Hari ini hujan masih menyapa atap, menyisakan lantunan tembang rahmat Tuhan. Dinginnya hembusan angin membentur dinding-dinding rumah yang tertata rapi di kompleks pemumikan warga kota ini. Sementara itu, kodok yang bermain di selokan menyungging senyum, mendendangkan lagu gembira.
Sementara itu, di rumah yang luas dan megah itu, terasa lengang dan sunyi, seolah tak berpenghuni. Namun, di sudut ruangan pada sebuah kamar, masih terdengar percakapan pasangan suami-istri. Nampaknya terlibat pembicaraan yang serius. Apa gerangan yang mereka bicarakan? Adakah masalah yang menghimpit rumah tangga mereka?
“Linda istriku,” kata Galih Pratama sambil memeluk istrinya dari belakang.
“Ada apa Mas,” sahut Linda lembut.
Galih kemudian beralih menuju bibir ranjang dan mengajak istrinya duduk bersebelahan, sambil tangan mereka tetap bertaut. Galih mendesah seolah ada persoalan berat yang menghimpit dadanya yang ingin diutarakan pada istrinya malam itu.
“Lin, masih ingat gak kamu, ketika aku melamarmu dulu?” tanya Galih.
“Tentu saja Mas aku masih ingat,” sahut Linda. ”Memangnya ada apa Mas bertanya begitu?”
“Ya, tidak apa-apa, aku merasa sangat beruntung mendapatkanmu, aku yang miskin dan belum punya pekerjaan tetap, berani-beraninya melamar anak gadis orang.” Galih, belum bisa mengutarakan maksud hati yang sebenarnya, malah itu yang dia ucapkan.
“Ah, Mas, kita memang sudah jodoh, cinta tidak memandang kaya dan miskin, cinta itu suci, ia datang dan pergi tak terduga Mas,” sahut Linda manja.
“Itulah sebabnya aku sangat senang dan bersyukur mendapatkanmu, kamu orangnya pengertian, bisa menerima aku apa adanya. Tapi...,” Galih tidak melanjutkan kata-katanya, ia hanya mendesah, menarik napas dalam-dalam.