Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ronde Malam (Cerbung Bagian 2)

11 Juli 2020   15:05 Diperbarui: 11 Juli 2020   15:01 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dari indokaskus.blogspot.com 

Cinta pertamanya kandas di ujung keputusan orang tua. Ia harus mengubur rasa itu bersama jasad yang terbujur kaku. Ikhsan, menjemput ajal diperantauan, menggenggam sejuta kasih sayang. Pemuda desa yang dulu sedang naik daun potensi sepak bolanya...".

---

"Abaikan rasa itu...!".

Jauh Iksan melangkah pagi ini. Kata itu terus mengejarnya, di tengah gejolak kesungguhan hati meraba kasih mawar desa. Jika itu sebuah keputusan, berat nian harus menutup panjang jalan melumat debar kisah.

Iksan, bisa memahami ketajaman mata Wiwik mengulang kata-kata itu, usai tiga hari sebelumnya, sang ayah memintanya juga. Ketajaman mata itulah yang menancap diujung hatinya. Yang kini berusaha diguncang-guncang permohonan tegas dari sang ayah, petinggi desa, sang orang tua.

Jalan desa yang terjal nan berkelok, Iksan jejaki untuk meminta sedekah bantuan rasa atas kenang indah yang pernah dinikmati bersama perindu hati, Wiwik. Memar mata Iksan setiap kali ia membuka langkah sembari meretas sudut-sudut jalan yang tertimbun kenang.

Pada sebuah balai, di pinggir selokan kecil, pinggir desa ia merebahkan diri!

"Aku tidak bisa melawan dilema ini, Mas...", Wiwik, mengusap lembut ubun-ubun Iksan.

Lajang itu membisu, tak juga hendak menatap wajah Wiwik yang bersimbah butir air mata. Iksan lebih senang meremas rambut Wiwik, yang terurai menutup dadanya.

Sore yang sepi.

"Mas, mungkin bukan sekarang waktunya untuk kita. Masih ada kesempatan", bisik Wiwik di telinga perjaka kekasihnya.

"Aku takut waktu malah melupakan kita, Wik...", sambut Iksan menjamah butiran air mata yang meleleh di sekujur pipi putih, sang kekasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun