Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taufiq Ismail, Provokator? Haruskah Terusir?

24 April 2016   13:12 Diperbarui: 24 April 2016   13:17 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah pantas, penyair sekaliber ia diusir saat membacakan puisi? Yah, kita (seharusnya) pemilik sah negeri ini. Sungguh betapa memuakkan para pengusir-pengusir itu? Kentara sekali jika terjadi ketidaksiapan di dalam dirinya (pengusir itu) dalam membaca beda-beda. Sementara beda yang penyair gaek ini baca dalam syairnya itu adalah FAKTA.

...
 Kini
 Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan,
 Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan
 Ketika dominasi materi menggantikan tuhan

Kini
 Negeri kita
 penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting
 Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila
 kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta

Jika penjahat-penjahat ini
 Dibawa didepan meja pengadilan
 Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar hukuman
 ...
 (Taufiq Ismail : Kami Muak dan Bosan)

Kembali, ia berteriak, di suatu masa dalam ketajaman mata imajinasi, sebagai alah satu pekerja sejarah negeri ini.

Lantas, “Siapa yang telah berani mengusir-usir dia...?”. Mengusir, padahal ia saat itu berbicara atas nama sastra imajinasi diri akan fakta negeri yang ada? Apa sih yang telah mereka (para pengusir itu) torehkan untuk negeri?

Harusnya dunia sastra meradang dan marah! Entah karena apa mulut-mulut anak negeri, kini, hari ini, seakan terbungkam serapatnya. Benar, ternyata banyak yang hanya terbahak saja, kata ia, dalam syairnya, penyair tiga masa yang masih dimiliki negeri ini.

Kejam nian, hingga di masa gaeknya ini harus diteriaki provokator, tanpa ada yang mau membela kegarangan atas idealismenya dalam mencintai negeri ini. Benarkah ini sebagai awal dari sebuah kebosanan-kebosanan, awal dari hasrat untuk mendobrak kemapanan.

Tidak! Jangan sampai kita menjadi bagian dari negeri ini yang harus meragukan kebanggaan sebagai bangsa yang ber-Pancasila.

Jangan sampai MALU kita menjadi orang Indonesia. Malu membela mereka yang lemah, malu bersuara atas bahasa santun dan kebenaran, malu karena kita telah teramat banyak dibuai oleh janji-janji dan rencana-rencana. Malu, karena kita terjebak pada hilangnya jiwa Pancasila dan ruh nuansa nasionalisme.

...
 Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
 Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
 Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
 Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
 Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
 Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
 Dan kubenamkan topi baret di kepala
 Malu aku jadi orang Indonesia.
 ...
 (Taufiq Ismail : Malu Aku Jadi Orang Indonesia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun