Cintya diam. Ia berusaha memahami apa yang diceritakan si lelaki.
"Sepuluh tahun sebelum kematiannya, kakek berubah menjadi orang yang sama sekali tak ayah kenal. Ia menjadi pemarah. Ayah anak tunggal, selalu menjadi sasaran amarah. Ayah melewati masa kecil penuh ketakutan. Namun kemarahan kakek bukan satu-satunya siksaan. Selama 2-3 tahun, ketika masih kanak-kanak, ayah sering ikut kakek ke tempat kerja. Jiwa ayah terguncang menyaksikan kakek menyiksa orang-orang; mendengar teriakan-teriakan pinta ampun; melihat percik darah segar dari mulut dan telinga orang-orang yang kakek siksa. Ia bahkan menatap mata mereka yang menjemput ajal. Hampir tiap-tiap hari selama 2-3 tahun ayah menyaksikannya."
Cintya masih diam, membiarkan lelaki tampan berwajah duka itu lanjut berkisah.
"Suatu ketika kakek bunuh diri di jembatan ini. Sejak itu ayah berusaha pulih dari kenangan kelam. Ia mencoba hidup normal. Ayah berhasil melewati masa remaja, menjadi seorang pemuda gagah, bertemu ibu, menikah dan memperoleh diriku. Ia ayah yang baik. Tetapi rupanya kekerasan yang ia saksikan di masa kecil terus menghantui. Ayah sering tiba-tiba terbangun di malam hari, berteriak dan menangis. Seperti baru saja bermimpi sungguh buruk. Terjadi kian sering, lalu menjadi tiap-tiap malam. Tahun demi tahun kondisi mental ayah memburuk. Ibu memutuskan untuk merelakannya tinggal di rumah sakit jiwa. Sepuluh tahun lampau, pada suatu pagi, ayah ditemukan gantung diri."
Cintya menggenggam lengan lelaki itu, mencoba memberinya kekuatan, seolah dengan itu segala kesedihan menguap.
"Ibu lalu menyarankan kepadaku untuk ke sini setiap tanggal begini, membawa kembang dan lilin untuk berdoa."
"Jadi setiap September tanggal tiga puluh Engkau juga berdoa untuk kakek dan ayahmu di sini?"
"Bukan. Aku mendoakan arwah orang-orang yang kakek bunuh di sini. Semoga jiwa-jiwa mereka tenang di surga dan dengan demikian kakekku memperoleh pengampunan."
Cintya mengernyit. Ia belum paham.
"Kakekku salah seorang yang membunuh nenekmu, Cintya. Juga membunuh orang-orang lainnya, ayah, ibu, kakek dan nenek dari orang-orang yang hari ini ada di sini. Ratusan orang banyaknya. Kakekku seorang pembantai."
Mulut Cintya menganga. Ia tak tahu hendak bereaksi apa.