[caption caption="Taufiq Ismail"][/caption]Taufiq Ismail dan Negeri Ini
KLU Hari Ini
Bagi sebagaian besar pecinta sastra, mantan guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965) tidak saja dikenal sebagai pemilik ketajaman imajinasi dan pejuang sastra bangsa, tetapi juga acapkali menjadi rujukan untuk membuat dan membandingkan karya-karya sastranya. Taufiq Ismail, penyair dengan ciri khas religinya sudah sebegitu membumi bagi atmosfir sastra Indonesia. Beliau yang juga bisa disebut sebagai kolomnis tiga jaman, karena beliau termasuk salah satu pencetus lahirnya majalah sastra “Horison” bersama Mochtar Loebis dkk. Beliau, bukanlah orang yang tiada wacana sejarah (kosong) dalam menapaki perjalanan negeri ini.
Maka, berdiamdirikah kita ketika dia harus diusir saat membaca puisi?
...
Kita tidak sekedar ada untuk Indonesia, tapi sampai di titik mana pandangan ini bertahan melihat parodi busuk para pelaku ulung dengan bahak yang sangat dipaksa sampai hari ini, bahkan sampai malam ini?
…
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
(Taufiq Ismail “KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI”)
Begitu teriak Taufiq Ismail di suatu waktu dalam tatap mata imajinya. Rasakan! Betapa kokoh pondasi keberpihakannya pada negeri ini, pada bangsa yang telah diusik dengan parodi kebusukan pelaku-pelaku ulung yang terbahak-bahak. Kini, malam ini, parodi itu terus beradegan seakan mata-mata anak bangsa tidak melihatnya. Seakan, mereka tidak bisa dibaca dengan kasat mata.
Konsep kebangsaan atas karya-karyanya bukanlah berangkat dari kegenitan jiwa untuk meminta kursi atau menjarah sebagian wilayah kuasa. Tidak! Rentetan panjang perjalanan hidupnya telah berbicara banyak untuk negeri ini.
Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ia pernah mengajar sebagai guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964).
Yang tidak boleh dilupakan bagi kita sebagai pemerhati sastra Indonesai adalah, akibat menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Tidak itu saja, Taufiq Ismail merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).
Apakah pantas, penyair sekaliber ia diusir saat membacakan puisi? Yah, kita (seharusnya) pemilik sah negeri ini. Sungguh betapa memuakkan para pengusir-pengusir itu? Kentara sekali jika terjadi ketidaksiapan di dalam dirinya (pengusir itu) dalam membaca beda-beda. Sementara beda yang penyair gaek ini baca dalam syairnya itu adalah FAKTA.
...
Kini
Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan,
Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan tuhan
Kini
Negeri kita
penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting
Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila
kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta
Jika penjahat-penjahat ini
Dibawa didepan meja pengadilan
Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar hukuman
...
(Taufiq Ismail : Kami Muak dan Bosan)
Kembali, ia berteriak, di suatu masa dalam ketajaman mata imajinasi, sebagai alah satu pekerja sejarah negeri ini.
Lantas, “Siapa yang telah berani mengusir-usir dia...?”. Mengusir, padahal ia saat itu berbicara atas nama sastra imajinasi diri akan fakta negeri yang ada? Apa sih yang telah mereka (para pengusir itu) torehkan untuk negeri?
Harusnya dunia sastra meradang dan marah! Entah karena apa mulut-mulut anak negeri, kini, hari ini, seakan terbungkam serapatnya. Benar, ternyata banyak yang hanya terbahak saja, kata ia, dalam syairnya, penyair tiga masa yang masih dimiliki negeri ini.
Kejam nian, hingga di masa gaeknya ini harus diteriaki provokator, tanpa ada yang mau membela kegarangan atas idealismenya dalam mencintai negeri ini. Benarkah ini sebagai awal dari sebuah kebosanan-kebosanan, awal dari hasrat untuk mendobrak kemapanan.
Tidak! Jangan sampai kita menjadi bagian dari negeri ini yang harus meragukan kebanggaan sebagai bangsa yang ber-Pancasila.
Jangan sampai MALU kita menjadi orang Indonesia. Malu membela mereka yang lemah, malu bersuara atas bahasa santun dan kebenaran, malu karena kita telah teramat banyak dibuai oleh janji-janji dan rencana-rencana. Malu, karena kita terjebak pada hilangnya jiwa Pancasila dan ruh nuansa nasionalisme.
...
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
...
(Taufiq Ismail : Malu Aku Jadi Orang Indonesia)
Begitu tangis Taufiq memandang negeri ini, di suatu masa, dalam ketajaman imajinasi sebagai anak bangsa, yang ingin membanggakan negerinya.
Yah,
Langit pertiwi belum merah, iga-iga di ufuk jauh masih menyimpan energi kekuatan nasionalisme bangsa untuk segera dijemput dengan kesungguhan.
Pegusiran beliau itu adalah secuil dari fenomena untuk segera memanggil kesungguh menjemput rasa nasionalisme itu. Sebelum rasa nasionalisme itu hilang ditelan keterlenaan bangsa atas bias dan puja-puja bisik kaum serakah dari belahan dunia sana.
Artinya, cinta sastra, cinta karya, cinta imajinasi, cinta kreasi, tidak akan pernah membendung seseorang untuk bersuara keras atas keberlangsungan hidup berbangsa. Karena ini adalah bumi Indonesia, bumi Pancasila. Ruh berke-Tuhanan dan keadilan sosial bagian yang tak terpisahkan untuk merajut demokrasi bangsa.
Salam Indonesia jernih, teduh, dan religius
Semoga bermanfaat.
Kertonegoro, 24 April 2016
Salam,
Akhmad Fauzi
Ilustrasi dari : iluni.net
Sumber:
1. http://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id/…/10-puisi-pi… kiki emotikon Blog Karya Sastra Bermanfaat kiki emotikon
2. http://www.biografiku.com/2009/…/biografi-taufik-ismail.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H