Pram dan Steinbeck beraliran sama: realisme sosialis.
Seperti Steinbeck, karya-karya Pram mengangkat kisah  orang-orang yang berkorban dalam perjuangan untuk menciptakan masa depan  yang lebih baik. Minke, karakter utama dalam Bumi Manusia, merupakan versi fiksi dari tokoh nyata Tirto Adhi Soerjo, Sang Perintis era perjuangan moderen menuju Indonesia merdeka.
Seperti Steinbeck, Pram mengorganisasikan diri dalam Lekra, organisasi kebudayaan yang berada dalam pengaruh Partai Komunis, meski---seperti Steinbeck--bukan anggota PKI.
Seperti Steinbeck, Pramoedya mengalami represi. Bahkan jauh-jauh lebih buruk. Sekian tahun kehilangan kebebasannya, dibuang di penjara Pulau Buru yang pencil dari mana-mana.
Memang ada dua hal di mana Pram belum menyamai Steinbeck: hadiah nobel dan adaptasi film atas novelnya.
Pramoedya gagal mendapat Nobel karena surat keberatan yang dikirim pemerintah kepada panitia Nobel (1). Tetapi yang terakhir, adaptasi film, akan segera terwujud, bukan?
Heheuheu. Saya duga Om-Tante cemberut membaca soal rencana film Bumi Manusia ini.
Euforia dan kegembiraan ini ternyata hanya sesaat. Klimaks pahit, bukan? Tidak karena Minke akan diperankan Iqbaal. Bukan pula hanya karena cacat fatal---tak baik menyebut dungu---Minke akan dikenakan pakaian jawa. Tetapi karena Bumi Manusia versi film Hanung nanti akan fokus pada percintaan Minke dan Annelies.
Begitulah Om-Tante. Om Hanung sendiri sudah katakan itu.(2) Menurutnya itulah tafsiran atas Bumi Manusia dalam konteks kekinian, konteks yang kita tahu hanya ada dalam batok kepalanya. Konteks yang di pikirannya  percintaan semata.
Salah Om-Tante sendiri terlalu girang di awal. Ahistoris. Tidakkah film Soekarno seharusnya jadi pelajaran pahit? Bukankah jauh kalah kualitas isinya dibandingkan Ketika Bung di Ende?
Ok, kembali kepada Pram dan Steinbeck.