Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Subjektif Penulis (Sebuah Pengalaman Pribadi)

11 September 2019   10:49 Diperbarui: 11 September 2019   10:56 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Bercerita tentang Pak Abdul Hakim Siregar, seorang guru bahasa Arab sekaligus guru ekstrakurikuler karya tulis ilmiah dan juga seorang penulis yang kritis.

 Perkenalan saya dengan Pak Abdul Hakim Siregar dimulai ketika beliau memberi tugas "deskripsi: orang yang seperti apa teman sebangkumu" disela-sela pelajaran bahasa Arab. 

Sungguh tidak terduga, beliau tertarik dengan tulisan saya lalu menantang saya untuk menulis cerita dengan tema lain. Saya menulis tentang orangtua yang kemudian beliau rekomendasikan untuk dikirim ke koran waspada dihari ibu, alhamdulillah tidak dimuat oleh koran tersebut.

Perkenalan saya dengan Pak Abdul Hakim Siregar masih sekedar saya sebagai murid dan beliau sebagai guru. Sampai pada hari pemilihan kegiatan ektrakurikuler (ekskul) kelas XI yang menjadi program wajib sekolah saya di hari sabtu. Ada beberapa ekskul seperti seni kaligrafi, hafidz quran, olimpiade sains, english club, karya tulis ilmiah, olahraga; futsal, tapak suci, dan lainnya. 

Setiap siswa hanya boleh mengikuti satu ekskul saja dan saya bimbang antara memilih english club atau karya tulis ilmiah. Pada hari pemilihan, siswa dikumpulkan pada kategori setiap ekskul yang mereka pilih. 

Saya masih belum berpindah tempat ke ekskul tujuan. Pada detik terakhir sebelum bunyi titttt penutupan selesai, saya berlari menuju ekskul karya tulis ilmiah seperti ada suara hati yang berbisik "melangkahlah ke ujung kiri gedung itu," Lalu saya bertemu Pak Abdul Hakim Siregar.

Detik penutupan ini pula-lah awal dari pembelajaran saya mengikuti jejak beliau sebagai penulis; terutama menulis opini di koran. Saya tidak mengatakan bahwa saya sudah berhasil mengikuti jejak beliau atau sudah seperti beliau, tidak. 

Beliau jauh lebih hebat, dibanding saya yang sering tidak tekun dalam menulis. Tapi setidaknya saya bercermin dari beliau, salah satu panutan yang keren tapi tidak tampan.

Hari pertama, kami (siswa yang memilih ekskul karya tulis ilmiah; saya singkat kti) berkumpul dalam satu ruangan. Beliau meminta kami untuk menulis apapun yang sedang kami pikirkan dalam waktu sekitar lima belas menit. 

Tidak terduga lagi, beliau tertarik dengan tulisan saya yang isinya mengkritisi beberapa guru yang tidak mengenal nama siswa yang diajarnya. 

Hal ini menjadi hal yang saya pikirkan waktu itu karena ketidaksenangan saya dengan beberapa guru yang bisa jadi ingkar janji terhadap janji awal yang mereka ucapkan ketika awal masuk semester baru. "Saya tidak hanya menilai siswa dari hasil ujiannya, tapi juga dari tingkah laku dia di kelas. 

Siswa yang pintar bisa saja tidak mendapat nilai bagus apabila dia memiliki tingkah laku yang tidak baik selama di kelas." Begitulah kira-kira janji beberapa guru yang sering mereka ingkari.

Saya memberi pertanyaan dalam tulisan pertama saya di hari pertama ekskul, kira-kira seperti ini: "bagaimana mungkin seorang guru dapat menilai seorang siswa, sedangkan guru tersebut tidak mengenal siswa yang akan ia beri nilai?" 

Membaca tulisan saya yang hanya sekitar dua paragrap tersebut, Pak Abdul merekomendasikan untuk mengirimnya ke koran. Saat itu pikiran saya langsung  kusut sekusut-kusutnya seperti benang kusut karena saya pikir urusan ini rumit. 

"Tambahi sedikit lagi paragrapnya, edit biar runtun kalimatnya, kirim ke waspada sertakan biodata dan kartu tanda siswa (ktm). Ktm-nya di-scan saja, ini uang untuk biaya scan-nya" begitulah yang beliau katakan seraya memberi saya uang kertas sepuluh ribu rupiah, padahal biaya scan hanya dua ribu rupiah.

Tulisan yang sudah saya susun tersebut dipoles sedikit oleh Pak Abdul, seperti penempatan SPOK, kata baku, atau diksi tanpa mengubah alur, isi dan makna dari tulisan saya, lalu saya mengirimkannya. Beberapa hari kemudian, tulisan saya dimuat oleh koran waspada dibagian surat pembaca. 

Ada nama saya disana, seketika bisik-bisik tetangga bermekaran membahas nama saya bahkan sampai kepada teman yang bersekolah di Siantar, pro-kontra terjadi antara saya dan guru. Akhirnya perkenalan saya dengan Pak Abdul (bolehkah saya menyebutnya sebagai murid dan guru dalam sinema Jaka Tingkir atau Jaka Tarub)?

Saya mulai meminta pendapat Pak Abdul tentang hal yang sedang saya tuliskan. Beberapa kali saya menunggu Pak Abdul memanggil nama saya di akhir mata pelajaran bahasa Arab untuk sekedar bertanya "mana tulisanmu?" Pernah di kelas, Pak Abdul mengkritisi buku cetak bahasa Arab dalam materi murahaqah masa remaja pada percakapan Ishak yang digambarakan sebagai anak durhaka.

 "Percakapan dalam buku cetak ini mengatakan Ishak adalah anak yang durhaka, mengapa tidak beri saja nama Firaun atau Sampuraga atau nama yang menggambarkan sosok karakter durhaka?" 

Kira-kira begitulah beliau mengkritisi. Beliau juga bercerita pengalaman romantisme kisah cinta yang perjalanannya terhubung melalui metode "markusip" dan saling berkirim surat.

 Markusip diambil dari bahasa Mandailing yang artinya cara berpacaran pada malam hari, dilakukan dengan cara berbisik, si wanita di dalam rumah sedangkan laki-laki di luar rumah (dikutip dari kbbi.co.id). Zaman saya tidak ada markusip dan berikirim surat dianggap tidak elit atau rumit. Seandainya saja masih ada, sepertinya menarik.

Setahun berlalu, menjelang kelas XII musim Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang beberapa kali membuka peluang tidak enak hati/tidak saling tegur dengan teman, karena seleksi ini dipandang sebagai seleksi yang mengutamakan nilai; jika ada dua atau lebih siswa yang memilih Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di jurusan yang sama, maka siswa yang nilai tertinggilah yang akan lulus seleksi. Misalnya kasus saya pada saat itu, ada beberapa siswa yang mengambil PTN di jurusan yang sama dengan saya. 

Saya pernah ditemui dengan teman yang mengambil PTN di jurusan yang sama dengan saya ketika jam istirahat atau ketika selesai sholat zuhur hanya untuk meminta agar saya tidak mengambil jurusan tersebut, atau bisik-bisik keluhan agar saya mundur dari pilihan jurusan di PTN tersebut, mereka percaya bahwa siswa dengan nilai tertinggi yang akan lulus seleksi.

Tindakan mereka cukup aneh atau brutal menurut saya. Bagaimana mungkin mereka meminta saya membatalkan keinginan saya masuk PTN di jurusan tersebut hanya karena saya memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding mereka dan mereka beranggapan bahwa saya-lah penyebab mereka tidak akan lulus seleksi. Bagaimana dengan saya? Apakah mereka tidak berpikir bahwa saya juga memiliki mimpi yang sama besarnya dengan mereka? 

Bagaimana jika saya membatalkan masuk jurusan di PTN tersebut sedang mereka juga tidak lulus? Apakah mereka tidak paham bahwa setiap orang memiliki hak yang sama? sedangkan jawaban lulus atau tidak lulus mutlak adalah karena keputusan Tuhan. Apakah mereka tidak paham hal tersebut? 

Mengapa mereka dengan seenaknya meminta seolah-olah mereka adalah korban yang harus saya tolong padahal di hari lalu mereka tidak melaksanakan kewajiban belajar untuk mendapat nilai tertinggi?

Disaat yang tepat Pak Abdul dan saya berbincang tentang SNMPTN yang membulatkan niat saya untuk menolak permohonan teman tersebut. 

Masuk ranah kuliah,  perkenalan saya dengan Pak Abdul (bolehkah saya menyebutnya sebagai jaksa dan pengacara dalam sebuah sidang pengadilan)? Jarak yang ber-kilo meter tidak menghanyutkan perbincangan saya dengan Pak Abdul. 

Kami saling beradu pendapat dalam kolom komentar facebook tentang makna kata "hukum", kekuatan IPK, pergaulan di media sosial, sudut pandang menyikapi masalah dan lainnya.

Sebelumnya, saya beritahu bahwa saya tertarik dengan orang-orang yang idealis, kritis, memiliki prinsip, berwawasan dan percakapan yang dalam. 

Tidak mengapa berbeda pandangan asal mampu menjelaskan dengan menyeluruh arah pandangan tersebut, hal ini membuat saya semakin tertarik; mendebatnya bukan berarti saya benci tapi karena saya suka, yang mungkin bisa jadi pandangannya dapat memberi gambaran dari sisi lain yang mampu saya pelajari. 

Tidak mengapa pula kesamaan pandangan asal mengerti atas pandangan yang dimaksud tersebut artinya bukan hanya sekedar menjawab setuju/tidak setuju atau seseorang yang apabila saya tanyai, mampu menjawab dengan pengetahuannya. Saya menyukai orang-orang seperti itu.

 Saya bertemu dengan seorang teman lelaki (katakan pacar) berawal dari soal matematika sinus/cosinus/tangen lalu saling berbincang, berdiskusi tentang pelanggaran ham, predisen Amerika, ciri makhluk hidup, pemain sepakbola, media sosial, filosofi hubungan dan lainnya.

Tentang percakapan yang dalam, ada salah satu tokoh di instagram namanya Sarper Duman yang mengutip qoute dari collective evolution, "i hate small talk, i wanna talk about atoms, death, aliens, sex, magic, intellect, the meaning of life, faraway galaxies,, the lies you've told, your flaws, your favorite scents, your childhood, what keeps you up at night, your insecurity and fears, i like people with depth who speak with emotion from a twisted mind. i do not want to know whats up" sebagai higligths-nya. 

Apabila saya diberi kesempatan bertemu dengannya atau orang-orang yang setuju dengan qoute ini, saya akan sangat tertarik untuk berbincang. 

Selain orangtua, beberapa teman yang mengetahui sisi saya dibagian ini (i like people with depth who speak with emotion) hanya beberapa orang dari "geng this is us". Geng this is us adalah perkumpulan pertemanan kecil semasa saya mengemban ilmu hukum, berjumlah enam orang yang tertarik dengan kompetisi-kompetisi baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional.

Balik lagi cerita Pak Abdul Hakim Siregar, selama saya berkuliah beberapa kali saya dan Pak Abdul berbincang di tengah kesempatan apabila beliau berkunjung karena urusan pekerjaan ke kota tempat saya kuliah. 

Kali ini perkenalan saya dengan Pak Abdul (bolehkah saya menyebutnya sebagai rekan tim di warung kopi?) Saya dan Pak Abdul berbincang mengenai pandangan kata "hijrah" yang notabene trending di kalangan remaja saat ini, tentang bagaimana seorang ahli hukum berkiprah dalam dunia ini, demo mahasiswa yang lagi marak, sabyan gambus yang sedang naik daun, pendidikan ke luar negeri, karir dan lainnya. Perbincangan tersebut tidak lepas dari seribu satu nasihat kehidupan oleh Pak Abdul kepada saya.

Pernah saya menyinggung pengucapan selamat natal oleh seorang muslim kepada teman nonmuslim yang sering menjadi percekcokan di media sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Saya beri penjelasan yang berbeda dari pandangan Ustad Abdul Somad dengan Habib Quraish Shihab lalu saya skip di tengah perbincangan berharap Pak Abdul mengklarifikasi jawaban yang menurut beliau benar. Namun bukan hal itu yang menjadi penutup perbincangan ini, tapi bagaimana beliau memikirkan apa yang menjadi perbandingan saya dalam perbincangan tersebut. 

"Artinya tidak perlu mendebatkan pandangan yang konotasinya memiliki latar belakang berbeda, mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat natal adalah pilihan pribadi orang dibalik sudah tersajinya banyak pandangan ulama dan petunjuk-petunjuk (kesimpulan yang bisa saya dapat); karena beliau samasekali tidak menjelaskan, membiarkan saya berpikir keras maksud dari tanggapan beliau terhadap perbincangan ini.

Pak Abdul memberi saya dua buku beliau secara gratis. Padahal Fiersa Besari mengatakan "sebagai orang yang dekat dengan Penulis buku, jangan sekali-sekali menerima/meminta buku setengah harga/diskon/gratis karena karya mahal. 

Logika berpikirnya, karena kamu adalah orang yang dekat dengan Penulis buku, bukankah sebaiknya kamu membeli buku dengan harga yang tinggi dibanding harga penjualan sebagai bentuk apresiamu tehadap karya orang dekatmu tersebut?" 

Pak Abdul hanya meminta saya untuk membuat lisensi atas buku kedua beliau, tapi sampai hari ini saya belum memenuhi permintaan beliau (sorry Pak).

Pertanyaan terakhir saya yang dijawab beliau via whatsapp, "Aku sering membandingkan tulisanku dengan tulisan orang yang lebih hebat daripada aku.

 Jadi aku merasa apa gunanya tulisanku ketika mereka menulis konten yang membahas dunia tapi aku masih menulis konten yang membahas tentang pandanganku, diriku sendiri. 

Apakah hal bodoh terus bertahan dalam tulisan yang membahas diri sendiri? Harus aku apakah tulisan yang tidak berguna tersebut?" Beliau menjawab, "Itu seperti ujian semesteran, menulis diri sendiri itu refleksi dan semacam doa atau semedi mengenali diri lebih dalam dan itu sangat berguna dibanding nulis dunia semata. 

Biasanya kalau kita mau mengungkapkan diri, itu cara awal mengenali diri. Nulis diri sendiri bahkan yang paling menyehatkan emosional. Beguna bagi diri sendiri dan juga orang lain, karena yang subjektif pribadi juga bersifat umum."

Komentar beliau terasa seperti antara menghibur saya atau secara realistisnya memang begitu. Lalu saya dapati artikel di kompasiana oleh Badriah Yankie berjudul "Menulis Jurnal Untuk Kesehatan Mental" yang mewakili jawaban Pak Abdul sehingga menjadi latar belakangnya saya menulis cerita ini.

Penting atau tidak penting, biarlah pembaca yang menilai, syukur-syukur apabila ada pembelajaran yang diambil dari tulisan saya yang mungkin tidak penting ini. Pertemuan berikutnya dengan Pak Abdul Hakim Siregar, sepertinya saya perlu membuat daftar bahan diskusi.

Begitulah saya menceritakan tentang Pak Abdul Hakim Siregar di kesempatan kali ini. Tidak menutup kemungkinan saya menceritakan beliau di kesempatan lainnya. 

Beliau adalah teman diskusi yang paling cerdas kedua setelah Ayah saya (lingkup pribadi), ayah saya masih tetap yang utama. Lain waktu saya bagikan beberapa pemikiran Ayah saya tentang Tuhan, alam semesta, manusia, ikhlas, cobaan, dan sebagainya kalau jari saya tidak mager (dibaca: malas gerak).

Garis-garis yang menjadi poin penting adalah, berdialog tentang semua hal, berbagi pendapat, berdebat untuk diskusi, bertukar pandangan, mendengar cerita oranglain adalah pelajaran yang sangat berharga yang tidak ditemukan dalam buku, jurnal atau wikipedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun