudori. Setelah itu Om Eka Kurniawan, dan terakhir adalah Dik Okky Puspa Madasari.
Saya akan berterima kasih kepada tiga penulis itu atas novel-novel mereka yang luar biasa. Saya yakin, kelak, di kemudian hari novel-novel mereka juga akan menjadi seperti novel-novel Pramoedya.