Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Subjektif Penulis (Sebuah Pengalaman Pribadi)

11 September 2019   10:49 Diperbarui: 11 September 2019   10:56 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Siswa yang pintar bisa saja tidak mendapat nilai bagus apabila dia memiliki tingkah laku yang tidak baik selama di kelas." Begitulah kira-kira janji beberapa guru yang sering mereka ingkari.

Saya memberi pertanyaan dalam tulisan pertama saya di hari pertama ekskul, kira-kira seperti ini: "bagaimana mungkin seorang guru dapat menilai seorang siswa, sedangkan guru tersebut tidak mengenal siswa yang akan ia beri nilai?" 

Membaca tulisan saya yang hanya sekitar dua paragrap tersebut, Pak Abdul merekomendasikan untuk mengirimnya ke koran. Saat itu pikiran saya langsung  kusut sekusut-kusutnya seperti benang kusut karena saya pikir urusan ini rumit. 

"Tambahi sedikit lagi paragrapnya, edit biar runtun kalimatnya, kirim ke waspada sertakan biodata dan kartu tanda siswa (ktm). Ktm-nya di-scan saja, ini uang untuk biaya scan-nya" begitulah yang beliau katakan seraya memberi saya uang kertas sepuluh ribu rupiah, padahal biaya scan hanya dua ribu rupiah.

Tulisan yang sudah saya susun tersebut dipoles sedikit oleh Pak Abdul, seperti penempatan SPOK, kata baku, atau diksi tanpa mengubah alur, isi dan makna dari tulisan saya, lalu saya mengirimkannya. Beberapa hari kemudian, tulisan saya dimuat oleh koran waspada dibagian surat pembaca. 

Ada nama saya disana, seketika bisik-bisik tetangga bermekaran membahas nama saya bahkan sampai kepada teman yang bersekolah di Siantar, pro-kontra terjadi antara saya dan guru. Akhirnya perkenalan saya dengan Pak Abdul (bolehkah saya menyebutnya sebagai murid dan guru dalam sinema Jaka Tingkir atau Jaka Tarub)?

Saya mulai meminta pendapat Pak Abdul tentang hal yang sedang saya tuliskan. Beberapa kali saya menunggu Pak Abdul memanggil nama saya di akhir mata pelajaran bahasa Arab untuk sekedar bertanya "mana tulisanmu?" Pernah di kelas, Pak Abdul mengkritisi buku cetak bahasa Arab dalam materi murahaqah masa remaja pada percakapan Ishak yang digambarakan sebagai anak durhaka.

 "Percakapan dalam buku cetak ini mengatakan Ishak adalah anak yang durhaka, mengapa tidak beri saja nama Firaun atau Sampuraga atau nama yang menggambarkan sosok karakter durhaka?" 

Kira-kira begitulah beliau mengkritisi. Beliau juga bercerita pengalaman romantisme kisah cinta yang perjalanannya terhubung melalui metode "markusip" dan saling berkirim surat.

 Markusip diambil dari bahasa Mandailing yang artinya cara berpacaran pada malam hari, dilakukan dengan cara berbisik, si wanita di dalam rumah sedangkan laki-laki di luar rumah (dikutip dari kbbi.co.id). Zaman saya tidak ada markusip dan berikirim surat dianggap tidak elit atau rumit. Seandainya saja masih ada, sepertinya menarik.

Setahun berlalu, menjelang kelas XII musim Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang beberapa kali membuka peluang tidak enak hati/tidak saling tegur dengan teman, karena seleksi ini dipandang sebagai seleksi yang mengutamakan nilai; jika ada dua atau lebih siswa yang memilih Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di jurusan yang sama, maka siswa yang nilai tertinggilah yang akan lulus seleksi. Misalnya kasus saya pada saat itu, ada beberapa siswa yang mengambil PTN di jurusan yang sama dengan saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun