Cinta pertamanya kandas di ujung keputusan orang tua. Ia harus mengubur rasa itu bersama jasad yang terbujur kaku. Ikhsan, menjemput ajal diperantauan, menggenggam sejuta kasih sayang. Pemuda desa yang dulu sedang naik daun potensi sepak bolanya...".
---
"Abaikan rasa itu...!".
Jauh Iksan melangkah pagi ini. Kata itu terus mengejarnya, di tengah gejolak kesungguhan hati meraba kasih mawar desa. Jika itu sebuah keputusan, berat nian harus menutup panjang jalan melumat debar kisah.
Iksan, bisa memahami ketajaman mata Wiwik mengulang kata-kata itu, usai tiga hari sebelumnya, sang ayah memintanya juga. Ketajaman mata itulah yang menancap diujung hatinya. Yang kini berusaha diguncang-guncang permohonan tegas dari sang ayah, petinggi desa, sang orang tua.
Jalan desa yang terjal nan berkelok, Iksan jejaki untuk meminta sedekah bantuan rasa atas kenang indah yang pernah dinikmati bersama perindu hati, Wiwik. Memar mata Iksan setiap kali ia membuka langkah sembari meretas sudut-sudut jalan yang tertimbun kenang.
Pada sebuah balai, di pinggir selokan kecil, pinggir desa ia merebahkan diri!
"Aku tidak bisa melawan dilema ini, Mas...", Wiwik, mengusap lembut ubun-ubun Iksan.
Lajang itu membisu, tak juga hendak menatap wajah Wiwik yang bersimbah butir air mata. Iksan lebih senang meremas rambut Wiwik, yang terurai menutup dadanya.
Sore yang sepi.
"Mas, mungkin bukan sekarang waktunya untuk kita. Masih ada kesempatan", bisik Wiwik di telinga perjaka kekasihnya.
"Aku takut waktu malah melupakan kita, Wik...", sambut Iksan menjamah butiran air mata yang meleleh di sekujur pipi putih, sang kekasih.