Baca artikel terkait perang melawan terorisme: Sertifikasi Penceramah dan Penalaran Compang-camping Politisi
Oleh ketakutan terhadap teror dan kebencian yang diproduksi kelompok-kelompok puritan fundamentalis, publik berkecenderungan menyerahkan kekebasannya. Dalam percakapan daring tampak jelas semangat untuk mendukung represi terhadap kebebasan berpendapat.
Kian mencemaskan jika melihat besarnya dukungan publik terhadap RUU Anti-Terorisme yang memuat pasal Guantanamo yang memberikan hak kepada aparatus koersif untuk bisa menahan terduga teroris selama 6 bulan tanpa pengadilan.
Orang-orang yang hidup selama masa Orde Baru seharusnya tahu persis bagaimana aparat koersif bertindak sewenang-wenang, dimobilisasi institusi politik (pemerintah) untuk memukul musuh-musuhnya. Kita baru saja memperingati 20 tahun kebebasan dari masa itu, dengan realita lapangan praktik-praktik peninggalan dua dekade lalu masih diterapkan.
Kini, oleh ketakutan-ketakutan akan terorisme, kita cendrung bereaksi membabi-buta, lupa jika pemberian wewenang berlebihan kepada aparatus koersif negara justru berpotensi menjerumuskan kita ke bentuk lain terorisme: official terrorism, teror yang dilakukan negara.
Kita pernah mengalaminya. Tiga puluh dua tahun lamanya!
Menyikapi kondisi Indonesia kini memang tidak mudah, Om-Tante. Kita sering berhadapan dengan pilihan-pilihan kebijakan yang seolah-olah simalakama (Baca: "Sertifikasi Penceramah dan Penalaran Compang-camping Politisi"). Jangan mudah menyerah untuk mencari jalan terbaik. Untuk mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Ya, Om-Tante. Semoga perlawanan terhadap teror dan aksi-aksi kebencian kaum puritan fundamentalis tidak menjerumuskan kita untuk mengarah kembali ke masa itu. Melek literasi mungkin salah satu kunci untuk mencegahnya.
***
Tilaria Padika
22052018