Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Subjektif Penulis (Sebuah Pengalaman Pribadi)

11 September 2019   10:49 Diperbarui: 11 September 2019   10:56 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Pertanyaan terakhir saya yang dijawab beliau via whatsapp, "Aku sering membandingkan tulisanku dengan tulisan orang yang lebih hebat daripada aku.

 Jadi aku merasa apa gunanya tulisanku ketika mereka menulis konten yang membahas dunia tapi aku masih menulis konten yang membahas tentang pandanganku, diriku sendiri. 

Apakah hal bodoh terus bertahan dalam tulisan yang membahas diri sendiri? Harus aku apakah tulisan yang tidak berguna tersebut?" Beliau menjawab, "Itu seperti ujian semesteran, menulis diri sendiri itu refleksi dan semacam doa atau semedi mengenali diri lebih dalam dan itu sangat berguna dibanding nulis dunia semata. 

Biasanya kalau kita mau mengungkapkan diri, itu cara awal mengenali diri. Nulis diri sendiri bahkan yang paling menyehatkan emosional. Beguna bagi diri sendiri dan juga orang lain, karena yang subjektif pribadi juga bersifat umum."

Komentar beliau terasa seperti antara menghibur saya atau secara realistisnya memang begitu. Lalu saya dapati artikel di kompasiana oleh Badriah Yankie berjudul "Menulis Jurnal Untuk Kesehatan Mental" yang mewakili jawaban Pak Abdul sehingga menjadi latar belakangnya saya menulis cerita ini.

Penting atau tidak penting, biarlah pembaca yang menilai, syukur-syukur apabila ada pembelajaran yang diambil dari tulisan saya yang mungkin tidak penting ini. Pertemuan berikutnya dengan Pak Abdul Hakim Siregar, sepertinya saya perlu membuat daftar bahan diskusi.

Begitulah saya menceritakan tentang Pak Abdul Hakim Siregar di kesempatan kali ini. Tidak menutup kemungkinan saya menceritakan beliau di kesempatan lainnya. 

Beliau adalah teman diskusi yang paling cerdas kedua setelah Ayah saya (lingkup pribadi), ayah saya masih tetap yang utama. Lain waktu saya bagikan beberapa pemikiran Ayah saya tentang Tuhan, alam semesta, manusia, ikhlas, cobaan, dan sebagainya kalau jari saya tidak mager (dibaca: malas gerak).

Garis-garis yang menjadi poin penting adalah, berdialog tentang semua hal, berbagi pendapat, berdebat untuk diskusi, bertukar pandangan, mendengar cerita oranglain adalah pelajaran yang sangat berharga yang tidak ditemukan dalam buku, jurnal atau wikipedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun