"Setidaknya aku yang meyakini kita masih punya kesempatan itu, Mas".
"Aku juga, Wik. Aku juga...", bisik Iksan lugas.
Gadis itu, tersenyum, manja. Ia kecup tangan yang merebah dipipinya, dalam dan lama.
Sore hampir menghilang. Kabut tebal khas nuansa pedesaan mulai menyelimuti rupa teduh seluruh desa. Sejoli itu, memandang harap malam akan terus ramah dalam menggenggam cintanya.
Sore, yang akan semakin sibuk untuk menata perjalanan rindu.
"Aku akan meminta ke Dia, ... keajaiban Dik!".
Wiwik menggenggam erat genggaman tangan Iksan. Satunya lagi menyentuhkan telunjukknya ke bibir sang kekasih berharap Iksan merasakan detak jiwa yang ia rasa dan berdiam menikmati detak itu.
Sore, merangkak naik. Membiarkan keduanya membatu di huma bambu tempat keduanya menancapkan kesetiaan. Di antara rerimbun alang-alang, di gemericik sungai kecil batas desa.
Lamat-lamat adzan maghrib berkumandang. Menyadarkan keduanya jika malam telah tiba. Lelah mata keduanya melumpuhkan gairah bunga-bunga semak tuk mengembang. Iksan meminta Wiwik untuk pulang. Deras air mata gadis desa itu, menjawabnya.
Kabut menenggelamkan suasana!
(...bersambung)
Kertonegoro,Â