Citra membatasi hati, begitu pun Samudra, keduanya berkomunikasi hanya saat rapat dan mengerjakan proyek. Selebihnya mereka tetap bersikap biasa, seakan tak terjadi apa-apa. Padahal sebenarnya mereka saling gelisah dengan hati masing-masing. Keduanya memiliki ketertarikan yang sama, hanya saja memilih diam seribu bahasa dan membiarkan sia-sia. Tak peduli dengan adanya kesempatan kedua yang kemungkinan bisa menyatukan rasa yang sejak dulu selalu ada. Faktanya, mereka tak benar-benar melupakan, hanya berjalan sendiri-sendiri tanpa mau beriringan.
Citra ingat betul, bagaimana hatinya bertalu-talu saat tahu dia satu kelompok KKN dengan Samudra. Berulang kali merefresh laman web yang tertera di layar laptopnya. Matanya dikucek berkali-kali, guna memastikan pengumuman yang saat itu dia lihat. Entah dia harus bahagia atau kecewa, ketika nama Samudra dan Citra tetap satu kolom, yang berjarak tiga nama mahasiswa lainnya.
Terbawa perasaan sudah pasti, melakukan aktivitas yang katanya profesional hanya angin belaka. Kemana-kemana mereka jalan berdua, berboncengan dengan jarak tak kurang dari sepuluh centimeter di atas sepeda. Belum lagi ketika piket dalam satu kelompok, memasak bersama, dan tak jarang, makan pun sering sepiring berdua. Keduanya menikmati ilusi rasa yang diciptakannya sendiri. Bermodalkan praduga yang berjalan sebagaimana mestinya. Tanpa mereka sadari, cinta yang dulu pernah hampir mati, kini tumbuh sekali lagi, bahkan berkali-kali.
Weekend ini, warga mengajak anak KKN untuk rekreasi ke pantai klayar Pacitan. Sebagai ucapan terima kasih atas keikutsertaannya menyukseskan acara lomba agustusan. Perjalanan ditempuh kurang lebih 4 jam dari Saradan Madiun ke Pacitan. Di kursi bus, Citra dan Samudra duduk bersebelahan, namun Citra sering ditinggali karena Samudra harus membantu mengkoordinir warga. Teman lainnya beranggapan kalau Samudra sedang PDKT dengan Citra, sehingga memberi kesempatan untuk melancarkan proses pendekatan tersebut. Namun yang tidak mereka sadari, dukungan seperti itu yang justru membuat hati Samudra dan Citra semakin lara. Karena keduanya tetap memilih berjalan saja, tanpa ada status sebagaimana mestinya sepasang kekasih.
Usai turun dari bus, Citra memilih menyendiri di bawah pohon kelapa, beralaskan sandal agar tak mengotori roknya. Sambil memakai kacamata hitam besar yang hampir menutupi wajah mungilnya. Rekan lain berpencar entah ke mana, tak terkecuali Samudra yang mungkin saat ini sedang bersama anak pak lurah. Citra cemburu, namun dia sadar diri kalau tak berhak cemburu. Bagaimana pun juga, tak akan ada seorang wanita yang biasa saja ketika orang yang disuka tertawa dengan orang selain dirinya.
Bunyi notif smarthphone Citra membangunkan dari lamunannya sendiri. Terlihat Samudra si pengirim pesan "Cit, aku tunggu di parkiran sekarang". Dari pada sendirian di sini tidak jelas, biarlah dia datang menghampiri Samudra, meskipun hanya jadi penonton kedekatan Samudra dan anak pak lurah. Saat sudah sampai parkiran, Citra tak kunjung menemukan sosok Samudra, berkali-kali diteleponnya, tapi tak kunjung dijawab. Citra kesal dan merasa sedang dipermaikan oleh Samudra. Dia merutuki dirinya kenapa begitu bodoh langsung percaya. Saat hendak kembali ke area pantai, Citra mendengar ada yang memanggilnya.
"Cici," suara yang tanpa Citra menoleh sudah tahu dari mana asalnya.
"Iya Sam," sahut Citra mencoba menenangkan diri.
"Kamu ngapain di sini sendirian?" tanya  Samudra
What??? Citra tak percaya kata itu keluar dari mulut Samudra.
"Bukannya kamu yang minta aku ke sini?" tanya Citra.