***
Dari atas Jembatan tua dan rapuh itu, Cintya dan ibu menaburkan potongan-potongan kembang lili, mawar putih, anggrek, dan irish ke sungai kering di bawahnya. Mereka memasang lilin-lilin pada bahu jembatan, menyalakan dan mulai berdoa. Tanpa suara, hanya mata terpejam dan gerak kecil pada bibir. Sebentar saja.
Cintya dan ibunya tidak sendiri. Ada lebih dari selusin lelaki dan perempuan, tua dan muda, di jembatan itu. Mereka melakukan hal serupa. Masing-masing.
Selesai berdoa, mata Cintya mencari-cari sosok itu, lelaki yang menjadi alasannya berdandan dan membuat perjalanan ke pelosok ini begitu menyenangkan. Ah, Itu dia di sana, berpakaian hitam-hitam. Bola mata Cintya berbinar. Senyum manisnya merekah. Bulu-bulu halus di tengkuk dan lengannya menari. Hatinya menabuh genderang.
Pemuda  itu menoleh. Matanya dan mata Cintya bertubrukan. Ia tersenyum lalu melangkah ke arah Cintya.
"Hai, kita bertemu lagi."
"Ya, seingatku sudah sepuluh tahun ini. Saban tahun."
"Betul. Itu sebabnya aku tak percaya kalau kamu kebetulan berada di sini dan sekedar menghirup udara pagi seperti pengakuanmu tahun lalu."
"Hmmmm. Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan bersama ibumu setiap tanggal begini?"
"Kami mendoakan nenek."
"Tetapi ini bukan kuburan. Di mana nenekmu dikubur?"