Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Kematian Mempersatukan

26 September 2017   22:15 Diperbarui: 27 September 2017   03:40 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari rt.com, oddee.com, qygjxz.com

Rambo si ayam jago itu kaget bukan main. Hampir saja ia terjatuh dari pokok mangga. Ia baru saja hendak berteriak jumawa mengabarkan terbitnya fajar. Tetapi rupanya Cintya, gadis tetangga rumah sudah tampak loncat-loncat kecil berolah raga di halaman belakang. Hati Rambo terasa pedih, kebanggaannya sebagai juru warta kedatangan fajar baru saja ditelikung. Tetapi dilihatnya Cintya si atlit olimpiade itu begitu lincah dan sumringah, pedih dan kecewa menguap berganti kegembiraan dan rasa penasaran.

"Mengapa gadis itu begitu riang dan bersemangat pagi ini?" Tanya Rambo pada buah-buah mangga ranum yang menggantung.

"Entahlah, mungkin Ibu bisa menerka?" Buah-buah mangga ranum menoleh pada pokok mereka.

"Ibu pun tak tahu, coba kita tanyakan pada angin pagi," kata pokok manga.

"Mungkin ia sudah merasa yakin akan meraih medali emas di Olimpiade mendatang. Tetapi agar tahu pasti, baiklah aku bersama mentari menyelidikinya. Kami akan mengikuti ke mana Cintya pergi hari ini dan bertanya pada segala apapun yang mungkin tahu." Angin pagi menoleh pada mentari. Mentari mengedip, siap melakukan tugas itu.

***

 "Cintya ke salon hari ini. Ia berusaha menjadi secantik mungkin. Sepertinya Ia sedang mempersiapkan diri menghadapi peristiwa istimewa, seperti perawan hendak meninggalkan masa lanjang dengan berikrar di depan altar suci." Angin mewartakan apa yang ia dan mentari lihat siang tadi.

"Cintya hendak menikah? Siapakah sang kekasih beruntung? Belum pernah seorang lelaki bertandang ke rumahnya sejak aku menjadi satu-satunya ayam jago di kampung ini." Rambo merasa sedikit cemburu.

"Kami belum tahu itu."

"Kalau begitu bisakah kalian berdua kembali mengikuti kemana pun ia pergi," pinta pokok mangga.

Angin dan mentari mengangguk.

***

Dari atas Jembatan tua dan rapuh itu, Cintya dan ibu menaburkan potongan-potongan kembang lili, mawar putih, anggrek, dan irish ke sungai kering di bawahnya. Mereka memasang lilin-lilin pada bahu jembatan, menyalakan dan mulai berdoa. Tanpa suara, hanya mata terpejam dan gerak kecil pada bibir. Sebentar saja.

Cintya dan ibunya tidak sendiri. Ada lebih dari selusin lelaki dan perempuan, tua dan muda, di jembatan itu. Mereka melakukan hal serupa. Masing-masing.

Selesai berdoa, mata Cintya mencari-cari sosok itu, lelaki yang menjadi alasannya berdandan dan membuat perjalanan ke pelosok ini begitu menyenangkan. Ah, Itu dia di sana, berpakaian hitam-hitam. Bola mata Cintya berbinar. Senyum manisnya merekah. Bulu-bulu halus di tengkuk dan lengannya menari. Hatinya menabuh genderang.

Pemuda  itu menoleh. Matanya dan mata Cintya bertubrukan. Ia tersenyum lalu melangkah ke arah Cintya.

"Hai, kita bertemu lagi."

"Ya, seingatku sudah sepuluh tahun ini. Saban tahun."

"Betul. Itu sebabnya aku tak percaya kalau kamu kebetulan berada di sini dan sekedar menghirup udara pagi seperti pengakuanmu tahun lalu."

"Hmmmm. Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan bersama ibumu setiap tanggal begini?"

"Kami mendoakan nenek."

"Tetapi ini bukan kuburan. Di mana nenekmu dikubur?"

"Entahlah. Kami tak tahu. Kata ibu, nenek mati di sini. Ia baru ia tahu setelah bertahun-tahun mencari, bertanya kesana-kemari."

"Pada hari ini? Kecelakaan mobil di jembatan ini kah?"

"Hmmm.. kata ibu bukan hari ini persisnya. Mungkin berbulan-bulan bahkan mungkin 1-2 tahun setelah hari yang kami peringati ini. Ibu tak tahu persis. Juga bukan kecelakaan. Ketika itu nenek dijemput dari rumah oleh banyak orang. Kata mereka karena nenek suka melatih perempuan-perempuan desa menjahit dan membuat aneka kue. Nenek juga mengajari anak-anak desa baca-tulis. Tetapi nenek memantik amarah banyak tokoh di kampung karena mengajak para perempuan itu menolak poligami. Sejak penjemputan itu nenek tidak pernah kembali ke rumah. Baru belasan tahun lalu ibu berani bertanya-tanya kabar nenek dan akhirnya membawa ibu ke tempat ini."

"Sudah berapa tahun nenekmu meninggal?"

"Sudah sekitar 50 tahun."

Lelaki tampan itu tertunduk. Ia melangkah ke tepi jembatan dan diam menatap sungai kering di bawah jembatan, seperti menangisi air yang tiada.

Cintya melangkah mendekati, diam sejenak lalu bertanya. "Kamu sendiri, mengapa kamu di sini"

Sang lelaki menarik napas panjang, melempar pandangan ke jauh perbukitan di depan sana ketika mulai bercerita.

"Kita semua dibawa oleh kenangan akan kematian ke tempat ini. Tetapi aku berbeda dari dirimu dan ibumu, dan orang-orang itu."

"Maksudmu?"

"Aku juga mengenang kematian kakek, juga kematian ayah. Kakek mati di jembatan ini. Ia bunuh diri sekitar 40 tahun lampau. Ayah mati sepuluh tahun lampu di rumah sakit jiwa tetapi masih ada hubungannya dengan jembatan ini."

Cintya diam. Ia berusaha memahami apa yang diceritakan si lelaki.

"Sepuluh tahun sebelum kematiannya, kakek berubah menjadi orang yang sama sekali tak ayah kenal. Ia menjadi pemarah. Ayah anak tunggal, selalu menjadi sasaran amarah. Ayah melewati masa kecil penuh ketakutan. Namun kemarahan kakek bukan satu-satunya siksaan. Selama 2-3 tahun, ketika masih kanak-kanak, ayah sering ikut kakek ke tempat kerja. Jiwa ayah terguncang menyaksikan kakek menyiksa orang-orang; mendengar teriakan-teriakan pinta ampun; melihat percik darah segar dari mulut dan telinga orang-orang yang kakek siksa. Ia bahkan menatap mata mereka yang menjemput ajal. Hampir tiap-tiap hari selama 2-3 tahun ayah menyaksikannya."

Cintya masih diam, membiarkan lelaki tampan berwajah duka itu lanjut berkisah.

"Suatu ketika kakek bunuh diri di jembatan ini. Sejak itu ayah berusaha pulih dari kenangan kelam. Ia mencoba hidup normal. Ayah berhasil melewati masa remaja, menjadi seorang pemuda gagah, bertemu ibu, menikah dan memperoleh diriku. Ia ayah yang baik. Tetapi rupanya kekerasan yang ia saksikan di masa kecil terus menghantui. Ayah sering tiba-tiba terbangun di malam hari, berteriak dan menangis. Seperti baru saja bermimpi sungguh buruk. Terjadi kian sering, lalu menjadi tiap-tiap malam. Tahun demi tahun kondisi mental ayah memburuk. Ibu memutuskan untuk merelakannya tinggal di rumah sakit jiwa. Sepuluh tahun lampau, pada suatu pagi, ayah ditemukan gantung diri."

Cintya menggenggam lengan lelaki itu, mencoba memberinya kekuatan, seolah dengan itu segala kesedihan menguap.

"Ibu lalu menyarankan kepadaku untuk ke sini setiap tanggal begini, membawa kembang dan lilin untuk berdoa."

"Jadi setiap September tanggal tiga puluh Engkau juga berdoa untuk kakek dan ayahmu di sini?"

"Bukan. Aku mendoakan arwah orang-orang yang kakek bunuh di sini. Semoga jiwa-jiwa mereka tenang di surga dan dengan demikian kakekku memperoleh pengampunan."

Cintya mengernyit. Ia belum paham.

"Kakekku salah seorang yang membunuh nenekmu, Cintya. Juga membunuh orang-orang lainnya, ayah, ibu, kakek dan nenek dari orang-orang yang hari ini ada di sini. Ratusan orang banyaknya. Kakekku seorang pembantai."

Mulut Cintya menganga. Ia tak tahu hendak bereaksi apa.

"Aku mohon maaf atas nama kakekku, Cintya. Ia hanya seorang prajurit yang menjalankan perintah. Ia sungguh menyesal atas semua itu. Ia bunuh diri karena tak tahan terus hidup menanggung dosa."

***

"Apakah ia bertemu pujaan hatinya? Apakah mereka akan menikah? Apakah mereka akan mendapat anak yang ranum-ranum seperti buah-buah di rantingku?" Bertanya si pokok manga. Rambo si ayam jago dan buah-buah manga memasang telinga tak sabar.

Angin menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Cintya bertemu dambaan hatinya. Sepertinya mereka akan menjadi sepasang kekasih. Tetapi hati Cintya hancur."

"Mengapa? Kekasihnya selingkuh?" Tanya Ayam jago.

"Si lelaki sudah ada yang punya?" Penasaran buah-buah mangga.

"Bukan itu. Hati Cintya hancur karena mengetahui kebenaran. Ia bahkan sudah bulat memutuskan  mundur dari tim Olimpiade." Mentari senja menambahkan.

"Mengapa begitu? Ia atlit yang hebat," sesal dan penasaran pokok mangga.

"Ia malu mewakili bangsa yang menyembunyikan kebenaran dan tidak mau mengakui kesalahan."

"Kalau begitu ganti judul di atas. Tidak cocok endingnya. Mengecewakan!" Katamu yang membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun