Aku lupa kapan tepatnya mulai memperhatikan kicauan burung itu. Setahun? Dua tahun? Tiga Tahun? Aku tak tahu pasti. Tetapi akhir-akhir ini, kicau burung itu telah menemani pagiku yang ceria. Keceriaan burung itu mempengaruhi pagiku yang sibuk. Maklum, ibu dari 3 putra yang harus mempersiapkan kebutuhan sarapan pagi seluruh anggota keluarga. Memang tidaklah mesti menggunakan kata  harus, anak-anak masih bisa mengambil peran beberapa pekerjaan untuk membantuku.
Namun kesibukan belajar anak sekarang begitu padat. Kadang tak tega juga memberi tanggungjawab tambahan bagi mereka. Meskipun benar bahwa memberi tugas pekerjaan di rumah  perlu untuk melatih kemandirian dan tanggungjawab. Anak-anak tetap membersihkan kamarnya di akhir pekan. Membantui memperhatikan  mesin cuci yang bekerja pada sabtu sore merupakan kesepakatan yang sudah dibangun, ketika mereka masih usia belia. Ditambah bergotong royong dengan ayah 1 jam  di minggu pagi. Semuanya itu sudah dapat melatih tanggung jawab, kepedulian dan kemandirian mereka kelak.Â
Kicau burung itu terdengar dekat dengan dapur kecilku. Kucoa untuk memperhatikan pohon jambu klutuk tidak jauh dari jendela, samar telihat bayang seekor burung kecil.Â
Pohon jambu klutuk itu selama ini menjadi tempat anak-anak komplek bergelantungan mencari buah yang bisa dimakan. Biasanya anak-anak itu itu bermain di sekitar rumah. Ketika mereka lelah bermain, salah seorang yang kebetulan melihat ada buah yang sudah cukup tua, meski belum matang, akan segera memanjat.Â
Jika kebetulan aku ada di rumah, mereka akan permisi
"Bu, boleh kami ambil buah jambunya?" tanya seorang anak.
"Apakah ada yang matang?, aku balik bertanya.
"Ada beberapa,Bu" sahut mereka serentak.
"Baiklah. Hati-hati saat memanjat, ya", pesanku.
Anak-anak itu segera berlarian memanjat paling dulu untuk mendapatkan buah terbaik.
Kami tidak pernah berharap untuk panen jambu dari pohon itu. Beberapa pohon yang ditanam di pinggir jalan itu hanya upaya kesadaran  pentingnya menanam pohon. Biasanya, sebuah komplek  perumahan akan menggunakan air tanah untuk sumber air. Jika tidak ada pohon penahan air hujan, maka cadangan air tanah akan terbatas untuk semua keluarga penghuni perumahan. Benar saja. Ketika musim kemarau panjang tiba, banyak sumur bor yang kering. Keperluan air untuk mencuci menjadi sebuah keslitan. Banyak ibu-ibu harus pergi ke sungai atau sumber air lain untuk mencuci.Â
Di sekitar rumahku ada 5 pohon yang tumbuh cukup subur. Ada pohon mangga, pohon sirsak dan 2 pohon alpukat. Saya kira, besar pengaruh pohon itu terhadap ketersediaan air tanah di rumah.
"Pak, ada anak yang jatuh saat memanjat pohon jambu itu." lapor seorang tetangga.
"Tebanglah,pak. Biar jangan ada korban lagi" cecar tetangga itu tanpa menunggu respon kami.
Sulit bagiku untuk menebang pohon itu. Tidak banyak yang mau menanam pohon di komplek ini. Menjadi sebuah dilema bagiku, apakah harus mengikuti saran tetangga itu atau memikikan solusi lain.
"Kita tebanglah pohon itu" tiba-tiba suami berkata.Â
Kalau sudah diperingatkan tetangga, sebaiknya kita dengarkan. Jangan sampaiada korban lagi. Bisa kena tuntut kita oleh warga, begitulah percakapan kami yang belum menemukan solusi.
"Kenapa bukan mereka yang kita tuntut?" tanyaku balik.
"Bukankah memanjat dan mengambil buah milik orang lain itu, suatu yang melanggar aturan?" tambahku keberatanÂ
Aku menyayangkan harus menebang pohon-pohon itu. Betapa gersangnya jika pohon-pohon itu ditebang. Bagaimana dengan fungsi pohon sebagai penahan air? Sebagai penghasil oksigen? Sebagai ....., entah apa lagi.
Pokoknya jangan tebang. Pikirkan solusi lain, batinku berperang..
"Bagaimana kalau pohon itu kita liliti dengan kawat duri, agar tidak dipanjat anak-anak?, usulku asal.
Tak ada respon yang terdengar.
"Atau buat pengumuman, bahwa dilarang memanjat pohon disekitar ini?", tambahku.
Juga tidak ada respon.
Akhirnya, terdengar suara beberapa anak bermain di sekitar rumah. Kutemui mereka. Melihat siapa saja dari mereka yang biasa memanjat pohon jambu itu. Mereka sedang asyik bermain gundu.
"Lagi seru, nih" sambil mendekat aku menyapa mereka.Â
Melihat permainan yang sedang seru itu, aku tidak mendengar mereka menjawab sapaanku, sampai permainan itu selesai.
"Ku dengar ada yang jatuh dari pohon jambu,ya?", tanyaku mencari perhatian mereka
"Iya,Bu. Si Banu yang manjat sampai ke ujung" jawab seorang anak.
"Kakinya luka. Tangannya juga sakit" tambah anak itu.Â
Sementara yang lain diam menunggu responku. Ada yang menduga bahwa aku akan marah.
"Bagaimana keadaanya sekarang?"' tanyaku serius.
"Sudah sekolah laginya,Bu. Dua hari Banu tak berangkat sekolah" imbuh anak itu.
"Baiklah. Ibu akan menebang pohon itu" kataku.
"Janganlah,Bu. Kan lagi banyak buahnya" kata beberapa anak serentak.
"Jangan sampai ada korban jatuh lagi", jelasku menambahkan alasannya.
"Banu yang salah. Jangan sampai ke ujung, Banu. Nanti patah. Rupanya patah dan Banu jatuh" cerita anak itu yang ternyata sudah memperingatkannya.
Akhirnya, aku mengingatkan mereka semua.Â
"Tidak diizinkan lagi memanjat pohon yang ada di sini!" kataku sungguh-sungguh.
"Kalau ada yang panjat lagi, bukan tanggungjawabku. Bilang sama teman-teman kalian!" tandasku.
"Iya,Bu." kata mereka. Akhirnya mereka pergi satu persatu pindah ke tempat lain untuk melanjutkan permainan mereka.
Hatiku jadi sedih, karena lokasi ini tempat mereka bermain hampir setiap sore. Ya bermain gundu. Bermain lempar kartu. Bermain lempar gambar. Bermain lompat tali dan berbagai permainan lainnya sesuai musimnya.
Sejak saat itu, sudah jarang anak-anak bermain di sekitar rumahku. Anak-anakkupun sudah memiliki kesibukan yang semakin bertambah, baik di sekolah maupun di beberapa kursus yang menghabiskan waktu sore mereka.
Kami memutuskan memangkas pohon-pohon itu agar tidak terlalu tinggi. Buah-buah jambu itu kadang jatuh, kadang ada yang meminta, kadang aku yang panen. Demikian pula pohon-pohon lain menghasilkan buah pada musimnya. Dipanen dan dibagi kepada tetangga.Â
Pohon-pohon itu tidak hanya sebagai penghasil buah tetapi menjalankan fungsi alaminya sebagai penahan air tanah, memberi kesejukan dan oksigen serta keteduhan.
Pohon-pohon itu juga menjadi tempat bermalam beberapa ekor burung. Salah satunya burung kutilang yang menyanyikan nada yang indah setiap pagi. Setiap pukul 05.40 - 05.55. Hanya sekitar 15 menit setiap paginya. Begitulah akhirnya aku memperhatikan keberadaan mereka. Detil waktu mereka pamer kicau.
Sekali waktu aku pernah melihat wujud cantiknya ketika terbang ke dahan yang lebih rendah sebelum terbang jauh dalam pengembaraan hari itu. Ternyata begitulah rutinitas tetangga yang baru kusadari betul keadaan mereka. Selama ini aku mengira burung-burung gereja yang ramai disana. Bukan. Burung gereja berkicau menjelang siang sampai sore hari.
Buah jambu itu menjadi sumber makanan bagi burung-burung bertengger. Mungkin buah-buah matang itulah alasan mereka tetap tinggal. Seandainya dulu pohon-pohon itu kutebang, tentu tak ada suara yang menemani pagi hariku. Bahkan membangunkanku ketika jam tidur yang berubah malam tadi. Suara burung itu akan menyadarkanku tentang kata terlambat. Aku akan segera bergegas agar tidak terlambat dan menyebabkan keterlambatan yang lain pula.
Kicau kutilang di atas  pohon jambu kelutuk mengingatkanku atas anugerah kehidupan dari sang Khalik. Kicau kutilang yang berterimakasih padaku atas pohon jambu kelutuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H