Apakah pantas, penyair sekaliber ia diusir saat membacakan puisi? Yah, kita (seharusnya) pemilik sah negeri ini. Sungguh betapa memuakkan para pengusir-pengusir itu? Kentara sekali jika terjadi ketidaksiapan di dalam dirinya (pengusir itu) dalam membaca beda-beda. Sementara beda yang penyair gaek ini baca dalam syairnya itu adalah FAKTA.
...
Kini
Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan,
Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan tuhan
Kini
Negeri kita
penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting
Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila
kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta
Jika penjahat-penjahat ini
Dibawa didepan meja pengadilan
Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar hukuman
...
(Taufiq Ismail : Kami Muak dan Bosan)
Kembali, ia berteriak, di suatu masa dalam ketajaman mata imajinasi, sebagai alah satu pekerja sejarah negeri ini.
Lantas, “Siapa yang telah berani mengusir-usir dia...?”. Mengusir, padahal ia saat itu berbicara atas nama sastra imajinasi diri akan fakta negeri yang ada? Apa sih yang telah mereka (para pengusir itu) torehkan untuk negeri?
Harusnya dunia sastra meradang dan marah! Entah karena apa mulut-mulut anak negeri, kini, hari ini, seakan terbungkam serapatnya. Benar, ternyata banyak yang hanya terbahak saja, kata ia, dalam syairnya, penyair tiga masa yang masih dimiliki negeri ini.
Kejam nian, hingga di masa gaeknya ini harus diteriaki provokator, tanpa ada yang mau membela kegarangan atas idealismenya dalam mencintai negeri ini. Benarkah ini sebagai awal dari sebuah kebosanan-kebosanan, awal dari hasrat untuk mendobrak kemapanan.
Tidak! Jangan sampai kita menjadi bagian dari negeri ini yang harus meragukan kebanggaan sebagai bangsa yang ber-Pancasila.
Jangan sampai MALU kita menjadi orang Indonesia. Malu membela mereka yang lemah, malu bersuara atas bahasa santun dan kebenaran, malu karena kita telah teramat banyak dibuai oleh janji-janji dan rencana-rencana. Malu, karena kita terjebak pada hilangnya jiwa Pancasila dan ruh nuansa nasionalisme.
...
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
...
(Taufiq Ismail : Malu Aku Jadi Orang Indonesia)